Skip to main content

Pengakuan

(Dimuat di Bacapetra.co pada 17 April 2020)
 
Terakhir kulihat senyum perempuan itu bukan saat kami baru saja melepas rindu di atas kasur semalam sebelumnya. Bukan ketika aku meninggalkannya duduk di bangku depan mobil. Senyum terakhir itu, yang kutangkap setelah tahu seseorang rela menjadi malaikat maut bagiku, akan mengendap di kepalaku sampai beratus atau bahkan beribu tahun lamanya, andai aku diberi jatah hidup sebanyak itu.
 
“Tuhan tidak memberi bajingan sepertimu keistimewaan!”
 
Ya, memang.
 
Bukankah terlalu banyak jiwa yang kulempar ke jurang pekat, yang tak terjamah, tak terendus bahkan oleh anjing pelacak paling jenius sekalipun? Tak ada satu hal pun yang kubanggakan untuk itu, sebab tindakan itu hanya “perlu” untuk diadakan, dan aku bukan sedang mengejar prestasi.

“Coba kau ingat-ingat ada berapa nyawa yang sudah kau habisi?”
 
Sejujurnya, aku tak ingat. Tetapi, andai seseorang ingin membangun sebuah rumah dengan bahan-bahan dan desain unik, tubuh para korbanku jelas sesuai untuk kebutuhan semacam itu; mereka akan patuh saat misalnya engkau menyusunnya menjadi sebidang tembok atau atap atau bahkan pintu toilet yang tentu saja akan memiliki banyak lubang. Bisa kau bayangkan tubuh demi tubuh manusia, yang disatukan menjadi sebuah rumah. Bisa kau bayangkan ada berapa banyak celah dan lubang yang terbentuk?
 
“Mereka patuh? Bukankah mereka memang sudah mati, Tolol?!”
 

Itu dia maksudku. Mereka sudah mati dan mereka patuh meski tubuh-tubuh kaku mereka kau gunakan untuk apa pun. Dalam perkara membangun rumah, kurasa arwah para korbanku tak akan keberatan. Mereka baru akan keberatan, meski aku yakin tidak ada satu pun di antara arwah-arwah sial itu yang bisa bertindak untuk melukaiku atau bahkan dirimu dan seluruh manusia lain di muka bumi, andai mereka mengendus aroma nikmat dari sudut dapur, yang mana itu terjadi akibat diriku yang memasak sekumpulan daging dan tulang dan organ tubuh dari orang-orang yang kubantai selama lebih dari satu dekade.
 
Tapi, mari kita pergi jauh saja dari pikiran-pikiran tentang kelakuanku yang sudah lama berlalu. Aku sudah muak untuk memikirkan bagaimana tubuh-tubuh itu akan tetap bertahan di sana; di segala tempat yang tak mungkin kusebutkan padamu dan tak perlu juga kuungkap demi alasan tertentu yang manusiawi. Coba gambarkan bagaimana rasa mengetahui tubuh orang-orang yang kau cintai ditemukan hancur dan tak ada sisa sama sekali tentang mereka di sana? Sepotong tangan akan membusuk pada suatu hari, lantas daging dan uratnya akan hilang oleh waktu, dan yang tersisa hanya tulang. Bayangkan perasaan seorang istri atau pacar atau orang tua demi melihat itu? Tapi, sudahlah. Cukup dan sudahi pemikiran tentang ini.
 
“Lalu, kau mau apa? Apa yang bisa kau tawarkan pada Tuhan sehingga kau diberi sisa umur yang panjang?”
 
Aku tak berharap mendapat umur panjang. Setelah senyum terakhir perempuan itu, justru aku menginginkan untuk segera mati. Aku ingin mati detik ini juga kalau mampu, tetapi tak ada apa pun di sini yang bisa kujadikan sarana. Kalau kau hadir di sini untuk tujuan itu, silakan saja.
 
“Aku bukan pembunuh sepertimu, Bangsat.”
 
Baiklah. Sekarang maumu apa? Kita bicara tentang perempuan itu?
 
“Boleh juga.”
 
Perempuan itulah yang menghentikan seluruh aksi biadabku sebagai pembantai di permukaan bumi yang tak perlu memikul alasan apa pun. Aku bisa membantai sesosok bajingan yang merampok bank tanpa harus merebut uangnya. Aku juga bisa membantai seorang pemuda yang duduk merokok di sebuah jembatan tanpa harus mengenalnya atau tanpa harus dia membuat masalah tertentu denganku. Aku hadir untuk semua orang yang bersedia mengambil risiko mati demi berada di dekatku. Kau tahu, kemampuanku dulu juga pernah menjadi profesi tersendiri yang membuat setiap wanita tertawa tanpa henti begitu mereka bertanya apa yang kukerjakan untuk bisa membeli sejumlah mobil dan rumah.
 
“Profesi macam apa itu?”
 
Eksekutor bagi mereka yang berharap segera mati namun terlalu lemah. Sering kali kujumpai orang-orang yang muak pada hidupnya, sepertiku ini, tapi tidak bisa mati oleh tangan mereka sendiri. Akulah yang mengerjakan sisanya; mereka hanya perlu berharap mati.
 
“Bagaimana kalau mereka datang untuk memintamu membantai orang lain?”
 
Kubantai mereka saat itu juga. Tidak ada yang boleh menyuruhku membunuh siapa pun, kecuali pesuruh itulah yang kuhabisi. Ya, memang itu juga yang kukerjakan ketika harus melayani para klienku, bukan? Hahaha!
 
“Profesi yang aneh ... dan biadab, menurutku.”
 
Orang boleh berkata apa, tapi mereka menginginkannya, dan mereka juga kuhitung sebagai korban yang kuhabisi. Tubuh mereka juga kadang-kadang ada yang kubuang ke tempat terpencil. Nah, suatu ketika, seorang perempuan datang padaku dan dia ingin dia mati malam itu juga. Aku tak tahu bagaimana seorang perempuan seindah itu ingin mati dan tak lekas membunuhnya. Aku bertanya dan dia menjawab, “Seorang lelaki hadir di hidup untuk menggangguku sepanjang waktu.”
 
Aku tidak tahu kenapa kudatangi lelaki pengganggu itu dan kuhabisi dia, dan sejak itu aku tidak lagi berminat membunuh. Aku justru ada menemani perempuan itu, yang ternyata tidak menginginkan mati. Anehnya, aku juga tak ingin dia mati, sehingga kami pun akhirnya berpacaran. Aku tak pernah menikahinya, tapi dia sudah memberiku entah berapa ribu pengalaman luar biasa di atas kasur. Kami tenggelam dalam kenikmatan itu selama, barangkali, lima atau tujuh tahun.
 
“Apa yang kau kerjakan selama itu?”
 
Membangun bisnis baru; sebuah restoran. Aku lumayan berpengalaman dalam soal mengiris daging, tentu saja. Kemampuanku cukup berguna dalam membantu pegawaiku di dapur, dan aku merasa lebih dari cukup.
 
Dialah, perempuan itulah, yang merasa tak cukup untukku. Aku sudah memberinya segalanya. Bahkan kesukaanku membunuh orang-orang tidak berguna di luar sana juga tidak lagi kujalankan setelah kami bersama. Tapi, dia sudah bosan denganku. Suatu hari kuhajar seorang pelayan di tempatku karena bersumpah melihat perempuanku tidur di motel bersama lelaki asing. Dia tak memberiku bukti sehingga wajahnya layak kubikin babak belur.
 
“Apa yang perempuan itu katakan?”
 
Dia bersumpah tak pernah selingkuh, dan justru pelayanku yang menggoda dirinya. Sampai kali itu aku masih percaya. Bulan demi bulan segalanya kembali normal. Suatu ketika kami pergi ke pantai untuk berlibur. Tiba-tiba seorang lelaki menyambangiku ke bilik toilet di mana aku sedang sibuk dengan urusan perutku.
 
“Di dalam toilet?”
 
Ya. Lihatlah bajingan sial itu, yang bahkan tak pernah mengenalku, menyambangi bilik toiletku hanya untuk membunuhku!
 
“Kau pun tahu rasanya jadi mangsa, ya?”
 
Tidak juga. Akulah yang akhirnya harus membunuh, setelah mendengar dari mulut bajingan itu sendiri bahwa dialah yang selama ini meniduri istriku dan berharap mereka bisa lepas dari pantauan manusia sinting sepertiku.
 
“Oh, jadi setelah itu kamu bunuh pasanganmu sendiri? Tapi, tunggu dulu. Tadi kau sebut tentang mobil. Bukankah kalian sedang di pantai?”
 
Kami baru akan pulang dan aku singgah sebentar di toilet. Dia menunggu di tempat parkir. Cukup aneh bagi seseorang untuk tersenyum saat pasangannya butuh membuang kotoran dari usus. Tapi, senyum itu membuatku terbakar. Seperti sesuatu yang bertahun lamanya terpendam di sini, lalu tiba-tiba meledak dan terbayarkan hari itu.
 
“Apa yang terjadi? Maksudku, aku butuh mendengar detail.”
 
Bayangkan sebutir kepala indah, dengan mata dan rambut yang setara milik boneka malaikat, mendadak hancur berkeping-keping. Bayangkan butiran darah dan daging dan sesekali serpihan tulang bertebaran di kursi depan mobilmu. Aku tidak sempat mencuci itu; lebih tepatnya tak ingin. Biar sisa-sisa perempuan itu tak sepenuhnya terpendam di peti yang membawa tubuhnya (yang tanpa kepala) ke titik yang tak terjangkau olehku. Sekarang, memikirkan itu, rasanya aneh juga. Orang yang membuatku sempat berhenti dari penyakit lamaku justru tak terjangkau setelah dia mati. Sementara, mereka yang tak kukenal sama sekali, yang kuhabisi bahkan tanpa perlu alasan, hingga detik ini selalu dan tak mungkin lepas dari jangkauanku.
 
“Kenapa kau perlu menyembunyikan kenyataan lama itu?”
 
Jika tidak, mereka menghukumku lebih lama. Mungkin aku akan mati di sini, tapi itu bukan yang kuinginkan. Aku memang ingin mati, tapi kuharap bukan di tempat ini, dan tidak bersamamu.
 
“Tidak ada yang mau mati dengan adanya aku di sisi mereka, memang. Kau tahu kenapa?”
 
Kau makhluk pembawa sial.
 
“Kau pun begitu.” [ ]

Gempol, 2019-2020

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, novel, esai, puisi, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Museum Anomali (2016), Babi-babi Tak Bisa Memanjat (2017), Negeri yang Dilanda Huru-hara (2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (2018). Segera terbit kumcer terbarunya berjudul Pengetahuan Baru Umat Manusia.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri