Pencurian adalah tindakan jahat yang dilakukan
dengan mengambil milik orang lain secara diam-diam. Kebanyakan--dan hampir
dapat dipastikan--tujuannya tak lain untuk menguntungkan diri si pelaku. Pelaku
tersebut tidak akan mengembalikan benda yang dicurinya, kecuali dalam
keadaan-keadaan tertentu yang mendesak, sepeti misalnya ketika ia tertangkap
basah. Sepanjang masih 'aman-aman' saja, pencuri adalah asap di tengah badai,
yang hilang dan tak mungkin akan kembali.
Berbicara soal pencuri, saya pun teringat pada
kampung halaman. Dulu saya tinggal di desa yang jauh dari perkotaan. Setiap
kali ada salah satu dari tetangga kami yang menjadi korban
pencurian--barang-barang elektronik yang berharga raib--orang selalu
menyebutnya dengan istilah kemalingan. Jika sampai hal tersebut terjadi, tak
ada satu pun penduduk desa yang tak tahu. Kabar tersebut segera menyebar,
menjadi berita utama dari mulut ke mulut. Oleh karena maling atau pelaku
pencurian selalu menutup wajahnya ketika tengah beraksi, maka orang desa selalu
mengait-ngaitkan ciri fisik pelakunya dengan sosok berwujud ninja, yang
berkeliaran di malam hari dengan penutup wajah serba gelap.
Setelah itu, pengertian maling atau pelaku
pencurian, selalu membuat saya berpikir soal wajah bertopeng. Ketika saya masih
kecil, orang-orang secara tidak langsung mengabarkan bahwa mereka yang mencuri
itu tak mungkin menunjukkan wajahnya ke semua orang. Ada dua alasan utamanya:
malu dan takut ketahuan. Tentu saja rasa malu dan takut ketahuan itu kemudian
mengantar saya pada satu pertanyaan lugu: "Berarti tindakan mencuri itu
tidak baik, ya?" Tak lama kemudian, segera saya dapati jawaban yang
pasti dari semua orang dewasa yang ada di sekeliling saya: "Ya, mencuri
itu dosa, tidak baik!"
Saya mulai paham dan menanam dalam kepala kecil
saya kala itu, mengapa setiap kali kasus pencurian, apa pun benda yang dicuri,
siapa pun pelakunya, serta bagaimanapun cara dan motif yang ada, pasti tidak
jauh-jauh dari tanda tanya. Mengapa tanda tanya? Karena pencurian selalu
dilakukan bersama dengan upaya menyembunyikan diri. Sederhana, bukan? Karena
apa-apa yang disembunyikan pasti membuat orang akan bertanya-tanya.
Dua hubungan ini amatlah sederhana tapi cukup
rumit untuk dipikirkan, atau sulit untuk dibongkar. Tidak ada yang tahu jawaban
dari sebuah tanda tanya pada kasus pencurian, selain pelakunya atau mungkin
dalang di balik semua itu, dan pastinya Tuhan.
Pertanyaan-pertanyaan yang keluar biasanya seperti
ini: "Siapa pencurinya? Mengapa ia mencuri? Apa yang ada dalam hatinya?
Bagaimana mungkin bisa berbuat itu?" Intinya dari seluruh pertanyaan yang
ada, akan muncul banyak kemungkinan jawaban yang mendasari sebuah kasus
pencurian.
Menurut saya, secerdas apa pun tindakan mencuri,
akan selalu berhubungan dengan topeng. Hanya mungkin wujud dari topeng itu
sendiri yang berbeda dari zaman ke zaman, mengikuti perkembangan seperti halnya
cara berpakaian, teknologi, dan segala macam hal penting dalam kehidupan
manusia.
Contoh sederhananya dapat kita lihat pada pencuri
zaman lawas di cerita-cerita rakyat, atau juga berita masa kini soal kasus
pencurian kecil-kecilan. Kebanyakan dari mereka menggunakan penutup wajah dari
kain--alias topeng dalam arti yang sebenarnya--dan terjun langsung ke tempat
sasaran. Maka bolehlah saya menyebut cara mencuri seperti ini adalah cara
konservatif. Segala yang berkaitan dengan konservatif akan selalu dekat dengan
kita. Setujukah Anda? Jika Anda bingung, coba Anda pikirkan. Pelaku pencurian
dalam bentuk seperti ini seringnya bernasib tragis, maksudnya sial. Mengapa bisa
begitu? Karena jika sudah tertangkap tangan, apa yang bisa dia lakukan? Dalam
beberapa kasus, para warga yang menangkapnya akan lebih bersabar menunggu pihak
berwenang untuk datang dan memenjarakannya. Namun dalam beberapa kasus pula,
nyawa maling itu berakhir di tangan orang-orang yang tidak dapat mengontrol
emosi.
Namun meski demikian, cara konservatif sampai saat
ini tetap digemari oleh mereka yang menggeluti bisnis percolongan dan
pengambilan barang-barang milik orang lain yang bukan haknya. Sebenarnya cara
ini berbahaya, tapi tidak ada pilihan lain bagi sang pelaku untuk melakukannya.
Karena memang cuma cara itu yang ada. Kebanyakan alasannya klasik: masalah
ekonomi ... atau lebih tidak bertanggung jawab lagi: untuk bersenang-senang.
Cara konservatif dapat saja berubah ketika keadaan
tidak memungkinkan seseorang untuk memakai topeng. Nah, inilah yang disebut
sebagai kecerdasan berbanding lurus dengan kegilaan. Cerdas, karena jika ia
beraksi dengan topeng, orang pasti akan langsung curiga dengan niat jahatnya.
Tidak adanya topeng membuatnya lebih mudah membaur. Sedangkan gila, bukan
berarti ingin menyebut pelakunya tidak waras, melainkan karena terlalu nekat.
Bayangkan saja. Jelas-jelas ia terjun ke tengah masyarakat. Meski ia berhasil
sekalipun, bukan tidak mungkin orang tidak melihatnya beraksi. Tanpa topeng,
mungkin pelaku bisa dikategorikan dalam dua jenis, yaitu pencuri bertangan
dingin atau pencuri tidak punya topeng. Pencuri tidak punya topeng inilah--yang
kata Bang Napi--sebagai orang-orang yang berbuat ketika ada kesempatan.
Sebenarnya dari cara-cara konservatif di atas,
dapat kita pahami bahwa dua-duanya sama-sama memiliki risiko bagi sang pelaku.
Bahasa kasarnya sama-sama sial dan sama-sama malu jika tertangkap. Hanya saja
berbeda dari proses yang mungkin terjadi. Jika dengan topeng, pelaku bisa kabur
setelah beraksi, tapi ia harus berhati-hati sebelum benda yang dicurinya berada
di tangan. Sedang tanpa topeng, pelaku akan terus dikejar bahaya, kecuali ia
bisa meloloskan diri dari TKP (tempat kejadian perkara), lari sejauh-jauhnya.
Cara lain dalam melakukan pencurian pun kemudian
tumbuh, seiring dengan berkembangnya zaman. Jangan Anda kira hanya penemuan remote
control atau komputer saja yang dapat dikategorikan sebagai terobosan luar
biasa di masa kini, bahkan tindakan mencuri pun juga dapat berkembang menjadi
sedemikian canggih.
Dapat kita bandingkan, para pelaku dalam lingkaran
konsevatif tadi, dengan para koruptor berprestasi milik bangsa kita. Mereka
tidak butuh topeng kain atau semacamnya. Karena wujud topeng para koruptor
sendiri bukan kain, melainkan tidak adanya rasa malu. Jelas-jelas mereka
terbukti memakan uang yang bukan haknya, tetapi dengan santai tetap tersenyum
seperti model iklan pasta gigi. Seolah-olah semua itu adalah bagian dari
sejarah dan kesemestian hidupnya, seolah-olah ia tidak pernah melakukan
kesalahan. Tapi perlu saya katakan, bahwa bagaimanapun tampan dan rupawannya
mereka, peran topeng tetap dijalankan dan sutradara iklan pasta gigi janganlah
dibawa-bawa. Karena memang sutradara itu tugasnya cuma membuat film.
Pencurian dengan korupsi ini akan selalu berkaitan
konspirasi yang bergelombang dan rumit, seperti rambut Medusa. Tak perlu saya
berpanjang kata soal ini. Anda yang memantau berita-berita aktual terkait kasus
pencurian jenis ini, pasti akan paham maksud saya. Maka saya menyebut cara
mencuri yang seperti ini sebagai cara progresif.
Keunikan--atau jika boleh disebut keuntungan--dari
cara progresif ini adalah, bagaimana pelaku ditempatkan pada posisi yang tidak
seberbahaya ketimbang para pelaku pencurian dengan cara konservatif. Oh, tentu
ini ada pula kaitannya dengan segala perkembangan tadi. Bukankah jika zaman
sudah berkembang, atau cara-cara tersebut sudah berkembang, manusia yang ada di
dalamnya akan dipermudah?
Ini akan nampak sangat mencolok. Ibarat kata, jika
seseorang menemukan maling ayam di pinggir jalan, maka sudah pasti ia babak
belur. Padahal ayam yang dicurinya belum sempat dijual. Sedangkan jika
seseorang menemukan koruptor membawa kabur uang negara triliyunan rupiah, maka
sudah pasti ia adalah manusia yang 'layak' dilindungi, bagaimanapun itu, tak
peduli sudah sebagian uang hasil colongannya masuk ke dalam perut si pelaku
beserta keluarga.
Bagaimana bisa begitu? Tanyakan langsung pada
pelakunya. Saya sendiri juga tak tahu bagaimana bisa begitu. Tapi satu yang
pasti, cara progresif ini memiliki dampak bagi si pelaku untuk menjadi
selebritis sekaligus tamu istimewa. Selebritis, karena ke mana-mana selalu
tampil di televisi. Tamu istimewa, karena penjaranya dibuat khusus menyerupai
hotel.
Adapun cara lain dalam mencuri mulai ditemukan
ketika seseorang ingin terkenal, ingin sukses dan terlihat pintar, namun agak
sedikit malas untuk berusaha. Jika cara konsevatif dan progresif dalam mencuri
tadi hanya berkutat pada masalah uang, bukan ketenaran, maka cara yang satu ini
sama sekali tidak berhubungan dengan uang--meski pada akhirnya bisa jadi
menghasilkan uang juga. Pencurian jenis ini adalah tindakan mencuri
kreatifitas, ide, pemikiran, atau karya orang lain. Kita biasa menyebut cara
pencurian ini sebagai plagiasi atau plagiat.
Pembeda antara cara konservatif dan progresif
dengan cara plagiat ini, jelas sangat kentara. Karena ini bukan semata soal
uang atau ketenaran, melainkan sesuatu yang lebih besar ketimbang itu, yakni
kekayaan intelektual. Perbuatan seperti ini tidaklah dapat dikatakan
"beretika".
Saya pun teringat soal kasus bertahun yang lalu,
tentang beberapa alat musik, lagu, dan tarian daerah kita yang diklaim negara
sebelah. Mereka melakukan tidak hanya sekali dua kali, tapi berkali-kali
seperti sudah tidak ada malu lagi. Oh, betapa mudahnya mereka mengatakan bahwa
karya-karya seni Nusantara tersebut adalah hasil dari kreasi dan pemikiran
cerdas mereka. Padahal jika dua pihak negara ditemukan dalam satu meja,
kemudian keduanya mengeluarkan bukti-bukti sejarah yang cukup untuk dapat
dikatakan sebagai pemilik asli kesenian tersebut, jelaslah bahwa negara sebelah
tidak dapat menunjukkan apa pun. Dengan kata lain, kebohongan akan terungkap.
Yang menyedihkan dari hal ini adalah ketika
kekayaan tersebut sejatinya telah ada pada kita, mengapa kita mesti
"malu" untuk mengakui bahwa semua itu adalah apa yang nenek moyang
kita wariskan untuk bangsa. Bukankah seharusnya ini membuat kita bangga? Kita
justru merasa ada nilai-nilai keluhuran yang tidak dihormati, ketika negara
lain berusaha merebut semua itu. Mengapa tidak dari dulu? Mengapa menunggu
untuk hendak direbut dulu?
Lain cerita lagi. Kali ini, pencurian karya musik
modern. Mungkin kita tak lupa setelah secara beruntun dalam kurun waktu sekian
tahun, ada beragam kabar soal plagiasi yang merajalela. Indonesia memang telah
banyak menelurkan seniman-seniman yang bersinar di panggung musik tanah air.
Saya sejak dulu berpikir bahwa Indonesia adalah tempat lahirnya musisi-musisi
hebat. Dalam dua dekade saja, yakni era tahun 1980-an hingga 2000, begitu
banyak musisi-musisi yang berkarya dengan tidak setengah-setengah. Artinya,
karya mereka cukup "abadi" di hati pendengar.
Tahun 2000 ke atas semakin berkembang. Mereka
semakin kreatif dalam berkarya, namun hal tersebut justru diiringi pula dengan
"kekreatifan" pihak-pihak tertentu dalam memplagiasi karya
musisi-musisi "jujur" tadi. Sebagian pelakunya datang dari negara
lain, namun bahkan ada pula yang dari bangsa kita sendiri. Korbannya? Tentu
saja musisi-musisi kita.
Oh, ya, Anda pasti tahu. Belakangan ada berita
mengejutkan. Musisi tingkat dunia melakukan aksi serupa: menjiplak lagu artis
lawas kita! Tak perlu saya sebutkan nama, saya yakin Anda tahu. Tapi dari
fakta-fakta itu, yang paling menyedihkan bagi saya adalah ketika beberapa
musisi kita sendiri melakukan ketidakjujuran yang sama, dengan korban yang
bukan dari negara kita.
Hal ini sungguh miris sekaligus membingungkan.
Bukankah semestinya sebagai seorang yang--mau tidak mau--dituntut sebagai
pekerja seni, hingga harus selalu kreatif mengolah ide menjadi karya asli,
mereka tidak akan melakukan itu? Bukankah mereka mesti berkarya dengan benar?
Saya sendiri tak tahu, alasan apa di balik semua itu. Tidak seperti pencurian
cara konservatif ataupun progresif, pencurian model plagiat ini bak setetes
tinta di tengah laut.
Tidak hanya bentuk karya seni, tulisan pun juga
tak luput dari pelaku pencurian cara plagiat. Bahkan, dari minimnya pengetahuan
saya, justru karya tulislah yang lebih rawan menjadi korban kejahatan ini.
Saya memang terang-terangan menyebut praktik
plagiat ini sebagai tindakan yang tidak jauh berbeda dari pencurian. Karena
memang apa yang dilakukan itu mencuri sesuatu yang bukan miliknya. Dalam hal
ini, "sesuatu" itu adalah apa yang tidak dapat diukur bahkan oleh
uang sekalipun. Maka dapatlah kita golongkan pencurian cara plagiat adalah
langkah paling ekstrem dan berdampak paling besar, baik bagi korban maupun
pelaku.
Aksi seseorang ketika "mencuri" tulisan
orang lain, hanya diketahui oleh para pelaku itu sendiri. Tidak seperti
maling-maling klasik yang menggasak TV atau radio, tidak juga tikus-tikus
koruptor yang pura-pura manis padahal mengantungi uang rakyat, para plagiat ini
adalah sosok yang jauh lebih tersembunyi dibanding pencuri jenis apa pun. Jika
kita mencoba mencarinya di markas orang-orang jahat, kemungkinan besar tidak
bisa menemuinya. Begitupun jika kita mencoba mencarinya di gedung dewan, hasil
yang nihil masih juga didapati. Seperti aksi kejahatannya, tempat persembunyian
pelaku pencurian jenis ini tidak ada yang tahu selain Tuhan dan dirinya
sendiri.
Lepas dari pembahasan soal pencurian di atas.
Sebagai penulis, sudah semestinya bagi kita--termasuk saya--untuk menjaga apa
itu yang disebut mimpi. Bukankah setiap manusia itu punya mimpi? Maka jelaslah
apa yang menjadi mimpi bagi seorang penulis. Tentu dari motivasi setiap orang
yang berbeda, mimpi tersebut akan bercabang. Ada dari kita yang ingin agar
tulisannya dibaca banyak orang, hingga batin merasa puas meski tidak ada
imbalan bentuk apa pun yang diterima. Ada yang ingin menebar kebaikan, dengan
berdakwah lewat tulisan misalnya. Lalu ada yang ingin berbagi pengalaman
berharganya agar menginspirasi dan bermanfaat bagi banyak orang. Juga ada yang
ingin terkenal dan kaya karena menulis, serta masih banyak lagi.
Dari semua mimpi-mimpi itu, bukankah tidak ada di
antaranya yang tidak baik? Ya, semua mimpi itu memang baik. Lalu jika seseorang
yang telah melihat mimpi itu dalam hati, sedang ia berusaha mengejarnya, akan
sangat menyedihkan bila akhirnya keputusan memplagiat karya orang menjadi
satu-satunya jalan. Mungkin karena merasa diri sendiri sudah tidak mampu lagi
mengolah ide menjadi karya, jadilah karya milik orang lain diambil, direkayasa,
dimodifikasi sedemikian rupa, agar seolah nampak bahwa tulisan tersebut adalah
hasil dari buah pikirnya. Oh, betapa ini menjadi sebuah kekalahan yang paling
memalukan. Kesucian mimpi tadi telah terabai, dan--sadar atau
tidak--sesungguhnya tindakan ini sama halnya dengan menodai mimpi yang telah
lama tergenggam. Tak hanya itu, kebohongan pun turut andil: baik kepada pembaca
maupun diri sendiri.
Salah satu sahabat penulis saya pernah mengalami
hal tersebut. Tulisan hasil jerih payahnya berpikir dan merenung,
"diolah" oleh seorang yang entah siapa, lalu diklaim bahwa tulisan
itu adalah karyanya. Konon katanya si pelaku datang dari negeri sebelah. Saya
mengerti, betapa rasa kecewa dan sakit yang dirasakan begitu besar. Karena
nyatanya saya sendiri juga pernah menjadi korban serupa. Pernah dengan adanya
hal-hal semacam ini, seorang sahabat pernah curhat untuk berhenti menulis dulu.
Alasannya karena cemas dengan ulah para plagiator yang sampai kapan pun,
mungkin akan sulit untuk "dibasmi".
Saya sendiri berpikir, para plagiat akan selalu
ada jika kesadaran dalam diri setiap manusia mengenai konsep mimpi di atas, belum ada. Tapi yang saya yakini adalah:
tidak ada yang perlu ditakutkan selama kita berkarya dengan jujur. Toh, tujuan
dan niat untuk berkarya bukankah sudah baik? Tinggal menyambungnya saja dengan
semangat positif dan tindakan nyata. Jika ingin mimpi tercapai, maka jalan yang
ditempuh pun juga harus jalan yang benar.
Satu pelajaran dapat kita petik bersama: “Setitik noda dari ‘kenakalan’ yang sengaja diperbuat, tidaklah dapat mewujudkan kemurnian mimpi kita.
Tindakan tidak jujur dalam berkarya, meski dapat membuat seseorang bertahan
cukup lama, sejatinya ia telah mati lebih dulu.”
Oleh: Ken Hanggara, penulis buku "Dermaga Batu" dan "Jalan Setapak Aisyah"
setuju bro, plagiator tidak akan pernah abadi.
ReplyDelete(y)
ReplyDelete