Skip to main content

Berburu Obat Kematian

(Dimuat di Pojok PIM pada 28 Desember 2019)
 
Padang ilalang menyeretku ke malam yang dingin. Aku hanya bisa menemukan air hangat dalam termos. Tak ada apa-apa lagi dalam ransel yang entah milik siapa itu, yang tergeletak di dekat tempatku berbaring. Bahkan selimut pun tak kutemukan. Bagaimana aku bertahan dalam udara dingin?
Aku bukan orang yang berpengalaman melawan alam. Bakatku hanya bersemayam di sini, di relung-relung tersembunyi dalam tempurung kepalaku. Maka, aku berharap menjumpai sesuatu yang ajaib untuk menolongku, meski seumur-umur aku tak percaya kisah-kisah yang tertuturkan di kitab agama yang dilekatkan padaku saat dilahirkan.
 
Aku memang tak pernah benar-benar serius dalam menjalani agama itu. Aku tidak percaya segala sesuatu terjadi oleh kekuatan tak terlihat di luar sana; aku hanya percaya segala sesuatu terwujud atas usaha manusia sendiri. Kini, aku telah berusaha. Aku pergi ke tempat yang jauh, mengejar rahasia tergelap tentang pengobatan yang belum pernah ada di permukaan bumi. Sebuah metode pengobatan yang melibatkan tanaman-tanaman langka dan sedikit usaha di laboratorium, sehingga kelak orang tak perlu merasa takut pada kematian. Dan, sayangnya, tak ada yang kudapat selain tersesat dan mungkin saja mati sia-sia di tempat antah berantah.
 

Aku sungguh tak tahu berada di mana diriku saat ini. Padang ilalang ini tak pernah tersimpan dalam laci ingatanku. Kini aku terjebak di sini, bersama ransel yang hanya berisi termos dengan sedikit air hangat, dalam gempuran udara dingin membekukan. Di kejauhan tidak terdengar apa-apa selain gemuruh angin yang kukira bakal membunuhku beberapa jam ke depan. Atau, tak sampai hitungan jam, boleh jadi aku sudah mati.
 
Aku hanya bisa mencoba mengubur diri di antara rimbunnya ilalang, tapi ternyata udara dingin itu begitu kuat. Bahkan tanah yang menyentuh kulit lenganku terasa bagai lembah es batu yang terlingkupi jutaan helai ilalang. Maka, aku nekat berdiri, kemudian lari ke sembarang arah untuk menghangatkan tubuhku sekaligus berharap menemukan sesuatu yang bisa menolongku.
 
Beberapa saat kemudian kujumpai sebuah rumah. Mungkin saja itu rumah atau tak lebih dari sekadar gudang; aku tak peduli. Di tempat macam ini memang bisa saja orang membangun rumah untuk urusan yang entah apa. Tak ada tetangga satu pun juga bukan menjadi persoalan bagi beberapa jenis manusia. Aku yang nyaris kehabisan tenaga kini hanya bisa melanjutkan laju dengan melangkah. Ketika tiba persis di depan pintu rumah itu, kudengar suara seseorang bicara di dalam sana. Suara itu mengingatkanku pada satu masa yang jauh, yang entah terkait apa dan kapan. Aku hanya berdiri kaku di teras tanpa bergerak seinci pun ketika akhirnya seseorang membuka pintu bangunan aneh itu, dan menatapku dengan ekspresi penuh kebahagiaan: “Nah, kamu datang juga!”
 
Aku tak mengenal orang itu, tapi dia menyambutku seakan-akan kami sudah saling kenal saja. Malah dia juga menyebut-nyebut namaku, lantas memberiku nasihat panjang lebar agar tak menentang orang tua dan menjalankan perintah agama dengan benar.
 
Aku sama sekali tak merespons omongan orang aneh ini, tapi akhirnya tidak dapat kutahan juga lidahku untuk bicara, “Siapa Anda? Apa kita sudah saling kenal?”
 
Respons orang ini sungguh di luar dugaan. Dia menamparku sambil mengucapkan sebuah nama, lalu mengelus dadanya. Nama itu? Sepetik nama yang sejak kecil kukenal sebagai nama yang disandang oleh sesuatu atau dzat yang selaiknya semesta takuti. Oh, memang saat ini aku terkadang masih menganggap nama tersebut adalah nama Tuhan yang seharusnya rajin kusembah. Hanya saja, sebagian dari diriku menolak itu, dan tak ada yang dapat mendesakku untuk berpindah prinsip.
 
Setelah tamparan itu, suara lain kudengar dari bagian dalam rumah. Seseorang lain keluar dengan penampilan yang sangat keibu-ibuan. Melihat sosok berwajah cerah itu, aku terkenang akan ibu kandungku yang sudah meninggal beberapa tahun lalu. Aku tak pernah membuatnya bahagia, tapi dia tak pernah menuntut apa-apa, kecuali hanya kerap memintaku untuk lebih mendekatkan diri pada Tuhan. Sayangnya, permintaan itu lebih sering kuabaikan sampai ibuku tiada.
 
Kenangan soal ibuku itu tentu saja membuatku kembali menatap sang penampar di depanku, yang kini ditenangkan oleh sosok wanita berwajah cerah. Penamparku itu pria berusia paruh baya yang tinggi tegap dan memiliki rambut berwarna cokelat kemerahan. Ada bagian tertentu dari wajahnya yang membuatku teringat pada ayahku sendiri yang kini kutinggalkan hidup sendiri di tengah kota tanpa seorang pun yang sudi membantu. Ayahku memang orang yang sangat keras; aku kerap mendapat hukuman fisik, terutama tamparan. Saking seringnya ditampar saat membantah atau berargumen, terlebih tentang Tuhan dan semesta, aku sampai tak lagi merasa sakit ketika mendapatkan tamparan lagi dan lagi untuk ke sekian kalinya.
 
Barangkali saja sosok penamparku ini, yang membukakan pintu dan seolah sudah mengenalku ini adalah orang yang sama persis wataknya dengan ayahku, yang bersikap terlalu tegas dan jujur atas segala hal, sehingga banyak orang membencinya. Perbuatan Ayah di kehidupan bermasyarakat memang tak keliru menurut hukum agamanya, tetapi tak semua orang senang atas hal itu.
 
Untuk beberapa saat, setelah wanita itu selesai menenangkan si pria, kami bertiga hanya berdiri canggung tanpa seorang pun bertindak atau membicarakan sesuatu sampai entah berapa lama. Detik demi detik terasa panjang saja dan, anehnya, aku kini tak lagi tersiksa oleh udara dingin, meski pintu di belakangku belum ditutup dan gemuruh udara di luar sana masih sampai ke gendang telingaku.
 
Wanita itu tiba-tiba terlihat menyadari sesuatu, lalu buru-buru menutup pintu, dan dia memberiku tempat duduk di ruang tamu mereka. Ruang tamu yang terlihat lumayan aneh, karena terdapat meja makan dan di pojok ruangan terdapat lemari berisi piring dan gelas. Tanpa menanyakan sesuatu padaku, wanita itu bilang, “Kamu harus habiskan ini. Masih hangat dan jangan diambil hati tamparan tadi.”
 
Aku tak bisa berkata apa-apa saat wanita itu membuka tudung saji dan membuatku melihat beberapa sajian menggoda di sana. Aku tak bisa menyebutkan satu per satu apa saja yang dihidangkan untukku, tapi semua itu adalah makanan kesukaanku. Tentu saja aku tidak segera menyantapnya, meski perutku lapar; aku tidak ingat kapan terakhir kali makan. Aku malah bertanya, “Siapa kalian? Apa kita sudah saling kenal?”
 
Pria penamparku pun spontan berdiri dan nyaris saja melakukan tamparan yang tak kalah hebat seandainya tak dicegah si wanita, yang kini terlihat shock dan seperti akan menangis. Aku tidak tahu siapa mereka dan bagaimana mungkin ucapan sesederhana itu bisa memicu emosi macam ini? Aku sungguh tak tahu.
 
Namun, mereka tak memberi penjelasan apa-apa. Si pria penampar diminta masuk ke ruang dalam, sementara si wanita menyuruhku untuk segera makan, karena hari telah larut. Katanya, besok pagi ada sebuah janji yang harus kubayar.
 
Aku memang akhirnya menikmati juga sajian di meja makan, yang sayangnya tak sesuai harapan. Meski begitu, demi menghargai sikap baik si wanita, aku tetap berfokus pada piring dan sendokku seolah-olah aku memang menikmati masakannya. Setelah aku pikir segala sesuatunya sudah kembali tenang, kucoba bicara, “Saya benar-benar tidak tahu siapa kalian. Saya hanya orang tersesat yang kebetulan menemukan tempat ini. Di luar sana, saya hampir mati kedinginan.”
 
Wanita itu cuma menyahut, “Sudahlah, yang terpenting kamu sudah pulang. Besok janji itu harus kamu bayar.”
 
“Janji apa?”
 
“Oh, tentu. Kamu lupa. Tentu saja.”
 
“Saya tak tahu maksudnya. Janji apa? Kalian siapa? Tolong, jawab atau saya pergi dan biar saja mati di luar sana!”
 
Mendengar kata-kata tajamku, si wanita malah menangis. Dia tetap tak memberiku jawaban, sehingga aku pun beranjak bahkan saat perutku masih terasa lapar. Aku pergi menuju pintu dan sempat mendengar wanita itu menjerit-jerit memohon agar diriku tak pergi dan agar aku tetap tinggal bersama mereka.
 
“Saya tidak kenal kalian! Saya juga tidak berbuat salah, tetapi ditampar sedemikian rupa seperti maling saja!”
 
“Tolong. Jangan pergi! Saya mohon!”
 
Aku tidak peduli dan tetap pergi. Pintu rumah itu masih terkuak lebar, lantas si pria penampar mencoba menyusulku ke luar. Aku tahu ia terlihat sangat marah. Kali ini, aku tak mungkin tinggal diam; dia membawa sebuah pedang. Aku berlari sekuat tenaga dan menyumpah-nyumpah agar dia berhenti mengejar seseorang yang tak punya urusan apa pun dengannya.
 
“Kamu belum bayar janjimu, Biadab!” pekik pria penampar itu yang kini semakin memendekkan jarak denganku.
 
Aku benar-benar lelah. Tak kuat lagi berlari, tapi aku pantang menyerah. Aku tetap melaju, meski kecepatanku berkurang bertahap. Si pria agaknya juga tidak cukup bugar; ia mulai mengurangi kecepatan, meski tetap mengacung-acungkan pedang seakan ingin menyembelihku.
 
Di suatu titik, barangkali karena sama-sama lelah, kami berhenti untuk mengambil napas. Di sinilah kesempatanku untuk bicara padanya tanpa harus mendapat tamparan tak beradab sebagaimana di ruang tamunya tadi: “Saya tak tahu siapa Anda. Jikapun ada seseorang yang Anda cari, itu jelas bukan saya! Saya hanya ilmuwan yang berburu obat untuk masa depan umat manusia!”
 
“Obat kematian, bukan?! Kami tahu kamu berburu obat yang menentang takdir. Itu tak akan ditemukan. Setan-setan paling kuat pun tak mampu menghentikan maut!” kata si pria tak kalah lantang.
 
Aku tak tahu dari mana dia tahu misiku. Aku memburu obat kematian untuk suatu masa yang telah lama berlalu, yang kujalani dengan begitu sia-sia; aku harus membuat Ibu kembali hidup agar dapat kubayar kasih sayangnya dengan menjalankan apa yang ia inginkan dariku.
 
Melihatku kebingungan, pria itu berdiri dan melangkah dengan pasti ke arahku. Angin berembus kencang, membuatny yang membawa pedang sedikit goyah, tapi lelaki itu tetap maju. Aku tak kuat lagi berdiri. Aku merangkak dan merangkak dan menuntut jawaban atas segala peristiwa aneh beberapa jam terakhir; bagaimana aku bisa terjebak di sini? Siapa mereka?
 
“Itu tak penting lagi, Nak. Sekarang saatnya membayar janjimu,” ucap si pria yang kini terlihat sebagai siluet tinggi besar saja, dengan pedang terangkat tinggi di udara.
 
Pandangan mataku buram. Makin buram. Menuju gelap, lalu tak ada sesuatu pun di sekitarku yang dapat kulihat. Aku berharap terbangun di tempat tidurku, tertawa karena mimpi buruk, dan melanjutkan hidup dengan tenang. Atau, aku berharap terbangun di suatu tempat, di mana pun itu, yang dapat membuatku bertemu ibuku, dengan atau tanpa obat kematian, meski masih percaya segala sesuatu terwujud atas usahaku sendiri. [ ]

Gempol, 15 November 2019

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, novel, esai, puisi, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Museum Anomali (2016), Babi-babi Tak Bisa Memanjat (2017), Negeri yang Dilanda Huru-hara (2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (2018).

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri