Skip to main content

Setelah Kematian Menyakitkan

(Dimuat di basabasi.co pada Jumat, 27 Maret 2020)
 
Mati sebagai seonggok mayat tanpa identitas masih lebih baik ketimbang mati dan tubuhmu hilang dalam tubuh orang lain. Setidaknya itulah yang Ali Sumarno yakini. Ia tidak mungkin pulang begitu saja dan mengetuk pintu hanya untuk membuat kaget istri dan anak-anaknya dengan menampakkan diri dalam wujud hantu. Lagi pula tidak tahu apakah mereka bakal mendengarnya? Orang-orang itu mungkin pingsan atau bakal lari begitu melihat wujudnya yang mengerikan atau malah ia sama sekali tak terlihat di mata mereka? Bahkan, lelaki itu sendiri tidak yakin bisa pulang tanpa tersesat dengan hanya mengandalkan sosoknya sebagai hantu. Apa ia bisa terbang? Apa hantu bisa lari secepat angin dan menembus tembok, gedung-gedung, kereta api, bahkan pesawat terbang?
 
Ali Sumarno memikirkan cara bagaimana supaya seseorang tahu ia belum lama ini mati dibunuh rekannya sendiri, lalu jasadnya dihilangkan dengan sesadis-sadis cara. Ia merasa cukup sudah kalah dalam perkelahian terakhirnya, lalu rekannya dengan bengis menggorok lehernya hingga putus. Ia merasa lebih dari cukup, tapi rekan itu sepertinya belum terpuaskan.
 
“Aku harus membalas dendamku dengan sebaik-baik cara. Maka, kamu harus mati dengan sesadis-sesadis cara,” kata rekannya.
 

Malam itu sungguh menjadi malam yang panjang. Menjadi mati bukan lantas kau diseret pergi malaikat maut ke tempat antah berantah yang hanya pernah ada dalam isi kepalamu sejak kecil belaka. Ali Sumarno barangkali belum tahu itu, sampai malam itu ia sepenuhnya tahu betapa menjadi mati bukanlah perjalanan pendek seperti ketika kau pergi berak ke toilet umum, yang mana perkara yang kau pikul hanya sebatas di dalam bilik kecil tertutup. Mati adalah perjalanan panjang yang menyakitkan dan itulah yang Ali Sumarno rasakan malam itu.
 
“Seandainya bisa dituliskan menjadi novel, tentu tak akan cukup dua ratus halaman. Aku bahkan yakin bisa menuliskannya dengan detail sepanjang kira-kira lima ratus atau tujuh ratusan halaman,” katanya suatu ketika, begitu bertemu dengan makhluk senasib dalam perjalanan panjangnya mengungkap kematian sendiri.
 
Namun, sebelum dialog itu berlangsung, Ali Sumarno tak tahu apa yang menanti di depan, selain menyadari ia tak dapat kabur dari rasa sakit akibat aksi lanjutan dari sang rekan. Menjadi mati, ternyata, membuat seseorang memikul sakit berkepanjangan yang setara dengan apa yang tubuh fana seseorang itu dapatkan. Seperti seseorang mengutuk dirimu dengan boneka voodoo. Seperti seseorang mengirim teluh atau santet, tetapi dari jarak yang cukup dekat sebab kau mampu melihat tubuh fanamu terbaring tak berdaya persis di depanmu. Situasi itu membuat Ali Sumarno hanya bisa mengutuk dan menjerit tanpa bisa menghentikan sang rekan yang terus saja mencincang-cincang tubuhnya yang sebenarnya telah kalah. Satu sabetan golok terasa bagai hantaman godam dari neraka di ruh Ali Sumarno dan sayangnya ia harus menelan lebih dari empat puluh sabetan. Tentu tidak termasuk ketika akhirnya sang rekan yang biadab itu menyulap tubuhnya menjadi potongan-potongan kecil. Seandainya pembunuh itu bisa mendengarnya, mungkin saja ia segera menjadi tuli, saking kuatnya jeritan derita Ali Sumarno.
 
“Lalu bagaimana?” tanya makhluk senasib beberapa lama usai malam mengerikan itu berlalu.
 
“Ia mengubahku menjadi sup dan menyantapnya malam itu, lalu malam besoknya, dan malam besoknya lagi. Setiap malam, dan kadang-kadang sore hari juga, ia santap sup yang dibuat dariku, dan itu ia perbuat seorang diri.”
 
“Saya perkirakan pasti dia sangat kelaparan.”
 
“Seharusnya tidak, dengan uang sebanyak itu yang dia dapatkan dari proyekku.”
 
“Tapi, bukankah Anda sebut tak ada lagi sisa-sisamu, kecuali tulang-belulang?”
 
“Ia melakukannya bukan demi rasa lapar.”
 
Ali Sumarno memang sakit hati, tapi dia tak berdaya. Tulang-belulang yang sangat mustahil dimakan serta oleh rekannya itu, dihancurkan sedemikian rupa, lalu ditaburkan di jalan raya menuju kota kecil yang nyaris sekarat di tepi pantai. Tentu dalam setiap proses biadab yang dijalani sang pembunuh itu, Ali Sumarno di sisi yang bersangkutan, meski tak bisa menampakkan diri, dan begitulah seterusnya ia terjebak sampai serpihan tulang belulang terakhirnya ditaburkan ke lubang toilet rusak di rest area terbengkalai di pinggiran kota.
 
Sampai sejauh itu, istri dan anak-anaknya tidak curiga. Bahkan orang-orang sekitar juga tak curiga. Ali Sumarno sendiri memang terkenal nakal sejak masih muda dulu dan begitulah orang mengenalnya hingga di kemudian hari ia mendapatkan dua orang anak dari istri yang legal. Pernikahan mereka digosipkan orang sedistrik sebagai pernikahan yang bukan berlandaskan cinta, sebab keduanya butuh untuk meneguhkan status belaka. Selain itu, semua orang tahu Ali Sumarno kerap bermain wanita di luar sana, dan begitu pula sebaliknya. Istrinya bahkan pernah mengajak menginap seorang kenalan asing dari sebuah diskotik baru di pusat kota ketika Ali Sumarno tidak pulang sebelas hari dengan alasan urusan pekerjaan, padahal bersenang-senang juga di luar kota bersama seorang wanita pekerja di sebuah karaoke remang di kota dekat pantai bernama Dewi. Tentu itu bukan nama sebenarnya. Dewi adalah nama yang disematkan begitu saja oleh lelaki itu sesukanya, sebab mengingatkannya pada mantan terindahnya di masa lalu, dan seluruh perjalanan bersama Dewi itu, dilakukannya bersama sang rekan.
 
Rekan itu bernama Mudakir. Ali Sumarno sudah lama mengenalnya dan menjalin kerjasama yang baik dengan lelaki paruh baya itu sampai suatu kali Mudakir mengajak dirinya menginap sebab tubuh Ali Sumarno mendadak demam setelah mobil mereka tak  bisa dinyalakan dalam perjalanan bisnis di tengah kepungan hujan. Di sinilah sumber malapetaka. Ali Sumarno melihat kecantikan berlipat ganda di diri istri Mudakir, lantas menggodanya, dan tak butuh waktu lama; mereka pun berakhir di sebuah kamar motel busuk tanpa sepengetahuan Mudakir. Sejak itu mereka tidak pernah menemui Dewi, dan Mudakir sempat bertanya-tanya: “Perempuan mana lagi yang memikat hatimu?”
 
Mendengar itu, Ali Sumarno hanya tertawa terbahak-bahak. Mudakir yang goblok, begitulah pikirnya saat itu, seandainya kamu tahu, kurasa kita tak mungkin lagi menjadi teman.
 
Hubungan gelap mereka akhirnya terbongkar beberapa bulan setelahnya, lalu tidak pernah ada lagi kabar Mudakir; ia dan keluarga bagai menghilang ditelan bumi, dan tak ada yang bisa diperbuat Ali Sumarno selain terus mencoba melacak keberadaan mereka. Ia tak mau menyerah dan merasa sangat bersalah pada rekannya tersebut, tapi suatu hari Mudakir tiba-tiba telepon. Sebuah pertemuan diatur.
 
“Sebaiknya tidak perlu ada yang dengar pertemuan kita. Ini persoalan aib, dan aku tak mau mantan kolega-kolegaku tahu.”
 
“Baiklah. Aku hanya ingin meluruskan betapa kita seharusnya masih bisa menjadi rekan dan teman yang baik.”
 
Tentu tak ada sesuatu yang perlu diperbaiki, setidaknya bagi Mudakir. Peristiwa itu berlangsung cepat bagi Ali Sumarno yang tidak siap. Ia mati digorok dan habis di perut Mudakir yang telah lama menghilangkan jejaknya dari publik. Sempat ruh Ali Sumarno bertanya-tanya: ke manakah istri Mudakir yang serupa bidadari itu kini berada? Apakah perempuan cantik itu juga turut menyantap sup dirinya tanpa pernah tahu sup tersebut berasal dari perbuatan nakalnya di masa lalu? Ali Sumarno tak tahu dan tak pernah tahu. Ia tidak memusingkan apa pun lagi setelah tahu secara pasti jejak keberadaannya hilang total. Taburan terakhir tulang-belulangnya yang dihancurkan teronggok menyedihkan di lubang toilet busuk di rest area terbengkalai. Bagaimana mungkin ia bisa mengundang orang-orang untuk datang dan menangkap Mudakir atas perlakuan biadabnya ini?
 
Ali Sumarno hanya tahu yang tersisa darinya tinggallah seluruh pakaiannya yang terkubur di suatu tempat di dekat titik kematiannya. Ia pun berjalan gontai ke arah kota di mana dulu seluruh keculasan dan kenakalannya berlangsung. Ia tak bisa bicara pada siapa pun, bahkan apa pun. Ia merasa tidak terlihat siapa pun. Di suatu halte ia bertemu seseorang yang seperti terlihat senang begitu melihat wujudnya yang tak lumrah.
 
“Anda sudah mati?” tanya sosok itu.
 
“Kok tahu?”
 
“Percayalah, cuma orang gila yang menganggap orang yang menenteng kepalanya sendiri ke sana kemari masih hidup. Saya juga sudah mati. Perkenalkan, saya Markoni.”
 
Maka, bersama Markoni, Ali Sumarno lalu berjalan ke arah pulang. Markoni tidak memiliki tujuan, karena sebenarnya ia gelandangan yang mati karena berebut makanan dengan seekor anjing liar. Ia mati setelah anjing itu menggigit lehernya dan luka akibat gigitan tersebut tak terawat dengan baik hingga membusuk dan membuatnya mati. Tak ada yang menguburkannya secara layak, sebab orang-orang entah siapa mengangkutnya begitu saja dan membawanya ke ruang praktik untuk mengacak-acak tubuhnya, konon demi alasan ilmu pengetahuan.
 
“Bung, Anda tidak tahu betapa sakitnya saya saat itu. Namun, tentu saja sulit untuk membayangkan rasanya dimasak dan disantap oleh mantan rekan sendiri,” kata Markoni dengan penuh simpati.
 
Dengan suara yang terdengar datar, Ali Sumarno berkata, “Mati sebagai seonggok mayat tanpa identitas masih lebih baik ketimbang mati dan tubuhmu hilang dalam tubuh orang lain.”
 
“Jadi, apa yang akan Anda lakukan?” tanya Markoni setelah mereka tidak bersuara beberapa saat.
 
“Belum tahu. Aku hanya perlu berjalan dulu sambil berpikir bagaimana agar setiap pakaianku yang dikubur itu berhasil ditemukan.”
 
“Terdengar mustahil, tapi saya temani Anda sampai akhir. Kebetulan saya juga tak ada kesibukan.”
 
“Terserah sajalah kalau itu yang kau mau.” [ ]
 
Gempol, 2 Februari 2020

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, novel, esai, puisi, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Museum Anomali (2016), Babi-babi Tak Bisa Memanjat (2017), Negeri yang Dilanda Huru-hara (2018), dan Museum Anomali 2: Dosa di Hutan Terlarang (2018).

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri