Skip to main content

Binatang di Kepala Kami

(Dimuat di ideide.id pada 29 Januari 2020)
 
Kelaparan membuatnya berkelakuan seperti binatang. Ia tidak malu mencari makan di selokan. Saya kasihan dan saya bawa pulang dia. Saya mandikan dan saya beri baju. Dia diam seribu bahasa saat ditanya soal nama. Saya panggil saja Kinanti.
 
Kinanti menemani malam-malam yang sepi. Bersama Kinanti, saya kembali paham apa kehangatan. Bersama Kinanti, saya merasa surga ada sejengkal di depan. Dia tidak tahu cara menyembah Tuhan, tetapi tidak bisa diajari mengenal-Nya. Jadi, saya ajari dia tentang surga. Dia suka dengan apa yang saya sebut surga, karena surga di rumah saya ada setiap malam.
 
Surga saya bukan surga Tuhan. Kinanti tidak paham, tapi tidak ada yang dia dapat pahami lebih dari segala yang fisiknya butuhkan sebagai makhluk hidup. Di sini dia bisa makan apa pun dan tidak perlu bayar atau kerja. Dia cukup ada saja di dekat saya setiap malam.
 
Teman-teman mencela apa yang saya kerjakan. Masa bodoh. Kinanti toh rela. Dia bahagia mendengar bisikan saya tiap kali kami selesai menyusuri surga di kasur. Kinanti bahagia dan merasa hidup sebagai makhluk paling beruntung.
 

Kinanti senang melolong-lolong, lalu saya katakan kepadanya bahwa kamu bukan serigala, tetapi manusia. Kinanti tak dapat saya cegah. Ia terus melolong-lolong dan ada juga saatnya mengeong jika butuh sesuatu yang sudah mulai kami sebut surga. Kinanti memang tidak bisa bicara, namun ia mengikik geli setiap kali saya bukakan tirai surga dan di sana tertabur bunga-bunga yang membuat kami tenggelam dalam mimpi paling memabukkan.
 
Kinanti hanya akan marah jika ia lapar dan mulai mengaduk-aduk isi kulkas dan kadang melempari gelas atau piring hingga dapur pun berantakan. Semua pembantu di sini paham Kinanti butuh semua yang membuat fisiknya bahagia, tetapi mereka tidak perlu tahu terlalu banyak binatang yang mendekam dalam kepala gadis itu.
 
Saya yakin, di kepala Kinanti ada binatang. Ia, binatang aneh itu, yang mengendali tindak tanduknya, berwujud gaib. Memang begitulah kenyataannya. Di kepala manusia paling waras saja kita bisa menemukan binatang tertentu yang bisa berjumlah lebih dari satu. Binatang-binatang pengendali yang membuat pemilik kepala tidak sanggup hidup tanpa perbuatan jujur. Jujur tidak harus selalu bagus. Jujur itu cara agar tidak menderita karena tuntutan-tuntutan hidup bermasyarakat.
 
Kejujuran Kinanti, sebagai orang sinting, adalah segalanya bagi saya. Dia serahkan sepenuh jiwa kepada saya segala yang dia miliki. Setiap inci tubuhnya dia relakan untuk saya, bahkan andai mampu, nyawa pun barangkali bakalan dia beri. Semua itu karena saya memberinya makan dan surga.
 
Teman-teman tahu saya kesepian sejak istri saya meninggal empat tahun lalu, dan sejak itu saya tidak pernah menyentuh wanita. Melihat Kinanti di tepi jalan, berbaju apa adanya, menggoda, membuat sisa-sisa kelelakian di tubuh ini kembali menyala dan lalu menuntut balas. Dan saya membalas dengan indah dalam surga yang saya bangun untuk Kinanti.
 
"Padahal kamu bisa membayar kupu-kupu untuk menghiburmu. Beberapa kupu- kupu untuk semalam, kukira kamu bisa. Tapi kamu tidak melakukan dan aku bersyukur karena ternyata kamu masih sehat," kata seorang teman.
 
Saya katakan kepadanya semua itu terjadi karena saya sendiri tidak tahu. Mungkin binatang di kepala saya ketika itu menganggap bahwa ada saatnya surga saya peroleh lewat tangan perempuan tertentu, jadi binatang itu bunuh diri dan jasadnya hilang jadi debu. Ketika Kinanti datang, saya sambut dan saya jadikan dia ratu surga. Di saat yang sama, binatang lain lahir kembali dalam kepala saya.
 
Kinanti saya dandani seakan ia perempuan normal. Sekali waktu saya ajak ke pesta, tetapi ia tidak bisa menjadi normal. Ia mempermalukan saya. Sejak kejadian itu, sangkar khusus saya bangun untuknya dan Kinanti menikmati hidupnya yang mengenyangkan dalam sangkar, tanpa mengorek-ngorek selokan.
 
Kinanti tidak melawan dan binatang di kepalanya mulai jinak. Sesekali dia marah dan melolong-lolong seperti biasa, tetapi karena dia tahu saya orang yang memberinya segala yang dia butuhkan, maka mengeong adalah lebih baik.
 
"Kamu lebih bagus kalau mengeong, dan mengeonglah setiap hari kepadaku," kata saya.
 
Kinanti mengeong setiap hari dan membuat saya bahagia. Sebab, jika ia melolong, itu membuat saya tidak terlalu berhasrat. Saya hanya akan ingat pada kematian istri saya yang dirampok oleh lelaki dengan serigala di kepalanya. Saya memang tidak mengenal lelaki biadab itu, namun saya tahu begitu saja bahwa di kepalanya yang bersemayam adalah seekor serigala.
 
Istri saya memiliki kucing di kepalanya, sedangkan saya adalah ayam jantan. Tidak ada waktu bermesraan bagi saya, tetapi istri saya cukup romantis dan menganggap suatu tanggal bersejarah teramat sayang untuk dilupakan.
 
Karena di kepala saya si ayam jantan tidak peduli tanggal, dan hanya peduli pada kepuasan surga, istri menganggap saya tidak menyenangkan dan ia pergi. Di jalan, ia mati dirampok lelaki asing. Sejak itu saya percaya, kadang-kadang kita harus mencari tahu dulu binatang macam apa yang mendekam di dalam kepala pacar kita. Itu supaya tidak terjadi penyesalan seperti yang saya alami.
Saya menggiring agar binatang di kepala Kinanti berubah wujud jadi kucing bukan karena ia bisa menjadi istri saya dan melahirkan banyak anak dan mencatat semua hal yang paling sepele; sama sekali tidak. Saya hanya ingin membuat dia sedikit lebih waras agar tidak melukai saya sewaktu kami bermain-main di surga ini.
 
Kinanti senang menggigit, seperti serigala, sehingga saya pikir ia bisa saja berbuat hal yang dapat menghilangkan nyawa saya jika dibiarkan begini.
 
Saya bilang, "Jangan gigit. Nanti aku mati!"
 
Selalu itu yang saya katakan. Syukurlah, Kinanti paham. Meski gila, ia bisa diajari.
 
Akhirnya, beginilah kisah ini berlangsung terus menerus selama ribuan tahun dan bukan hanya terkait saya dan Kinanti: bahwa para binatang berpesta pora di kepala para manusia. Semua manusia. Semua manusia yang hidup dan pernah hidup di permukaan bumi yang biru ini. Semua manusia, tak terkecuali.
 
Dan para manusia tidak tahu apa yang sebenarnya mereka lakukan dan seberapa besar dosa telah mereka kumpulkan? Mereka tidak dapat membedakan perbuatan mana yang mereka lakukan oleh pengaruh binatang di kepala mereka dengan perbuatan mana yang benar-benar datang karena keinginan diri mereka sendiri. Kadang-kadang saya pun juga begitu, tapi saya tidak peduli. Surga ada di tangan saya dan kami bermain-main di sana setiap hari. [ ]
 
Gempol, 2019

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, puisi, esai, novel, dan skenario FTV. Karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Museum Anomali (Unsa, 2016), Babi-babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017), Negeri yang Dilanda Huru- Hara (Basabasi, 2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (Basabasi, 2018).

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri