Skip to main content

Sepeninggal Penulis Cerita yang Menjadi Gila

(Dimuat di kompas.id pada 2 Januari 2020)
 
Barang-barang bekas di gudang yang pernah ditiduri Sapono sudah aku singkirkan. Aroma gudang ini sungguh terasa menyesakkan, bukan hanya karena seseorang pernah tinggal di sini dengan segala kekhasannya, tapi juga peristiwa hadirnya sosok itu. Kini, tak ada lagi jejak lelaki sinting itu di sini. Sebenarnya dia tak pernah membuat masalah dengan atau tanpa keberadaanku di sini. Sapono selalu menyenangkan bagi anak-anak dan tentu bagi istriku, yang tak lain kakak kandungnya.
 
Istriku tidak tega membiarkan Sapono hidup sendiri sejak orang tua mereka tiada. Setelah proses pemakaman orang tuanya, ia mengajakku bicara di kamar.
 
"Sapono harus di sini, karena kalau dia hidup sendirian, bisa-bisa dia buat masalah besar," kata istriku dengan hati-hati.
 
Mulanya aku tidak setuju. Ada seorang lelaki bujang, umur tiga puluhan, tak terlalu waras, tiba-tiba ditampung di rumah kami, yang dihuni dua anak kami. Bagiku, merawat dan menjaga anak-anak tidak bisa sembarangan. Termasuk juga tidak bisa menyatukan mereka dalam satu atap dengan seorang paman yang tidak lagi waras.
 

Perdebatan panjang terjadi beberapa hari antara aku dan istri, tetapi kami berdua tak sampai bertengkar. Kami hanya adu argumen tentang apa manfaat dan kerugian dari keputusan yang bakal kami ambil nantinya. Setelah empat malam berdebat, diputuskan Sapono bisa tinggal di rumah kami.
 
Aku tidak pernah mempersoalkan kehadiran Sapono, kecuali cemas bahwa saudara iparku itu memberi pengaruh buruk ke anak-anak. Tapi, semua ini sekadar ketakutanku dan kuharap saja tidak ada sesuatu yang terjadi nantinya. Tak ada tindakan Sapono yang membuat anak-anak berubah, sebab iparku itu tidak pernah berbuat aneh-aneh di depan mereka.
 
Sapono malah sering membacakan dongeng untuk anak-anak, yang kadang-kadang dia karang sendiri, entah bagaimana caranya, sehingga di beberapa poin terdengar lucu oleh anak-anakku dan mereka sangat senang dengan kehadirannya.
 
Kata istriku, "Dia dulu sempat bercita-cita jadi penulis. Sayangnya, apa yang sudah diusahakan tidak berhasil. Ditambah ditinggal kawin pacar, akhirnya jadi gila."
 
Sapono memang sudah gila sejak sebelum aku menikahi kakaknya, sehingga tidak ada sesuatu pun yang kutahu tentang penyebab lelaki itu menjadi gila. Cerita-cerita dari istriku ini terkumpul dalam kepala dan semakin lama melahirkan rasa iba padaku. Aku tidak lagi cemas pada Sapono, sekalipun sesekali ia tidur di ruang tengah yang mana juga terkadang jadi tempat bagi anak-anakku menonton TV sampai ketiduran.
 
Seorang yang dulunya waras, yang mempunyai cita-cita menjadi seorang penulis, sehingga bakal mampu menikahi sang pacar demi kehidupan yang sempurna, tentu saja, jika suatu hari menjadi gila, tidak terlalu berbahaya kalau dibanding dengan orang yang gila karena melihat kejadian-kejadian terkait kematian dan darah. Aku tidak paham teori macam ini, tapi aku yakin saja bahwa Sapono memang tidak membahayakan keluargaku. Kegilaan karena ditinggal cinta, buktinya membuat ia begitu lembut dalam menanggapi permintaan anak-anakku akan dongeng.
 
"Ayo, Paman, cerita lagi yang lucu-lucu!" desak mereka.
 
Sapono menjawabnya dengan meminta mereka belajar lebih rajin supaya mendapat ranking satu, sehingga kemudian akan dia bacakan cerita karangannya yang paling lucu sejagat raya. Bagaimana itu tidak bisa kusebut lembut?
 
Sayangnya, keberadaan Sapono di rumah, yang sudah mulai tidak kucemaskan ini, menjadi berbalik ke kondisi semula setelah suatu pagi laki-laki itu bertemu perempuan cantik di tepi sungai dusun.
 
Aku tidak kenal perempuan cantik itu, karena dia memang warga baru, tetapi orang dusun bilang, "Saya pikir dia bidadari. Tapi, bidadari kok setiap hari belanja tahu tempe dan sayur asem! Begitu dikonfirmasi ... wah, wah, ternyata dia manusia yang wajahnya bagaikan bidadari!"
 
Semua orang tahu sebenarnya perempuan cantik itu sudah bukan perawan. Ia tidak hidup bersama seorang lelaki lagi, karena suaminya meninggal dua atau tiga tahun silam, saat berdinas sebagai pilot. Jadi, kepindahannya ke sini adalah demi menjalani hidup damai dan melupakan kesedihan akibat ditinggal suami mati.
 
Perempuan cantik itu juga belum punya anak dan tinggal di rumah berdua dengan pembantu yang tugasnya mengurusi rumah, tidak termasuk pergi berbelanja kebutuhan dapur. Kata warga yang mulai mengenalnya dengan baik, si cantik itu memang senang memasak, sehingga tugas apa pun selain memasak, barulah digarap pembantunya.
 
"Saya tidak bisa masak kalau bukan hasil masakan saya sendiri," begitulah katanya suatu ketika.
 
Nah, perubahan Sapono terjadi setelah dia bertemu secara tak sengaja di tepi kali, saat perempuan cantik tersebut pergi belanja. Setiap pagi, Sapono sering pergi ke tepi sungai untuk melamun dan mencari ikan untuk dilepas kembali ke alam bebas. Pagi itu dia tidak mendapat seekor ikan pun, melainkan pulang dengan wajah berbunga-bunga karena baru saja ketemu bidadari.
 
Waktu pertama mendengar kesaksian Sapono tentang perempuan cantik itu, tentu saja aku belum tahu kalau dia adalah tetangga baru di dusun ini. Tentu saja aku juga tak begitu saja berpikir bahwa ucapan Sapono memang berdasarkan fakta.
 
"Itu memang benar-benar bidadari, Mas!" katanya dengan penuh semangat. "Orang tidak perlu mikir lama buat menentukan kalau dia memang bidadari. Hanya saja, saya lihat-lihat, kok tidak ada sayapnya?"
 
"Cuma mimpi mungkin. Saya kira kamu mimpi semalam, dan karena pagi belum benar-benar hilang kantukmu, maka seolah-olah kamu sedang ketemu dengan bidadari," sahutku dengan santai.
 
Sapono marah mendengar bantahanku dan akhirnya aku minta maaf, karena setelah mendengar kabar tetangga baru dari seorang tetangga yang lain, dan setelah melihat dengan mata kepala sendiri betapa cantik janda itu, kurasa yang Sapono bilang memang masuk akal. Orang itu secantik bidadari.
 
Aku dan istri pun tahu semakin hari Sapono semakin tergila-gila pada janda muda itu. Ia mulai jatuh cinta setelah kami temukan sebuah surat di laci kamarnya, yang selalu terbuka.
 
Istriku bilang, "Bagaimanapun, pada akhirnya adikku selalu menderita."
 
Aku tidak menyahuti kata-kata itu, karena semua juga tahu betapa orang gila yang memendam cinta, tidak akan bisa berakhir baik, terlebih yang dia cintai orang waras.
 
Sampai beberapa minggu berlalu, perempuan itu belum tahu perasaan Sapono yang sebenarnya, tentu saja. Aku dan istri juga tidak mungkin bicara soal itu kepadanya. Itu memang tidak akan mungkin. Anak-anak menjadi sedih dan malas belajar, setelah tahu paman mereka malas membacakan dongeng lucu seperti dulu. Aku coba menulis cerita dan membacakannya buat mereka, tetapi tanggapannya sangat berbeda.
 
"Lebih baik Ayah cari duit dan yang tugas baca-baca cerita cukup Paman Sapono!"
 
Aku tahu aku tidak berbakat mengarang. Aku juga tidak bisa membujuk Sapono kembali ke rutinitasnya sebagai penghibur anak-anak lewat dongeng. Ia juga tidak lagi peduli dengan rutinitas melamun dan mencari ikan di pagi hari sehabis subuh. Ia bahkan tidak lagi menggubris ketika anak-anak memanggil dari ruang tengah untuk menemani mereka menonton.
 
Jatuh cinta membuat Sapono berubah. Sehari-hari dia berjalan ke seputar dusun, dan lebih sering duduk di pos ronda dekat rumah yang belum lama ini dibeli oleh sang janda. Di sekitar rumah itu Sapono sering terlihat, tapi tidak ada seorang pun yang tahu tentang maksud si lelaki gila ini.
 
Aku dan istriku tahu perasaan Sapono, tidak seperti orang-orang waras lain, sebab kami sering mendengarnya mengigau di malam hari. Ia terus menerus memanggil nama janda tersebut, "Maria, oh, Maria!" Lalu memeluk guling dengan erat seakan ada suatu momen yang mana dia berhasil merebut hati si janda dan memeluknya.
 
Setahun berlalu tidak membuat Sapono pindah haluan. Ia terus begitu sampai suatu kali, karena keasyikan melamun, saudara iparku tertabrak bus hingga tewas. Anak-anak dan istriku tidak sanggup melihat gudang bekas tempat Sapono. Walau disebut gudang, tempat itu sangat layak, sebab sesekali kupakai untuk berlatih tinju atau sekadar duduk dan mengobrol seru dengan teman-teman kantorku ketika kami liburan.
 
Akhirnya barang-barang di ruang yang pernah ditiduri dan dipakai Sapono, sudah aku singkirkan. Anggota keluargaku tidak lagi pergi ke sana, sekalipun tempat itu sudah kubersihkan dan kucat untuk menghilangkan suasana lama di saat Sapono masih berada di sini.
 
Mereka terus dan terus mengenang Sapono lewat buku-buku tulis yang disimpan iparku tersebut secara rahasia di tumpukan pakaiannya. Di dalam buku-buku tersebut, terdapat banyak cerita lucu dan sedih, hasil karangan Sapono sendiri, yang tidak pernah dilirik penerbit.
 
"Suatu hari nanti," bisik istriku pada salah satu anak kami. "Suatu hari nanti karya- karya luar biasa ini akan dibaca banyak orang. Kita hanya menunggu waktu saja. Paman kalian tentu tidak akan keberatan kalau tulisannya diterbitkan."
 
Dengan cara ini, anak-anak dan istriku, juga termasuk aku (tanpa bisa kumungkiri), akan lebih damai mengenang kehadiran sosok Sapono yang gila dan gagal meraih cita- citanya, ketimbang cuma mengenangnya sebagai bujang tak waras yang hidupnya tidak pernah dianggap ada. Buku-buku tersebut meneguhkan sosok Sapono yang jauh lebih berarti di hati kami. [ ]
 
Gempol, 2019

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Museum Anomali (2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (2018).

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri