Skip to main content

Sang Peracik

(Dimuat di Padang Ekspres pada Minggu, 2 Februari 2020)
 
Bertahun-tahun setelah kepergian Ali Mugeni, desa itu tidak lagi heboh oleh berita- berita hilangnya para gadis. Dahulu gadis-gadis kerap hilang secara misterius tanpa ada yang tahu sebabnya. Orang-orang menuduh Ali Mugeni, pendatang yang membuka toko obat kulit di pertigaan, sebagai pelaku. Tuduhan ini dianggap mempunyai dasar. Mereka mengaitkannya dengan jarangnya Ali Mugeni berinteraksi dengan warga. Pada awalnya mereka hanya menganggap penjual obat itu orang kaya yang tidak bisa bergaul, namun rumah mewahnya yang kerap tertutup membuat beberapa orang mulai berpikiran buruk, apalagi setelah satu per satu gadis perawan mendadak hilang.
 
Adalah Mudakir, lelaki paling vokal di desa tersebut, yang biasa unjuk suara dalam tiap peristiwa penting atau sepele di desa, sehingga jika saja suatu hari nanti seseorang menulis buku sejarah khusus desa itu, namanya bakal tercetak lebih sering dari semua tokoh yang jauh lebih penting perannya dalam sejarah desa. Mudakir bilang, seseorang tidak akan menjadi sekaya itu hanya dari berjualan obat. Padahal mereka tahu, obat-obat yang dijual Ali Mugeni bukanlah jenis obat pasar yang dijual di tikar dengan sales ahli bual yang sering kita temui dengan janji-janji ala politikus biadab. Obat-obat itu bahkan penggunaannya tidak boleh sembarangan. 

"Bapak ibu, kalau ingin mengonsumsi obat ini, harus puasa dulu seminggu penuh. Niatnya harus tulus. Jika ada yang bolong atau ada keraguan sedikit pun, obat dari saya tidak akan manjur," begitu Ali Mugeni bersabda dalam acara launching toko obat yang baru didirikannya.
 
Seorang haji yang katanya mabrur, seorang yang tak pernah dikabarkan mengalami hal-hal aneh dan memalukan di desa tersebut, yang sayangnya tak mau disebutkan nama atau ciri-ciri fisiknya, mengaku melakoni saran-saran sang penjual obat kulit, dan yang terjadi adalah keajaiban.
 

"Saya bersumpah benar-benar mengikuti apa yang Ali Mugeni bilang dan obat itu kini menunjukkan khasiatnya. Tidak ada lagi gatal di sekujur badan saya. Sekarang pun saya juga sudah bisa makan ikan laut apa pun yang saya mau tanpa harus ketakutan jika alergi lama saya kambuh!" tuturnya dalam sebuah obrolan tersembunyi.
 
Konon kabarnya, haji yang katanya mabrur itu mengidap alergi tersebut sejak dia masih bayi. Kesembuhannya adalah sesuatu yang nyaris mustahil di mata banyak warga seandainya wawancara rahasia tersebut dibaca semua orang.
 
Obat kulit penghilang alergi racikan Ali Mugeni pun membuat heboh dan menjadi perbincangan hangat di kalangan warga yang kebanyakan memang menderita penyakit kulit, karena desa tersebut cukup jauh dari perkotaan dan belumlah banyak orang-orang yang memperhatikan kebersihan diri. Alhasil, jika Anda saat itu berkunjung ke sana, di kiri-kanan jalan, hanya akan berpapasan dengan orang-orang yang menderita borok atau kurap atau penyakit-penyakit kulit lainnya yang mustahil ditulis di sini tanpa membuat penulisnya lelah dan merasa jijik.
 
Segala macam penyakit kulit yang tersedia di desa itu barangkali bisa menang soal jumlah atas seluruh penyakit kulit yang tercatat dalam satu waktu di sebuah rumah sakit besar di ibu kota. Fakta ini membuat desa tersebut tidak terlalu bagus kabar beritanya di luar sana dan sangat tidak populer bagi pendatang, kecuali untuk penjual obat macam Ali Mugeni.
 
Jika seseorang yang biasa menghirup udara bersih ditempatkan mendadak di desa itu, boleh jadi dia pingsan atau bahkan meledak paru-parunya karena saking busuknya udara yang mengitari desa. Begitu banyak warga menderita penyakit kulit yang bahkan para mantri dan dokter desa pun menyerah menanganinya.
 
"Terlalu parah, Pak."
 
"Yang seperti ini harus dibawa ke rumah sakit ibu kota."
 
"Saya tidak ada alat-alat buat mengoperasi kulit Ibu."
 
"Ya Tuhan, belum pernah ada yang begini!"
 
Demikianlah komentar-komentar orang-orang yang paling dianggap paham terkait kesehatan kulit di seluruh bagian desa. Warga tidak lagi menaruh harapan pada mereka, sehingga klinik-klinik kecil, bahkan puskesmas, di desa itu, lebih sering tampak kosong dan tak berguna, dan karena saking menganggurnya bangunan-bangunan itu, tak heran kalau sampai ada yang melontar candaan soal betapa lebih berfaedah jika saja mereka mengubah bangunan-bangunan itu jadi rata dengan tanah agar setiap orang bisa lebih leluasa bermain bola.
 
Desa tersebut memang tidak memiliki lapangan khusus untuk acara-acara tertentu seperti perayaan hari kemerdekaan Indonesia atau pengajian akbar dan semacamnya. Ia hanya ada sebagai suatu lokasi yang sepertinya tak akan mudah dicari di peta dan lebih mirip tempat penampungan orang-orang jorok dengan kulit yang kebanyakan dijangkiti bibit penyakit. Kehadiran Ali Mugeni di desa itu membuat orang-orang yang telah lama pesimis, menjadi kembali menanam harapan.
 
Sayangnya, obat kulit Ali Mugeni tidaklah gratis. Segala sesuatu ada bayarannya. Demikianlah, bagaimana akhirnya tiap individu diam-diam menanam kebencian mereka pada Ali Mugeni, dan bukan sebagian orang kaya yang berhasil sembuh berkat membeli obat kulit ajaibnya. Harusnya orang-orang kaya itu mau berbagi, tapi mereka pikir obat Ali Mugeni terlalu mahal.
 
"Memang obat itu layak untuk kesembuhan yang dokter termahal di ibu kota pun belum tentu sanggup memberikan!" kata seseorang di antara mereka.
 
"Ali Mugeni bukan raja! Lihat saja kelakuannya merendahkan derajat orang-orang desa kita, dengan hanya membuka toko lewat pintu berjeruji dengan jaring anti-nyamuk dan tetek bengeknya itu. Dia pikir kita ini anjing-anjing kurap?!"
 
"Kita memang orang-orang yang berbahaya buat orang yang tidak menderita sakit kulit!"
 
Sejak itulah, sejak kebencian pada Ali Mugeni yang tertutup dan konon pelit mulai mewabah ke pikiran tiap warga, satu per satu gadis-gadis perawan dikabarkan hilang. Di desa ini, para perawan, tentu saja, meski menderita penyakit kulit, masih dapat hidup dengan gaya seperti di tempat-tempat lain tanpa minder. Sebab mereka boleh jadi hanya akan menemui jodoh yang juga menderita penyakit kulit di desa itu. Pikiran soal pergi ke desa lain tak pernah muncul di benak mereka.
 
Para gadis yang berkeliaran di setiap sudut desa selaiknya di desa-desa normal lain, mungkin membuat Ali Mugeni memikirkan sesuatu. Atau, jangan-jangan, sejak awal dia memang memiliki sesuatu tentang ini? Orang-orang mulai menduga jika obat dan uang yang Ali Mugeni miliki adalah hasil kerjasama dengan setan. Obat-obat kulit itu, boleh jadi dibuat dari bagian tubuh gadis-gadis yang hilang. Obat-obat itu mungkin diracik di suatu tempat tersembunyi di dalam rumahnya yang besar dan tertutup, dengan cara-cara yang terkutuk karena harus mengorbankan nyawa gadis-gadis tak berdosa.
 
Keberadaan Mudakir sang vokal memperparah situasi. Orang-orang yang tadinya segan hanya untuk sekadar mengetuk pintu toko Ali Mugeni (karena bau penyakit kulit mereka dan karena tidak punya uang), mulai merencanakan sesuatu untuk menerobos ke bagian dalam rumah itu demi membongkar kekejian sang penjual obat. Entah apa saja yang digelontorkan Mudakir ke telinga orang-orang dan entah apa motivasinya, sebab ia sendiri bahkan sudah beristri, jika saja kita anggap tuduhannya yang belum terbukti itu hanya berdasar sakit hati akibat hilangnya salah satu gadis pujaan. Atau boleh jadi dia memiliki gadis simpanan? Siapa tahu?
 
Tapi, tidak ada yang peduli pada isi kepala seorang Mudakir, lelaki tervokal di desa yang juga sekaligus pengidap koreng yang sangat parah selama bertahun-tahun sehingga kepalanya hampir selalu dibalut oleh perban, dan jika musim penghujan tiba, perban itu kerap berubah-ubah warna sehingga membuat orang-orang yang belum pernah ketemu dengan Mudakir, berpikir jika lelaki ini mungkin kehilangan tempurung kepalanya.
 
Maka, beginilah yang berikutnya terjadi setelah malam-malam rapat rahasia digelar: orang-orang berpenyakit kulit berbaris menuju rumah Ali Mugeni dan mendobrak pintu dan menghancurkan tokonya dan mencuri obat-obatannya. Mereka menyasar tiap sudut rumah untuk menemukan sang tuan rumah yang kabarnya hidup seorang diri karena di masa lalu istrinya meninggal dilibas truk pengangkut susu formula.
 
Di suatu ruang, Ali Mugeni ditemukan tidur telentang dan berteman bantal guling. Dalam posisi demikian, orang-orang yang belum menemukan bukti atas tuduhan kejam mereka itu mendapat ide; mereka menyergap si penjual obat yang terbangun oleh kaget dan membiarkannya berteriak sementara beberapa orang dengan sengaja merontokkan cuilan kulit borok mereka ke lubang mulut Ali Mugeni.
 
Tidak ada yang mencatat dengan pasti siapakah dalang di balik penularan penyakit dengan cara sebrutal ini. Tidak ada juga yang mengingat seberapa lama Ali Mugeni sang penjual obat meronta-ronta karena ditindih sampai bisa melarikan diri. Yang jelas, sejak saat itu dia tidak lagi terlihat. Malam itu juga orang-orang berpenyakit kulit tidak pernah menemukan gadis-gadis yang mereka cari. Tidak ada juga jejak ritual-ritual sesat atau apa pun yang mereka sempat yakini.
 
Meski demikian, orang-orang itu tidaklah terlalu berduka. Stok obat kulit racikan Ali Mugeni yang ajaib dianggap cukup memenuhi kebutuhan seluruh warga desa. Setiap orang mendapatkan sepaket dan, mengikuti anjuran Ali Mugeni saat itu perihal berpuasa dulu sebelum mengonsumsi obatnya, orang-orang jorok itu sembuh.
 
Kini, desa tersebut bebas dari pandangan sinis orang luar. Namun, hingga kini juga belum ada seorang pun yang menganggap hilangnya para gadis bukan salah Ali Mugeni. Jikalau ada yang menulis buku sejarah tentang desa tersebut suatu hari nanti, si penjual obat hanya akan dikenang sebagai lelaki jahat yang tak pernah mendapat hukuman atas kebejatannya membunuh gadis-gadis tak berdosa. [ ]

Gempol, 2018-2019

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Museum Anomali (2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (2018).

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri