Skip to main content

Detik-detik Keberuntungan

(Dimuat di Kurung Buka pada 15 Desember 2019)
 
Sepulang kerja aku melihat kejadian itu: sepasang kekasih melompat dari puncak gedung 15 lantai. Keduanya mati seketika dan terjadi tepat di depanku. Jarakku dengan trotoar di mana kepala sang pria terbentur hanya lima atau enam meter. Akibatnya darah menciprati pakaianku.

Aku memang tidak sampai ketakutan setengah mati dan lari ke apartemenku, lantas mengunci diri. Aku shock dan kehilangan kesadaran selama sepersekian detik, dengan mengira yang kulihat hanya imajinasi. Aku tetap berdiri dan memperhatikan darah segar melebar dan membentuk genangan di sekitar dua tubuh yang tak lagi utuh. Di sekitarku, orang-orang datang membawa kamera. Di kanan-kiri, depan-belakangku, nyala blitz liar tak terkendali. Aku seakan salah satu bagian penting dari peristiwa yang tak kutahu latar belakangnya ini; tiap orang mengambil gambarku tanpa izin bersama kedua jasad yang tergeletak tak jauh dariku.
 

Tak berapa lama, seseorang menarikku. Aku tetap tidak tergerak untuk pulang atau mencari tempat longgar, melainkan masih menuruti apa yang semesta perbuat untukku. Orang-orang ini, kamera-kamera yang mereka bawa, para petugas kepolisian dan rumah sakit, dan apa pun yang di sana, yang hadir setelah sepasang kekasih bunuh diri pada suatu sore yang syahdu, adalah semesta yang mengendalikanku. Aku diam saja dan baru bergerak kalau ada dorongan atau tarikan yang melibatkanku ke dalamnya.
 
Maka, beginilah yang kutahu berikutnya: setelah aku mengira pikiranku betul-betul sadar, aku mendapati diri duduk di kedai kopi seberang TKP. Warga kota bergerumbul di depan pintu dan menyesaki trotoar depan kedai sehingga tidak dapat kulihat apa yang terjadi di sana. Aku menoleh saat seseorang mencolek dan bertanya, “Apakah air putih sudah cukup?”
 
Kubilang, "Ya."
 
"Tenangkan diri Anda dulu, Bung," kata pelayan tersebut. Ia menoleh sebentar ke kerumunan di luar kedai, lalu menatapku lagi seakan-akan aku bocah kecil yang tidak seharusnya melihat peristiwa mengerikan tadi.
 
Aku mengangguk pendek. Pada detik inilah, ketika kutatap kembali arah bumi dan kutemukan baju dan celanaku basah oleh darah kedua pelaku bunuh diri sore ini, aku mulai merasa getaran yang aneh. Aku mendadak cemas dan terbayang jika dua manusia yang baru saja mati tadi akan terus menghantui pikiranku. Barangkali baju dan celanaku dapat kusingkirkan, tapi mereka tetap adalah benda yang terkait denganku dan kejadian tadi juga secara gamblang melibatkanku. Tidak bisa tidak, aku akan terus terbayang oleh kejadian ini. Yang terkotori darah mereka bukan hanya pakaianku, tapi juga ingatanku.
 
Untuk beberapa saat, tubuhku dikuasai rasa takut. Menit berikutnya, ketika sirene ambulans, yang sejak kusadari tubuhku berada di kedai kopi sudah berbunyi nyaring memenuhi udara di luar sana, terdengar menjauh, di dadaku terasa ada sesuatu yang menggelembung dan memenuhi setiap inci ruang kosongnya. Jadi, tubuhku mendadak terasa penuh oleh sesuatu. Udara yang dari awal bersemayam di ruang kosong di dada dan perutku, mendadak naik dan naik dan aku pun muntah.
 
Aku meminta maaf pada pelayan yang terlihat sabar tadi dan dia hanya tersenyum melihatku. Aku tidak tahu bagaimana dapat berdiri dan berjalan pulang seperti biasa. Ketika pelayan itu membersihkan muntahan di lantai, aku rasa tubuhku lemas dan ingin menginap saja di sini. Kepalaku juga pusing sehingga keinginan tinggal di sini semakin membesar.
 
"Anda kenapa?" tanya si pelayan ketika kucengkram kedua kepalaku dan melihat dua petugas kepolisian masuk bersama seseorang yang terlihat penting tapi berpakaian casual.
 
"Saya pusing."
 
Sebelum pelayan tadi bertindak, dua polisi yang kumaksud menghampiriku, lantas menanyakan apa yang kulakukan ketika kejadian bunuh diri tadi terjadi dan apa diriku mengenal dua korban.
 
Kujawab sesingkat yang kubisa karena tubuhku kini benar-benar tidak fit. Orang- orang itu mengerti dan membiarkanku istirahat saja karena menurut mereka situasi yang menimpaku meninggalkan bekas yang sulit hilang di ingatan. Salah satu dari mereka menawariku tumpangan pulang. Aku jelas bersedia. Kami keluar dari kedai. Aku tidak sempat mengucapkan terima kasih ke si pelayan.
 
Di sepanjang perjalanan, aku duduk diam di bangku belakang sembari para polisi membicarakan hal-hal lain, yang tidak menyangkut kasus bunuh diri tadi. Seakan-akan yang baru saja terjadi dan membuatku tidak enak badan ini adalah suatu hal yang wajar. Seakan-akan bunuh diri sepasang kekasih tadi adalah rutinitas yang tidak perlu diambil pusing.
 
Namun, mereka tidak membuatku diam bagai patung begitu saja selama beberapa menit. Keduanya bertanya tentang di mana aku kerja dan segala macam soal hidupku. Kujawab seperti tadi; singkat. Mereka tak lagi bertanya setelah kusampaikan bahwa aku tak tahu caranya terhindar dari kesialan macam ini.
 
"Saya bahkan tidak tahu apakah bau amis darah ini benar-benar dapat pergi begitu saja setelah beberapa bulan," kataku.
 
"Suatu hari Anda akan melupakannya," kata si petugas di bangku kemudi.
 
***
 
Sampai berhari-hari kemudian, bahkan beberapa minggu setelah kejadian bunuh diri itu berlalu, aku masih belum dapat lepas dari ingatan tentang pria yang kepalanya membentur trotoar dan pecah seakan tengkoraknya tak lebih sebutir buah, dan serpihan daging buahnya meluncur padaku, tepat mengenai baju, celana, sebagian wajahku.
 
Ingatan itu bertambah lagi dengan si wanita yang menghancurkan bagian kaki dan pinggulnya persis di depanku sehingga baru sekian hari kusadari bahwa bukan hanya darah mereka saja yang menodai pakaianku, tapi juga serpihan otak si pria yang, entah bagaimana, turut terbang dan meluncur begitu saja ke udara, menuju kepadaku, menuju wajahku, berkat tumbukan sepasang kaki jenjang si wanita ke bumi!
 
Aku sadar itu setelah sekian hari memikirkan tentang pakaianku yang kubuang ke tong sampah dan sesuatu yang ganjil dan lunak yang tak sengaja kutemukan menempel persis di kulit antara bibir atas dan lubang hidungku. Mengenang itu membuat bau amis semakin menguat dan membuatku hanya sanggup memakan sedikit sekali sayur-sayuran dalam roti lapis yang biasa menjadi pilihan terbaikku saat sarapan. Selain itu, sebagian besar jatah sarapanku di kedai depan apartemenku kubuang begitu saja.
 
Di tempat kerja, beberapa hari setelah peristiwa itu, entah berapa orang datang ke mejaku cuma untuk bertanya-tanya kesan yang kurasakan. Aku tidak bercerita banyak karena mereka bahkan tak benar-benar berani mendengar. Aku tidak tahu motif orang- orang ini, tapi akhirnya mereka berhenti juga.
 
Dalam beberapa pekan itu, demi menghindar dari rasa tidak nyaman dan mual, aku tidak berjalan melewati rute biasanya; aku memilih jalan lain sehingga harus memutar. Bisa saja kuputari satu blok, tetapi gedung yang dipilih pasangan itu untuk bunuh diri dapat terlihat jelas jika rute ini kupilih. Mau tidak mau, agar ingatan bunuh diri itu tidak kutemui, yang artinya tak terlalu membuatku tersiksa, jalan pulangku jadi lebih panjang.
 
Itulah yang terjadi selama tujuh bulan berikut. Aku mulai tenang saat mengambil rute lebih pendek. Aku mulai tenang melihat puncak gedung itu dan tak lagi terbebani oleh roti lapis yang kumakan, meski sebenarnya ingatan soal serpihan otak si pria belum benar-benar lenyap. Aku bisa memblokir apa pun terkait itu dengan cukup baik, dengan sesegera mungkin memikirkan hal lain yang jauh dari peristiwa itu.
 
Setelah dua tahun menghindari TKP bunuh diri yang melibatkanku sebagai saksi tersial dalam sejarah orang-orang bunuh diri di kota ini, aku mulai berani melewati rute lama: jalanan depan gedung 15 lantai itu. Aku sengaja mampir ke kedai seberang, yang dulu-dulu tidak sekali pun terpikir buatku singgah ke sana, meskipun sekian tahun aku melewati jalanan yang sama sebelum peristiwa bunuh diri itu terjadi.
 
Pelayan penyabar kabarnya tak lagi bekerja di sini, tetapi aku tetap senang karena ada gadis cukup manis yang melayaniku. Di samping itu, aku juga disambut hangat oleh orang-orang. Tak ada yang lupa padaku. Orang-orang di kedai itu, yang di hari kejadian berada di sini, sempat melihatku dan mereka bilang akan selalu mengingatku sebagai lelaki yang ketiban sial dan bahkan nyaris ketiban maut juga.
 
"Anda tak membayangkan saat itu mungkin Anda ikut mati?" tanya salah satu dari mereka.
 
"Tidak."
 
"Bayangkan Anda pulang kerja beberapa detik lebih awal. Boleh jadi sekarang ini Anda sudah berada di surga."
 
Aku tidak tahu harus menjawab apa, tetapi aku tertawa pendek mendengar lelucon salah seorang pelanggan kedai itu.
 
Pada akhirnya aku cuma bisa mengatakan, “Barangkali saya sudah di surga, atau jangan-jangan justru ke neraka?”
 
Orang-orang tertawa.
 
Kupandangi jalanan di depan dan memikirkan ucapan orang itu. Bagaimana andai sore itu aku pulang beberapa detik lebih awal? Apakah tubuhku hancur karena tertimpa pasangan itu? Apakah darahku menciprati baju dan wajah seseorang dan membuatnya takut selama bertahun-tahun? [ ]

Gempol, 2 April 2018 - 4 November 2019

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan skenario. Karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Museum Anomali (2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (2018).

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri