Skip to main content

Bidadari Pemberontak

(Dimuat di Te-Plok pada Sabtu, 9 Mei 2020)
 
Bersama Mariana, aku melewati banyak cobaan, yang satu di antaranya nyaris saja menghabisi nyawaku. Tapi, aku tidak kenal kapok. Aku tetap berada di sisi gadis itu dan meladeni kegilaannya dengan aksi-aksi yang dapat membuat ibuku jantungan.

Ibu tidak tahu aku ke luar kota demi Mariana. Ibu hanya tahu aku dapat panggilan kerja, dan demikianlah aku pergi. Kubawa koper serta tas berisi baju dan barangku, lalu menjalani hidupku yang bebas bersama Mariana.
 
Aku mengenal Mariana tidak sengaja saat berada di antrean bioskop. Saat itu dia sendirian dan aku juga. Kami mengobrol karena sama-sama mengira tak ada yang dapat kami lakukan, sedang duduk diam itu membosankan.
 
Aku tidak tahu apa yang membawaku ke pertemuan itu, lalu tiba-tiba begitu ringan saja mengajak bicara perempuan asing yang tadinya tidak pernah sama sekali kutahu. Ia pun juga demikian. Dalam suatu obrolan, Mariana pernah mengakui, ia tidak mengerti bagaimana bisa menanggapi pertanyaan basa-basi dari pria asing sepertiku.
 
"Kurasa itu takdir," katanya.
 
Mariana percaya manusia lahir ke bumi untuk berkelana, dan bukan hidup di satu tempat, bekerja, beranak-pinak, tunduk pada aturan-aturan. Dia tidak setuju yang seperti itu disebut hidup.
 

Di tubuh Mariana tidak hanya ada sesosok bidadari, melainkan pemberontak yang ingin bebas, dan itulah yang terjadi di kehidupanku. Aku kaku dan taat peraturan, tapi perlahan lentur dan menentang segala aturan. Aku yang berwatak kaku mendadak jadi manusia paling bebas yang kemudian membuat gadis itu jatuh hati.
 
Ibu tidak setuju pada hubungan ini. Perubahanku karena Mariana, baginya, adalah aib. Gadisku sering datang dalam keadaan setengah mabuk dan melantur pada tetangga kami soal tetangganya yang sekarat gara-gara overdosis. Ia sering membantah kata-kata Ibu yang lembut, dan dengan demikian, jelas sudah, tak ada yang dapat menghalanginya demi hubungan ini. Karena dia mencintaiku dan aku mencintainya, kami sepakat untuk kabur.
 
Aku tidak tahu dari mana akal-akalan ini dibuat, dan bagaimana mungkin aku bisa membohongi ibuku. Tetapi, aku tidak dapat hidup tanpa Mariana dan apa pun akan kulakukan demi bersamanya, termasuk membuat kabar palsu lamaran pekerjaanku yang direspons salah satu perusahaan di Jakarta.
Sesudah itu, aku tidak menetap di satu alamat; aku berpindah dari satu kost-kostan, ke kost-kostan lain, dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan lain, dan itu terjadi berbulan-bulan.
 
Barang-barangku sebagian besar habis terjual, karena sejak awal kabur aku tidak punya pekerjaan, dan Mariana pengangguran. Kami memakai uangku dengan efektif. Mariana pintar berbisnis supaya kami bisa bertahan tanpa bekerja dan terus bersama. Ia punya kenalan di luar yang mengirimi kami pasokan obat-obatan terlarang untuk dijual, dan dengan demikian, kami bertahan hidup.
 
Meski begitu, ada saja hal-hal buruk yang harus kami alami. Aku dan Mariana pun kabur beberapa kali dari kejaran geng pesaing, dan saat itulah, di suatu hutan, aku nyaris tertembak. Jika saja tembakan para keparat itu tidak meleset beberapa mili, sudah pasti aku mampus.
 
Mariana tidak hanya membawaku terlibat dengan urusan geng yang merajai bisnis narkoba, melainkan juga para begundal yang kenyang berbuat mesum dan keji, dan ada juga beberapa orang yang tidak segan membunuh demi kesenangan.
 
Aku tidak tahu bagaimana aku masih mencintai Mariana, meski jelas-jelas, secara sadar, aku dibawanya ke jurang kegelapan. Aku mungkin lebih suka menyebut betapa inilah hidup sesungguhnya. Tetapi, kalau saja watakku tak pernah berubah dan tak juga pernah kutemui gadis bernama Mariana, pada detik ini, kehidupan yang kami alami ini bagiku tak ubahnya jurang kehinaan.
 
Tidak terasa hidupku yang bahagia sekaligus berisi cobaan-cobaan bersama gadis ini membuatku terpisah dengan Ibu lima tahun. Aku tidak lupa di suatu hari yang paling menentukan, aku menyampaikan kebohongan pada Ibu dan itu tak membuatku merasa menyesal.
 
Memang kadang ada sedikit pikiran bahwa mungkin Ibu sakit keras setelah sekian lama aku ke luar kota untuk "bekerja" di sebuah perusahaan bergengsi, tapi tidak pernah memberi kabar. Aku juga beberapa kali membayangkan Ibu seharusnya baik-baik saja, karena dia tidak sendiri; ada saudaraku yang menikah dan bekerja, dan kurasa dia tidak mungkin tinggal diam.
 
Aku tidak pernah mengatakan ini ke Mariana, tetapi ketika pikiran-pikiran soal Ibu muncul, aku tidak dapat membayangkan hal lain selain keberadaan saudaraku di sisinya, dan bagaimana dia tidak akan kepikiran padaku yang sudah lama tidak memberi kabar. Ibu pasti tahu aku tidak bekerja di perusahaan yang kumaksud, karena mungkin sejak bulan ketiga atau keempat, Ibu menyuruh seseorang mencari informasi dan orang itu tak menemukan apa-apa.
 
Kurasa, meski tahu aku bohong, Ibu mungkin tidak sampai berpikir aku ke luar kota demi Mariana. Aku sudah tidak mengajak gadisku ke rumah empat bulan sebelum melarikan diri. Aku juga tidak menyinggung-nyinggung soal Mariana, dan beberapa kali membicarakan penjaga toko baju di dekat pasar yang begitu manis dan ingin kupacari.
 
Cerita penjaga toko ini ampuh mengecoh perhatian Ibu, sehingga dia sampai bilang, "Ya, baiknya pikiranmu kembali lurus dan tak usah balik ke cewek tidak jelas itu!"
 
Inilah yang membuatku yakin jika Ibu tak pernah tahu kalau selama ini aku pergi bersama Mariana.
 
Sampai di sini, ceritaku terasa luar biasa bagi diriku sendiri. Aku dan gadisku tidak mendapat masalah apa-apa dalam hubungan kami, dan kami semakin lekat. Suatu hari, Mariana mati tertabrak mobil dan kejadian ini membuat beberapa hal mulai berubah.
 
Kematian Mariana yang begitu mendadak membawa kesedihan berlipat ganda, dan aku merasa linglung untuk beberapa hari. Ketika mulai dapat menelan makanan dengan normal tanpa bercucuran air mata, seorang rekan Mariana, yang menampung kami satu bulan sebelum Mariana mati, mengatakan sebaiknya aku pulang ke kampungku.
 
"Kenapa?" tanyaku dengan kesal.
 
"Kamu banci dan tak bisa diandalkan. Cuma Mariana yang mengontrol, bahkan sebelum kalian mampir. Setelah dia mati, kami masih harus mengurusmu? Memangnya kau siapa?!"
 
Setelah membayar utang-utangku pada orang itu, aku pergi. Aku pulang dengan menumpang kendaraan apa saja, sebagaimana dahulu ketika berkelana bersama gadisku yang tercinta. Aku tak tahu tujuan lain selain pulang, hingga mau tidak mau aku kembali berpikir soal Ibu.
 
Aku terus memikirkan Ibu ketika uangku mulai habis, padahal belum juga sampai ke seberang pulau di mana kampungku berasal. Aku mencari pekerjaan, yang tentunya tak mudah, karena tubuhku rusak akibat bergaul bersama Mariana dan orang-orang yang menyembah kebebasan tanpa batas.
 
Daun telingaku ditindik tiga, seperti yang Mariana lakukan. Lengan hingga dada dan perut ramai oleh tato segala binatang dan tulisan, serta angka-angka keramat bagi apa yang sudah aku dan Mariana lalui. Gigi-geligiku tidak lagi utuh; aku mengikirnya hingga terlihat tajam mengerikan, dan bahkan aku tahu jika seseorang memeriksa gigiku, mereka mungkin percaya bahwa gigi itu adalah gigi siluman.
 
Dengan penampilan macam itu, aku tidak mendapat kepercayaan. Lalu demi dapat bertahan hidup dan tiba di rumahku dengan selamat, aku mencuri ke sana kemari, dan sesekali merampok, dan dihajar massa, dirajam, nyaris tewas, masuk penjara, digebuki polisi, dan segala macam. Waktu terasa tidak ada harganya, karena siang dan malam tidak ada bedanya. Wajah dua orang itu, Mariana dan ibuku, berkelebatan setiap malam. Aku jadi sulit tidur.
 
Kira-kira tujuh tahun kemudian aku berhasil sampai ke rumah, dan sampai pada titik ini aku percaya selama ini aku memang tidak becus, sebab tanpa Mariana, aku tidak akan bisa lari sejauh itu dari rumah. Akulah penggila cinta, tetapi tak bisa menghidupi cinta dengan usaha-usaha yang harusnya dapat lelaki perbuat. Aku benar-benar payah dan hari ini aku menangisi itu.
 
Aku menangis saat berjalan memasuki gang rumahku. Dan makin keras tangisku di saat melihat lahan yang dulu dipijaki rumahku, kini berubah jadi masjid. Kutanya pada orang lewat, lalu kudapat penjelasan bahwa rumah itu dijual beberapa tahun lalu, dan oleh pemiliknya disumbang ke warga sekitar untuk dibangun tempat ibadah.
 
"Memangnya siapa pemiliknya?!" tanyaku.
 
"Markoni."
 
Markoni adalah saudaraku yang sudah menikah. Orang itu lalu memberi penjelasan tambahan bahwa ibu Markoni sudah mati sebelum rumah itu dijual dan disumbangkan, dan sebenarnya niat menyumbangkan itu datang dari ibunya.
 
Aku sadar aku jauh berbeda dari diriku yang dulu. Dan aku ingat wajah orang yang sedang kutanyai, namun dia tidak mengenaliku. Orang itu bilang, dengan tampang agak ketakutan karena tak sadar kucengkeram kemejanya, bahwa niat tersebut muncul karena ibunya percaya anak bungsunya mungkin mati di luar sana. [ ]

Gempol, 2015-2020

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya Museum Anomali (Unsa, 2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (Basabasi, 2018). Segera terbit kumpulan cerpen terbarunya berjudul Pengetahuan Baru Umat Manusia.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri