(Dimuat di kompas.id pada Kamis, 7 Mei 2020)
Apa yang Anda pikirkan jika seekor kijang yang sedang Anda buru tiba-tiba kabur dan berbalik memburu Anda? Kijang itu mendadak lebih cepat, lebih ganas, lebih cerdik dan licik ketimbang Anda, hingga pada momen itu Anda sadar nyawa Anda mungkin bakal segera dicabut, dan hal terakhir yang dapat Anda pikirkan adalah tunangan Anda yang kini menunggu cemas nun jauh di sana.
Seekor kijang tampak lemah di hadapan peluru. Dia dapat mati karena kebodohan. Teknologi mampu menyingkirkan seekor kijang hanya dalam waktu beberapa detik saja. Bukan itu yang saat ini terjadi. Andalah yang terancam. Seekor kijang yang Anda buru berbalik mengejar. Tak ada jalan selain menuju utara, yang secara pasti mengantar Anda ke sebuah jurang.
Apa dongeng seperti ini bisa terjadi?
Lihat Ali Mudakir dan pasukannya. Tidak ada yang tersisa seorang pun. Semua mati dikepung ribuan semut keji dari hutan terangker di muka bumi. Anda tahu tidak ada yang lebih hebat dari pasukan khusus Ali Mudakir dalam menumpas makhluk-makhluk absurd di muka bumi demi perdamaian dan keamanan umat manusia.
Dengarlah kisah para tentara dari negeri Kalodori, yang mana suatu ketika mereka berperang melawan para petani bodoh di sebuah desa penghasil bunga yang terbelakang. Tak ada seorang pun pulang. Para tentara itu, kelak di kemudian hari, usai bertahun-tahun resmi dinyatakan hilang oleh dewan Kota Kalodori, ditemukan tinggal tulang-belulang saja; terkubur di lahan kosong tak jauh dari barisan toilet umum milik para petani yang kini sebagian besar telah tiada atau hijrah ke negeri lain karena situasi politik empat dekade terakhir.
Itu segelintir dari sekian banyak kisah aneh tentang kalahnya orang-orang kuat dari mereka yang dianggap lemah. Sebagaimana kisah-kisah aneh itu, seekor kijang pun juga memiliki jatah keberuntungan; dia bisa mengejar balik Anda, dan tentu saja bisa membuat Anda mati sia-sia di atas panci sebagai makanan kijang-kijang yang mungkin kini sedang menunggu kematian Anda dalam rasa lapar.
Apa mungkin seekor kijang menyantap daging manusia?
Seekor kijang bisa menyantap manusia jika hanya itu cara yang tersisa untuk bertahan. Seekor kijang yang Anda kejar habis-habisan sepanjang hidup selama bertahun-tahun juga bisa memangsa Anda sampai tiada yang tersisa kecuali nama dan memori di kepala sedikit orang. Itu pun jika ada yang mengingat Anda. Apa Anda benar-benar yakin di dunia ini setidaknya ada satu saja orang waras yang sudi mengingat Anda setelah Anda mati?
Saya tidak yakin.
Reputasi Anda di masa lalu menjadi bahan pemikiran yang menyenangkan. Saya tahu betapa panjang jejak berdarah yang Anda ukir di tanah di suatu hutan demi kepentingan Anda. Saya mengerti bagaimana Anda tak tersentuh tangan musuh-musuh Anda yang lain, yang berupa harimau, serigala, kambing gunung, elang, burung emprit, ikan paus, kecoa, cacing tanah, itik, ayam, dan entah berapa jenis lagi binatang yang pernah Anda buru dan musnahkan.
Anda bencana di mata mereka. Anda wujud malaikat maut itu sendiri. Di luar sana, malaikat maut bekerja menarik nyawa setiap makhluk, tetapi pada tempat Anda berpijak, Anda yang bekerja untuk itu. Semua Anda kerjakan untuk kesenangan pribadi. Bahkan malaikat maut saja segan berada terlalu dekat dengan Anda, sehingga para satwa pernah meyakini betapa sang pemburu, betapa Anda, tidak mungkin mati.
Apa yang Anda dapat?
Anda mendapat keluarga bahagia, paling bahagia di muka bumi. Anda bisa membeli segala sesuatu, termasuk membeli tubuh dan otak manusia-manusia lain, yang lalu dengan rela menjilat dan menciumi kaki Anda sebagai pemburu paling andal dan cerdik. Hanya dengan itu mereka makan dari daging buruan Anda. Andai saja satu dari mereka tiba-tiba berbalik mengkhianati, tidak ada waktu untuk kabur. Mereka segera mati di tangan Anda yang terlalu jenius untuk ditipu. Dengan cara hidup ini, apa Anda betul-betul bahagia?
Apa membunuh tak ubahnya bernapas? Atau, sama halnya sarapan pagi? Bagaimana rasanya buruan pertama, kedua, ketiga? Apa Anda rasa segalanya mulai mati rasa setelah banyak buruan tak berdosa mati, hingga demi melihat bayi-bayi manusia mati pun, Anda tidak lagi sedih?
Kami, para satwa di mata Anda, adalah kumpulan makhluk bernyawa yang sah saja mati jika memang diperlukan. Sebuah perasaan berkuasa harus dibayar oleh nyawa para makhluk yang tak berdosa seperti kami, yang untuk belajar membaca saja harus melalui perjalanan panjang yang sungguh payah. Membaca adalah barang mewah bagi kami di saat segala bentuk kekuasaan seakan terletak hanya pada diri Anda. Sebagian binatang di hutan pada suatu masa pernah meyakini Tuhan tak menengok tempat kami untuk beberapa saat sehingga Anda dapat terus berburu melebihi batas demi kesenangan, dan Anda dapat terus mencegah kami mempelajari banyak hal dari buku-buku.
Sayangnya, Anda tidak selalu memegang kendali. Adakalanya Anda merasa lelah dan butuh beristirahat. Pada saat itulah, dalam bayang-bayang dan sunyi, beberapa dari kami bertekad mengakhiri ini dengan mempelajari banyak hal. Para kijang, kami yang dahulu lemah dan selalu mati di tangan Anda dengan mudah, tak lagi bisa dianggap sepele. Para kijang akhirnya berbalik mengejar Anda dan menjatuhkan Anda dengan telak seperti masa lalu yang suram di sebuah hutan tak pernah terjadi saja. Seperti seseorang yang membunuh terlalu banyak satwa (atau di mata kami: manusia lemah) bukan iblis mengerikan yang tak terkalahkan, melainkan tak lebih dari lelaki renta haus kuasa. Untuk menghabisi lelaki tua dengan uang dan senjata dan para penjilatnya, para kijang dan binatang-binatang lain perlu bersatu. Dan dengan cara itulah, pada akhirnya, kami menghabisi Anda. [ ]
Gempol, 7 Januari-12 Desember 2019
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, novel, puisi, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Museum Anomali (2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (2018), Museum Anomali 2: Dosa di Hutan Terlarang (2018).
Gempol, 7 Januari-12 Desember 2019
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, novel, puisi, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Museum Anomali (2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (2018), Museum Anomali 2: Dosa di Hutan Terlarang (2018).
Comments
Post a Comment