Skip to main content

Benih Setan

(Dimuat di nyimpang.com pada 21 Desember 2019)
 
Hari-hariku mungkin akan terus berjalan dengan cara membosankan: bangun tidur, pergi bekerja, bergelut dengan tabel dan data-data, lalu pulang dengan tubuh lelah dan tanpa hasrat berbuat apa-apa selain duduk di depan televisi hingga tertidur.
 
Aku tidak memimpikan hidupku bakal begini. Tidak ada impian jenis ini di kepala anak mana pun. Aku berani bertaruh, kecuali mungkin bagi Jun, anakku satu-satunya, yang kini mendekam di penjara setelah membunuh teman-teman sekolahnya.
 
Aku tidak paham isi kepala Jun. Seandainya saja bisa, mungkin sudah dari dahulu kubelah kepalanya untuk dapat meneliti apa saja yang ada di dalamnya. Tentu saja aku membayangkan tindakan ini tak membunuh Jun. Tetapi, karena membelah kepala orang kemungkinan membuatnya mati terbunuh, itu tidak akan kulakukan.
 

Aku melahirkan Jun tanpa sengaja. Aku membawanya dalam perutku selama tujuh bulan yang membingungkan, karena aku sendiri bahkan tidak tahu siapa ayahnya. Aku ada di pesta malam itu dan pulang dalam keadaan mabuk berat. Begitu sudah di rumah dan kesadaranku utuh, aku membayangkan orang-orang menindih tubuh kurusku. Kami semua sama-sama mabuk. Kubayangkan di waktu bersamaan, seekor setan meletakkan benihnya dalam tubuhku.
 
"Jika Jun anak setan, kurasa itu jauh lebih baik, karena aku tidak perlu susah-susah merawat dan kuhabisi dia saat itu. Hanya saja, apa mungkin setan menitipkan benihnya di rahimku? Apa bisa setan yang dapat menghilang, melayang, menembus benda-benda itu mempunyai anak yang berdaging dan berkulit sebagaimana anak manusia?"
 
Aku terus bertanya-tanya tentang asal muasal Jun, tetapi tidak ada titik terang. Lalu aku putuskan untuk merawatnya saja, karena aku bahkan tidak tega mengabaikannya, meski tidak menginginkannya. Aku merawatnya meski membuatku repot dan banyak orang yang menganggapku perempuan kotor karena melahirkan bayi di luar nikah.
 
Sejak awal, aku tahu ada yang tidak beres pada Jun. Aku juga sudah tahu ia tidak menginginkanku sejak sebelum dia mengerti cara berjalan dan berbicara. Anak itu selalu menangis dan membuatku repot, tapi tidak jika seorang pengasuh kutugasi menjaganya. Pengasuh itu, sebut saja Maria, tak mendapat masalah bersama Jun. Menurutnya, Jun bayi yang lucu dan penurut.
 
Maria hanya berkata, "Mungkin karena Anda belum pengalaman."
 
Aku tak tahu apakah ucapan itu bermakna tuduhan atau sekadar tebak-tebakan saja, tapi aku memang tidak berpengalaman. Hanya saja, apa seseorang harus berpengalaman dulu untuk membuat bayi yang belum mengerti apa-apa dapat menyukai dirinya?
 
Jun tetap bersikap seakan-akan aku musuh dalam selimut yang harus dia habisi di saat yang tepat. Dia tetap tersenyum dan berbicara halus padaku saat anak itu sudah bisa berbicara. Dia memanggilku "mama", tapi ada sesuatu yang membuatku percaya dia tak serius mengatakannya dan secara diam-diam menyebutku bukan mama di belakangku. Entah sebutan apa yang menurut Jun benar-benar layak kusandang.
 
Meski demikian, aku tetap bekerja untuknya. Aku tetap berada di situasi yang sama seperti sebelum adanya pesta yang berakhir kehamilanku tersebut. Waktu itu aku belum bekerja di agen travel, melainkan di perusahaan terkenal di pusat kota, di mana hampir setiap orang menaruh impian lamanya di sana.
 
Tidak banyak orang yang sanggup bekerja di kantor hebat tersebut, tetapi aku bisa, dan semua orang tahu modalku benar-benar otak dan bukan tubuh yang seksi. Saat aku diketahui hamil, orang-orang kantor tidak ada yang sinis dan beberapa bahkan jadi lebih perhatian. Sangat jauh sikap orang-orang di tempat kerja dengan siapa pun yang tinggal di lingkungan rumahku.
 
Aku pindah pekerjaan tidak lama setelah kasus anakku mencuat dan diberitakan di hampir seluruh media. Jun kedapatan membunuh teman-temannya dalam sebuah pesta di rumah salah satu dari mereka. Aku tak tahu sejak kapan ia merencanakan semuanya. Yang jelas aku benar-benar tertipu olehnya.
 
Dapat kubayangkan penglihatan itu tidak akan bisa pergi dari kepalaku sampai aku tua dan mati nanti. Dapat kubayangkan tiap malam aku tersentak dari tidurku gara-gara tubuh-tubuh berlumuran darah itu mengelebat dalam mimpiku, bercampur kepala anak semata wayangku yang mendadak bertanduk dan bertaring, dan dengan tegas dia bilang, "Siapa suruh melahirkanku?"
 
Aku ingat jumlah pasti korban yang Jun akibatkan, tetapi tidak berharap mengingat itu selamanya. Dalam mimpiku kadang kulihat belasan jasad tergeletak dalam kondisi mengenaskan. Kadang, di malam lain, di mimpi serupa, tubuh-tubuh itu berubah jadi puluhan atau ratusan atau ribuan. Ada suatu mimpi yang menampilkan tubuh seorang manusia, tapi tubuhnya terlihat besar dan karena posisinya berbaring, ia bagai sebuah bukit. Jun ada di puncak bukit itu dengan senjata andalannya: sebilah kapak, dan dia berlari-lari ke sana kemari sambil menyanyikan lagu "Pelangi" dan menyabet-nyabetkan kapak ke udara. Begitu kusadari tubuh raksasa itu adalah tubuhku, aku langsung terjaga dan menangis sampai subuh.
 
"Apa yang mendasari anak Anda berbuat segila itu?"
 
"Bagaimana Anda mendidiknya?"
 
"Apa Anda tidak tahu yang dia kerjakan?"
 
"Anda tidak tahu isi lemarinya?"
 
Segala pertanyaan terlontar dan membuatku jatuh. Aku jatuh dan terperosok, dan sejak hari itu tak ada yang menolongku keluar dari lubang kegelapan. Aku diserbu awak media. Kamera-kamera jadi mimpi buruk berikutnya. Wajahku di mana-mana dan aku dikait-kaitkan dengan tindakan anakku yang tidak waras. Tidak ada yang menyeretku ke hakim atau penjara, tapi orang-orang menganggap semua yang terjadi adalah tanggung jawabku.
 
Hari-hari sebelum pembunuhan mengerikan itu terjadi, Jun terlihat agak santai dan tampak terlalu baik ke ibunya yang selama ini lebih sering tidak dia anggap. Waktu itu aku bilang pada anakku, "Semoga hubungan kita jauh lebih baik setelah ini."
 
Jun tersenyum mendengar ucapanku tersebut. Waktu itu, dia berumur 18, dan aku 40 tahun. Usia yang belum terlalu tua membuatku mudah memahami betapa boleh jadi anak ini butuh perhatianku saja. Bukankah sejak dia bayi aku terlalu sibuk oleh urusan pekerjaan? Bukankah kami jarang berdekatan? Kurasa semua akan baik-baik saja.
 
Aku tidak tahu pada hari itulah semuanya berubah. Setelah kami berpisah di jalan, karena aku harus ke kantorku, sementara dia ke sekolah, aku tidak berpikir soal apa pun selain tentang hubungan kami yang mungkin bisa diperbaiki. Sejak Jun kecil, Maria selalu mendampingi. Bahkan hingga detik ketika dia dibawa ke penjara, Maria masih ada di rumah kami.
 
Maria temanku sekaligus pengasuh anakku. Dia tidak berkata apa pun selain bahwa Jun anak yang baik dan penurut. Hari itu Jun pamit padaku bahwa dia akan langsung ke pesta ulang tahun temannya di sore hari, jadi tak perlu dijemput.
 
"Pantas kamu bawa banyak barang," kataku, mencoba menebak-nebak isi tasnya yang menggelembung, yang kurasa berisi semacam kostum atau hadiah yang nanti dia pakai untuk mengejutkan temannya.
 
Aku tidak tahu tas itu ternyata berisi kapak dan rantai. Aku juga tidak tahu betapa teman-temannya tidak bisa kabur ke mana-mana setelah tiap pintu dan jendela diblokir olehnya dengan rantai. Salah satu korbannya menelepon polisi sebelum tewas terbantai. Berkat telepon itu polisi dan warga merubung lokasi. Sebelum rumah tersebut berhasil dibobol, aku berdiri di sana, berdiri dengan dada bergerumuh dan kaki yang kurasa nyaris patah karena tidak kuat menopang beban tubuh sendiri. Di situlah aku tahu Jun tidak berubah.
 
Aku percaya Jun bukan benar-benar anak kandungku. Dia sesuatu yang salah di dunia aneh ini. Maksudku, bukankah setan-setan dan malaikat eksis? Mereka tak terlihat oleh mataku dan mata banyak manusia, namun mereka ada di mana pun. Mereka ada dan barangkali Jun datang dari kejadian-kejadian aneh yang tidak bisa dinalar.
 
Setelah Jun ditangkap, Maria menangis padaku dan memohon untuk tidak berbuat apa pun karena dia sudah terkekang sejak lama. Dia terus bersujud depan kakiku dan mengungkap fakta-fakta yang tersembunyi dari pengetahuanku tentang Jun.
 
Aku tak tahu Jun telah berbuat banyak pada wanita yang usianya nyaris sepantaran diriku itu. Aku tidak tahu dan sebenarnya tidak ingin tahu. Maria pergi entah ke mana. Aku keluar dari pekerjaanku karena orang-orang berubah. Aku minggat ke luar kota dan menemukan pekerjaan baru di agen travel. Di sini orang-orang tak peduli padaku. Aku mengubah penampilanku. Aku membawa nama yang sama tetapi mereka tidak ada yang mengenaliku.
 
Hari-hariku mungkin terus berjalan dengan cara yang membosankan: bangun tidur, pergi bekerja, bergelut dengan tabel dan data-data, lalu pulang dengan tubuh lelah dan tanpa hasrat berbuat apa-apa selain duduk di depan televisi hingga tertidur. Aku tidak memimpikan hidupku bakal jadi begini. Tidak pernah. [ ]

Gempol, 2018-2019

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, novel, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Museum Anomali (2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (2018).

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri