Skip to main content

Antara Pencurian, Korupsi, & Plagiasi



Pencurian adalah tindakan jahat yang dilakukan dengan mengambil milik orang lain secara diam-diam. Kebanyakan--dan hampir dapat dipastikan--tujuannya tak lain untuk menguntungkan diri si pelaku. Pelaku tersebut tidak akan mengembalikan benda yang dicurinya, kecuali dalam keadaan-keadaan tertentu yang mendesak, sepeti misalnya ketika ia tertangkap basah. Sepanjang masih 'aman-aman' saja, pencuri adalah asap di tengah badai, yang hilang dan tak mungkin akan kembali.

Berbicara soal pencuri, saya pun teringat pada kampung halaman. Dulu saya tinggal di desa yang jauh dari perkotaan. Setiap kali ada salah satu dari tetangga kami yang menjadi korban pencurian--barang-barang elektronik yang berharga raib--orang selalu menyebutnya dengan istilah kemalingan. Jika sampai hal tersebut terjadi, tak ada satu pun penduduk desa yang tak tahu. Kabar tersebut segera menyebar, menjadi berita utama dari mulut ke mulut. Oleh karena maling atau pelaku pencurian selalu menutup wajahnya ketika tengah beraksi, maka orang desa selalu mengait-ngaitkan ciri fisik pelakunya dengan sosok berwujud ninja, yang berkeliaran di malam hari dengan penutup wajah serba gelap.

Setelah itu, pengertian maling atau pelaku pencurian, selalu membuat saya berpikir soal wajah bertopeng. Ketika saya masih kecil, orang-orang secara tidak langsung mengabarkan bahwa mereka yang mencuri itu tak mungkin menunjukkan wajahnya ke semua orang. Ada dua alasan utamanya: malu dan takut ketahuan. Tentu saja rasa malu dan takut ketahuan itu kemudian mengantar saya pada satu pertanyaan lugu: "Berarti tindakan mencuri itu tidak baik, ya?" Tak lama kemudian, segera saya dapati jawaban yang pasti dari semua orang dewasa yang ada di sekeliling saya: "Ya, mencuri itu dosa, tidak baik!"

Saya mulai paham dan menanam dalam kepala kecil saya kala itu, mengapa setiap kali kasus pencurian, apa pun benda yang dicuri, siapa pun pelakunya, serta bagaimanapun cara dan motif yang ada, pasti tidak jauh-jauh dari tanda tanya. Mengapa tanda tanya? Karena pencurian selalu dilakukan bersama dengan upaya menyembunyikan diri. Sederhana, bukan? Karena apa-apa yang disembunyikan pasti membuat orang akan bertanya-tanya.

Dua hubungan ini amatlah sederhana tapi cukup rumit untuk dipikirkan, atau sulit untuk dibongkar. Tidak ada yang tahu jawaban dari sebuah tanda tanya pada kasus pencurian, selain pelakunya atau mungkin dalang di balik semua itu, dan pastinya Tuhan.

Pertanyaan-pertanyaan yang keluar biasanya seperti ini: "Siapa pencurinya? Mengapa ia mencuri? Apa yang ada dalam hatinya? Bagaimana mungkin bisa berbuat itu?" Intinya dari seluruh pertanyaan yang ada, akan muncul banyak kemungkinan jawaban yang mendasari sebuah kasus pencurian.

Menurut saya, secerdas apa pun tindakan mencuri, akan selalu berhubungan dengan topeng. Hanya mungkin wujud dari topeng itu sendiri yang berbeda dari zaman ke zaman, mengikuti perkembangan seperti halnya cara berpakaian, teknologi, dan segala macam hal penting dalam kehidupan manusia.

Contoh sederhananya dapat kita lihat pada pencuri zaman lawas di cerita-cerita rakyat, atau juga berita masa kini soal kasus pencurian kecil-kecilan. Kebanyakan dari mereka menggunakan penutup wajah dari kain--alias topeng dalam arti yang sebenarnya--dan terjun langsung ke tempat sasaran. Maka bolehlah saya menyebut cara mencuri seperti ini adalah cara konservatif. Segala yang berkaitan dengan konservatif akan selalu dekat dengan kita. Setujukah Anda? Jika Anda bingung, coba Anda pikirkan. Pelaku pencurian dalam bentuk seperti ini seringnya bernasib tragis, maksudnya sial. Mengapa bisa begitu? Karena jika sudah tertangkap tangan, apa yang bisa dia lakukan? Dalam beberapa kasus, para warga yang menangkapnya akan lebih bersabar menunggu pihak berwenang untuk datang dan memenjarakannya. Namun dalam beberapa kasus pula, nyawa maling itu berakhir di tangan orang-orang yang tidak dapat mengontrol emosi.

Namun meski demikian, cara konservatif sampai saat ini tetap digemari oleh mereka yang menggeluti bisnis percolongan dan pengambilan barang-barang milik orang lain yang bukan haknya. Sebenarnya cara ini berbahaya, tapi tidak ada pilihan lain bagi sang pelaku untuk melakukannya. Karena memang cuma cara itu yang ada. Kebanyakan alasannya klasik: masalah ekonomi ... atau lebih tidak bertanggung jawab lagi: untuk bersenang-senang.

Cara konservatif dapat saja berubah ketika keadaan tidak memungkinkan seseorang untuk memakai topeng. Nah, inilah yang disebut sebagai kecerdasan berbanding lurus dengan kegilaan. Cerdas, karena jika ia beraksi dengan topeng, orang pasti akan langsung curiga dengan niat jahatnya. Tidak adanya topeng membuatnya lebih mudah membaur. Sedangkan gila, bukan berarti ingin menyebut pelakunya tidak waras, melainkan karena terlalu nekat. Bayangkan saja. Jelas-jelas ia terjun ke tengah masyarakat. Meski ia berhasil sekalipun, bukan tidak mungkin orang tidak melihatnya beraksi. Tanpa topeng, mungkin pelaku bisa dikategorikan dalam dua jenis, yaitu pencuri bertangan dingin atau pencuri tidak punya topeng. Pencuri tidak punya topeng inilah--yang kata Bang Napi--sebagai orang-orang yang berbuat ketika ada kesempatan.

Sebenarnya dari cara-cara konservatif di atas, dapat kita pahami bahwa dua-duanya sama-sama memiliki risiko bagi sang pelaku. Bahasa kasarnya sama-sama sial dan sama-sama malu jika tertangkap. Hanya saja berbeda dari proses yang mungkin terjadi. Jika dengan topeng, pelaku bisa kabur setelah beraksi, tapi ia harus berhati-hati sebelum benda yang dicurinya berada di tangan. Sedang tanpa topeng, pelaku akan terus dikejar bahaya, kecuali ia bisa meloloskan diri dari TKP (tempat kejadian perkara), lari sejauh-jauhnya.

Cara lain dalam melakukan pencurian pun kemudian tumbuh, seiring dengan berkembangnya zaman. Jangan Anda kira hanya penemuan remote control atau komputer saja yang dapat dikategorikan sebagai terobosan luar biasa di masa kini, bahkan tindakan mencuri pun juga dapat berkembang menjadi sedemikian canggih.

Dapat kita bandingkan, para pelaku dalam lingkaran konsevatif tadi, dengan para koruptor berprestasi milik bangsa kita. Mereka tidak butuh topeng kain atau semacamnya. Karena wujud topeng para koruptor sendiri bukan kain, melainkan tidak adanya rasa malu. Jelas-jelas mereka terbukti memakan uang yang bukan haknya, tetapi dengan santai tetap tersenyum seperti model iklan pasta gigi. Seolah-olah semua itu adalah bagian dari sejarah dan kesemestian hidupnya, seolah-olah ia tidak pernah melakukan kesalahan. Tapi perlu saya katakan, bahwa bagaimanapun tampan dan rupawannya mereka, peran topeng tetap dijalankan dan sutradara iklan pasta gigi janganlah dibawa-bawa. Karena memang sutradara itu tugasnya cuma membuat film.

Pencurian dengan korupsi ini akan selalu berkaitan konspirasi yang bergelombang dan rumit, seperti rambut Medusa. Tak perlu saya berpanjang kata soal ini. Anda yang memantau berita-berita aktual terkait kasus pencurian jenis ini, pasti akan paham maksud saya. Maka saya menyebut cara mencuri yang seperti ini sebagai cara progresif.

Keunikan--atau jika boleh disebut keuntungan--dari cara progresif ini adalah, bagaimana pelaku ditempatkan pada posisi yang tidak seberbahaya ketimbang para pelaku pencurian dengan cara konservatif. Oh, tentu ini ada pula kaitannya dengan segala perkembangan tadi. Bukankah jika zaman sudah berkembang, atau cara-cara tersebut sudah berkembang, manusia yang ada di dalamnya akan dipermudah?

Ini akan nampak sangat mencolok. Ibarat kata, jika seseorang menemukan maling ayam di pinggir jalan, maka sudah pasti ia babak belur. Padahal ayam yang dicurinya belum sempat dijual. Sedangkan jika seseorang menemukan koruptor membawa kabur uang negara triliyunan rupiah, maka sudah pasti ia adalah manusia yang 'layak' dilindungi, bagaimanapun itu, tak peduli sudah sebagian uang hasil colongannya masuk ke dalam perut si pelaku beserta keluarga.

Bagaimana bisa begitu? Tanyakan langsung pada pelakunya. Saya sendiri juga tak tahu bagaimana bisa begitu. Tapi satu yang pasti, cara progresif ini memiliki dampak bagi si pelaku untuk menjadi selebritis sekaligus tamu istimewa. Selebritis, karena ke mana-mana selalu tampil di televisi. Tamu istimewa, karena penjaranya dibuat khusus menyerupai hotel.

Adapun cara lain dalam mencuri mulai ditemukan ketika seseorang ingin terkenal, ingin sukses dan terlihat pintar, namun agak sedikit malas untuk berusaha. Jika cara konsevatif dan progresif dalam mencuri tadi hanya berkutat pada masalah uang, bukan ketenaran, maka cara yang satu ini sama sekali tidak berhubungan dengan uang--meski pada akhirnya bisa jadi menghasilkan uang juga. Pencurian jenis ini adalah tindakan mencuri kreatifitas, ide, pemikiran, atau karya orang lain. Kita biasa menyebut cara pencurian ini sebagai plagiasi atau plagiat.

Pembeda antara cara konservatif dan progresif dengan cara plagiat ini, jelas sangat kentara. Karena ini bukan semata soal uang atau ketenaran, melainkan sesuatu yang lebih besar ketimbang itu, yakni kekayaan intelektual. Perbuatan seperti ini tidaklah dapat dikatakan "beretika".

Saya pun teringat soal kasus bertahun yang lalu, tentang beberapa alat musik, lagu, dan tarian daerah kita yang diklaim negara sebelah. Mereka melakukan tidak hanya sekali dua kali, tapi berkali-kali seperti sudah tidak ada malu lagi. Oh, betapa mudahnya mereka mengatakan bahwa karya-karya seni Nusantara tersebut adalah hasil dari kreasi dan pemikiran cerdas mereka. Padahal jika dua pihak negara ditemukan dalam satu meja, kemudian keduanya mengeluarkan bukti-bukti sejarah yang cukup untuk dapat dikatakan sebagai pemilik asli kesenian tersebut, jelaslah bahwa negara sebelah tidak dapat menunjukkan apa pun. Dengan kata lain, kebohongan akan terungkap.

Yang menyedihkan dari hal ini adalah ketika kekayaan tersebut sejatinya telah ada pada kita, mengapa kita mesti "malu" untuk mengakui bahwa semua itu adalah apa yang nenek moyang kita wariskan untuk bangsa. Bukankah seharusnya ini membuat kita bangga? Kita justru merasa ada nilai-nilai keluhuran yang tidak dihormati, ketika negara lain berusaha merebut semua itu. Mengapa tidak dari dulu? Mengapa menunggu untuk hendak direbut dulu?

Lain cerita lagi. Kali ini, pencurian karya musik modern. Mungkin kita tak lupa setelah secara beruntun dalam kurun waktu sekian tahun, ada beragam kabar soal plagiasi yang merajalela. Indonesia memang telah banyak menelurkan seniman-seniman yang bersinar di panggung musik tanah air. Saya sejak dulu berpikir bahwa Indonesia adalah tempat lahirnya musisi-musisi hebat. Dalam dua dekade saja, yakni era tahun 1980-an hingga 2000, begitu banyak musisi-musisi yang berkarya dengan tidak setengah-setengah. Artinya, karya mereka cukup "abadi" di hati pendengar.

Tahun 2000 ke atas semakin berkembang. Mereka semakin kreatif dalam berkarya, namun hal tersebut justru diiringi pula dengan "kekreatifan" pihak-pihak tertentu dalam memplagiasi karya musisi-musisi "jujur" tadi. Sebagian pelakunya datang dari negara lain, namun bahkan ada pula yang dari bangsa kita sendiri. Korbannya? Tentu saja musisi-musisi kita.

Oh, ya, Anda pasti tahu. Belakangan ada berita mengejutkan. Musisi tingkat dunia melakukan aksi serupa: menjiplak lagu artis lawas kita! Tak perlu saya sebutkan nama, saya yakin Anda tahu. Tapi dari fakta-fakta itu, yang paling menyedihkan bagi saya adalah ketika beberapa musisi kita sendiri melakukan ketidakjujuran yang sama, dengan korban yang bukan dari negara kita.

Hal ini sungguh miris sekaligus membingungkan. Bukankah semestinya sebagai seorang yang--mau tidak mau--dituntut sebagai pekerja seni, hingga harus selalu kreatif mengolah ide menjadi karya asli, mereka tidak akan melakukan itu? Bukankah mereka mesti berkarya dengan benar? Saya sendiri tak tahu, alasan apa di balik semua itu. Tidak seperti pencurian cara konservatif ataupun progresif, pencurian model plagiat ini bak setetes tinta di tengah laut.

Tidak hanya bentuk karya seni, tulisan pun juga tak luput dari pelaku pencurian cara plagiat. Bahkan, dari minimnya pengetahuan saya, justru karya tulislah yang lebih rawan menjadi korban kejahatan ini.

Saya memang terang-terangan menyebut praktik plagiat ini sebagai tindakan yang tidak jauh berbeda dari pencurian. Karena memang apa yang dilakukan itu mencuri sesuatu yang bukan miliknya. Dalam hal ini, "sesuatu" itu adalah apa yang tidak dapat diukur bahkan oleh uang sekalipun. Maka dapatlah kita golongkan pencurian cara plagiat adalah langkah paling ekstrem dan berdampak paling besar, baik bagi korban maupun pelaku.

Aksi seseorang ketika "mencuri" tulisan orang lain, hanya diketahui oleh para pelaku itu sendiri. Tidak seperti maling-maling klasik yang menggasak TV atau radio, tidak juga tikus-tikus koruptor yang pura-pura manis padahal mengantungi uang rakyat, para plagiat ini adalah sosok yang jauh lebih tersembunyi dibanding pencuri jenis apa pun. Jika kita mencoba mencarinya di markas orang-orang jahat, kemungkinan besar tidak bisa menemuinya. Begitupun jika kita mencoba mencarinya di gedung dewan, hasil yang nihil masih juga didapati. Seperti aksi kejahatannya, tempat persembunyian pelaku pencurian jenis ini tidak ada yang tahu selain Tuhan dan dirinya sendiri.

Lepas dari pembahasan soal pencurian di atas. Sebagai penulis, sudah semestinya bagi kita--termasuk saya--untuk menjaga apa itu yang disebut mimpi. Bukankah setiap manusia itu punya mimpi? Maka jelaslah apa yang menjadi mimpi bagi seorang penulis. Tentu dari motivasi setiap orang yang berbeda, mimpi tersebut akan bercabang. Ada dari kita yang ingin agar tulisannya dibaca banyak orang, hingga batin merasa puas meski tidak ada imbalan bentuk apa pun yang diterima. Ada yang ingin menebar kebaikan, dengan berdakwah lewat tulisan misalnya. Lalu ada yang ingin berbagi pengalaman berharganya agar menginspirasi dan bermanfaat bagi banyak orang. Juga ada yang ingin terkenal dan kaya karena menulis, serta masih banyak lagi.

Dari semua mimpi-mimpi itu, bukankah tidak ada di antaranya yang tidak baik? Ya, semua mimpi itu memang baik. Lalu jika seseorang yang telah melihat mimpi itu dalam hati, sedang ia berusaha mengejarnya, akan sangat menyedihkan bila akhirnya keputusan memplagiat karya orang menjadi satu-satunya jalan. Mungkin karena merasa diri sendiri sudah tidak mampu lagi mengolah ide menjadi karya, jadilah karya milik orang lain diambil, direkayasa, dimodifikasi sedemikian rupa, agar seolah nampak bahwa tulisan tersebut adalah hasil dari buah pikirnya. Oh, betapa ini menjadi sebuah kekalahan yang paling memalukan. Kesucian mimpi tadi telah terabai, dan--sadar atau tidak--sesungguhnya tindakan ini sama halnya dengan menodai mimpi yang telah lama tergenggam. Tak hanya itu, kebohongan pun turut andil: baik kepada pembaca maupun diri sendiri.

Salah satu sahabat penulis saya pernah mengalami hal tersebut. Tulisan hasil jerih payahnya berpikir dan merenung, "diolah" oleh seorang yang entah siapa, lalu diklaim bahwa tulisan itu adalah karyanya. Konon katanya si pelaku datang dari negeri sebelah. Saya mengerti, betapa rasa kecewa dan sakit yang dirasakan begitu besar. Karena nyatanya saya sendiri juga pernah menjadi korban serupa. Pernah dengan adanya hal-hal semacam ini, seorang sahabat pernah curhat untuk berhenti menulis dulu. Alasannya karena cemas dengan ulah para plagiator yang sampai kapan pun, mungkin akan sulit untuk "dibasmi".

Saya sendiri berpikir, para plagiat akan selalu ada jika kesadaran dalam diri setiap manusia mengenai konsep mimpi di atas, belum ada. Tapi yang saya yakini adalah: tidak ada yang perlu ditakutkan selama kita berkarya dengan jujur. Toh, tujuan dan niat untuk berkarya bukankah sudah baik? Tinggal menyambungnya saja dengan semangat positif dan tindakan nyata. Jika ingin mimpi tercapai, maka jalan yang ditempuh pun juga harus jalan yang benar.

Satu pelajaran dapat kita petik bersama: “Setitik noda dari kenakalan yang sengaja diperbuat, tidaklah dapat mewujudkan kemurnian mimpi kita. Tindakan tidak jujur dalam berkarya, meski dapat membuat seseorang bertahan cukup lama, sejatinya ia telah mati lebih dulu.

Oleh: Ken Hanggara, penulis buku "Dermaga Batu" dan "Jalan Setapak Aisyah" 

Comments

Post a Comment

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri