Skip to main content

Kota Serigala

(Dimuat di Minggu Pagi, edisi Jumat, 13 Maret 2020)
 
Manusia-manusia serigala berkumpul di pusat kota hari itu. Mangsa terakhir sudah ditumbangkan. Darah membanjir di sudut-sudut gelap yang biasanya selalu penuh oleh tumpukan sampah dan air selokan. Bau amis merajai untuk beberapa jam, tapi tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Angin akan menghalau bau itu, dan lagi pula setiap penghuni kota tak lagi risau oleh bau darah dan mayat. Mereka terbiasa sejak bertahun-tahun lalu. Kini, kota dikuasai orang-orang bertaring yang menjelma serigala, bukan hanya ketika bulan purnama.
 
Pemerintahan kota kembali diatur usai matahari bersinar terik esoknya. Di gedung dewan, beberapa manusia serigala berpengaruh, yang terkuat dan tercerdas, mengambil keputusan-keputusan tentang siapa saja yang akan memerintah kota, juga apa saja yang mereka lakukan untuk menjaga agar pembantaian malam itu tak terdengar pihak luar.
 
Ketika malam berdarah itu berlangsung, seluruh akses menuju kota dibuntu. Para penjaga perbatasan yang bertugas dengan santai harus berakhir di perut para manusia serigala yang memulai langkah awal penyerangan. Dengan adanya makhluk-makhluk keji di seluruh gerbang terluar kota dari berbagai penjuru, tak akan ada pihak luar yang tahu.

Siang itu, wali kota baru diperkenalkan. Orang-orang bertaring bersorak ria demi menyambut hari baru setelah tahun-tahun panjang penuh derita harus hidup di hutan dan saling berebut tempat dan makanan dengan binatang-binatang yang ditakdirkan untuk liar dan menyantap daging sejak dari langit.

"Berapa abad kita hidup dengan cara serendah binatang? Berapa abad kita didepak dan ditolak manusia-manusia itu? Sekarang, kita berkuasa atas diri sendiri dan saatnya manusia tahu betapa kita mampu, bahkan jauh lebih mampu, untuk berbuat lebih dari yang mereka tahu!" teriak wali kota di podium, yang diiringi tepuk tangan dan suitan panjang dari warganya.
 
Sejak itu, kota yang dikuasai kaum bertaring mengubah wajahnya. Orang-orang bekerja dari siang hingga matahari terbenam untuk mewarnai tembok-tembok, menara, sumur, tempat-tempat ibadah, jembatan, dan bangunan apa pun di seluruh bagian kota, dengan cat hitam dan kelabu. Toko-toko yang menjual sayur diubah fungsi; mereka tak makan sayur. Benda-benda tak berguna seperti piano, boneka, komidi putar, buku-buku, apa pun yang tak bisa memuaskan hasrat makan yang selalu diidap manusia serigala, dikumpulkan di pusat kota bersama sisa-sisa para mangsa yang tinggal tulang belulang.
 
"Kita harus mengubur semua itu. Jika tidak, bau busuk akan terbang bukan lagi ke rumah-rumah kita, melainkan juga ke kota-kota sebelah," kata seorang di antara mereka ketika sore pertama akan berakhir.
 
Namun, hari terlalu larut untuk bekerja lebih lama. Sebentar lagi matahari tak akan tampak dan mereka harus menyiapkan diri untuk penjelmaan. Bagi mereka yang tidak ingin mencari makan, mengunci diri di kamar dirasa lebih dari cukup. Tapi, sebagian di antara mereka belum puas jika belum mengelilingi dan memeriksa setiap sudut kota itu dengan mata kepala sendiri. Maka, malam itu, makhluk-makhluk ganas bertaring, yang bertampang bagai serigala tapi berbadan tegap laiknya manusia, tampak berkeliaran di sudut-sudut kota. Tak ada yang tahu kengerian macam apa yang terjadi jika saja seorang manusia biasa berada di sana.
 
Tentu tidak ada manusia yang muncul dengan kesadaran jika kota itu kini dikuasai orang-orang bertaring, karena para penjaga bekerja dengan baik. Setiap orang yang memasuki kota, segera dibantai. Di siang hari, mereka dibiarkan terlebih dulu melewati perbatasan sebelum dimangsa atau dibunuh untuk dijual mayatnya kepada orang-orang bertaring yang malas berburu. Jika para pendatang melintas di malam hari, jangan harap dapat melewati batas kota, bahkan untuk sejengkal.
 
Hanya saja, para penghuni kota yang seluruhnya membutuhkan daging manusia ini tak bisa begitu saja menggantungkan nasib perut mereka pada para pendatang yang sial. Mereka sering kali harus ke luar untuk berburu. Tak ada yang meminta buruan kepada seseorang lainnya, kecuali punya simpanan uang atau bisa memberi kepercayaan yang cukup baik kepada orang lain. Namun, kebanyakan orang lebih senang berburu dengan usaha sendiri, termasuk wali kota yang terhormat dan paling ditakuti.
 
Berbulan-bulan kehidupan macam itu berlangsung. Suatu hari, seseorang di sebuah perpustakaan di kota yang sangat jauh, bertanya-tanya tentang pesuruhnya yang tak juga kembali sejak dua hari lalu. Pesuruh itu gemar membaca dan dia mengira sang pesuruh tidak pulang untuk membaca beberapa buku di perpustakaan. Ternyata dia tidak pernah ke perpustakaan.
 
"Coba Anda hubungi si penjahit di kota X, di mana pesuruh Anda mengirim barang ke sana. Saya kira itulah cara yang tepat untuk mencari tahu di mana dia berada," saran si penjaga perpustakaan.
 
"Andai ada seseorang yang jauh lebih muda untuk mengantarku. Sekarang tubuhku tidak mampu bepergian jauh. Untuk itulah kusuruh pembantuku!" balas seseorang itu. Dia pergi setelah mengucap terima kasih.
 
Sepanjang perjalanan pulang, tak ada yang dipikirkan selain anak perempuannya yang begitu baik. Setiap tahun dia akan selalu mengirim hadiah untuk putrinya yang bekerja sebagai penjahit sukses di kota yang jauh itu. Kebanyakan kiriman kado diantar oleh kurir atau pembantu dengan dilengkapi surat darinya. Biasanya putrinya juga akan membalas surat itu, tapi tahun ini tidak ada balasan. Dan, pesuruh yang bertugas itu juga tidak pernah kembali.
 
Selama bermalam-malam, lelaki tua ini terus memikirkan tentang si pesuruh yang bodoh. Apa yang terjadi? Di suatu pagi yang dingin, dia putuskan dia sendiri berangkat ke sana, dengan kereta kuda. Tak ada seorang pun di kota ini yang bisa dipercayainya untuk sekadar mengantarnya. Orang-orang zaman sekarang terlalu banyak meminta dan cerewet, demikian pikirnya. Maka, dia benar-benar pergi seorang diri.
 
Perjalanan yang harusnya hanya ditempuh setengah hari itu malah molor. Si lelaki tua terlalu banyak berhenti. Dia tiba di gerbang kota saat malam telah merangkak jauh. Di pos perbatasan, tak tampak seorang pun penjaga. Hari benar-benar sepi. Udara terasa tak bergerak dan tak ada bunyi binatang malam apa pun, seakan kota tua ini diselubungi tabung waktu.
 
Tiba-tiba kudanya berontak dan menolak maju. Kereta si lelaki tua berputar-putar di belokan terakhir sebelum mencapai gerbang beberapa puluh meter di depan. Di pos, seorang penjaga bersabar mengamati dan bertanya-tanya korban macam apa yang kali ini dia dapat?
 
Kuda itu, karena saking berontaknya, memutuskan tali kekangnya. Kereta terguling dan si lelaki tua tak sadarkan diri setelah terbentur kepalanya. Entah berapa lama lelaki tua itu pingsan. Dia bangun esok paginya dengan kondisi yang sangat tidak nyaman. Di sekelilingnya, aroma tak sedap menguar. Anehnya, dia bisa segera bangkit tanpa merasa sakit-sakit pada persendian dan kepalanya.
 
“Apa yang terjadi?” Si lelaki tua menatap kejauhan. Menara gereja tampak lusuh terselubungi kabut pagi. Orang-orang berjalan tanpa pakaian, gedung-gedung dengan tembok kelabu, dan jalanan yang tampak licin oleh cat merah.
 
"Ini bukan cat," pikirnya, tapi dia tak juga berkata-kata.
 
"Ini bukan bau cat," pikirnya lagi, tapi dia masih juga diam.
 
Ketika melewati sebuah toko baju yang sudah lama ditutup, lelaki tua itu merasa ia tak bisa memandang tubuhnya sendiri. Dia bahkan mulai tidak yakin tubuhnya berada di sini, bersamanya. Lalu, bagaimana cara dia berjalan?
 
Si lelaki tua menoleh ke balik punggungnya, dan dari sanalah rahasia (setidaknya rahasia tentang kondisi aneh yang menimpa tubuhnya pagi ini) terungkap. Gunung jasad tampak basah oleh darah membumbung tinggi; dirubung lalat dan belatung di sana-sini. Si lelaki tua tidak ingin muntah sama sekali, meski jijik. Dia hanya dapat berlari dan memikirkan nasib anaknya, tapi tentu itu sudah sia-sia belaka. Bukankah dia juga sudah tewas? Kini arwahnya yang berlarian ke sekeliling kota dengan orang-orang bertaring yang terlihat malas mengenakan pakaian, seakan di malam sebelumnya terjadi pesta liar yang melahirkan sejuta dosa. [ ]
 
Gempol, 2019-2020

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, novel, esai, puisi, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Museum Anomali (2016), Babi-babi Tak Bisa Memanjat (2017), Negeri yang Dilanda Huru-hara (2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (2018).

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri