(Dimuat di Radar Mojokerto, Minggu, 11 Februari 2018)
Melompat ke jalan adalah satu-satunya pilihan yang dapat kuambil saat itu. Jadi, tanpa sedikit pun bicara, kulemparkan tubuhku ke jalanan dan menyambut truk panjang yang entah berbobot berapa ton. Tubuhku hancur setengah, berguling-guling, dan pada saat itu juga nyawaku melayang di angkasa. Kupandangi mendung yang menurunkan air hujan. Kupandangi darahku yang mengalir menuju selokan. Orang-orang bergerumbul di situ, dan truk yang melibasku, yang sudah berhenti belasan meter jauhnya setelah aku tewas, meninggalkan warna kemerah-merahan di aspal yang barusan dijejak bannya. Di atas sini, aku tidak bisa mendengar suara-suara mereka. Aku hanya bisa berkata kepada diriku sendiri, bahwa: "Aku sudah mati."
Setelah ini, apa lagi?
Aku sudah mati. Karena bosan hidup, kuputuskan sebaiknya aku mati saja. Sebuah truk adalah cara yang paling cepat sekaligus sensasional, kalau Anda ingin mati dan jadi perhatian warga. Koran-koran akan mencetak berita tentang ini. Media-media online tak ketinggalan akan memuat kisah kematianku. Bahkan, bibir orang-orang yang tidak juga kukenal turut menyampaikan soal mampusnya seorang mahasiswi akibat secara sengaja melompat menyambut truk yang sedang melaju kencang.
Apakah orang-orang ini akan menganggap beritaku penting?
Aku tidak ingin mendengar apa pun yang orang-orang di bawah sana mungkin saja ucapkan. Jadi, arwahku memilih terbang saja dan berkelana di langit ibu kota dan tentu saja menyambangi beberapa orang dalam radius satu hingga dua kilometer dari tempat kejadian perkara di mana sekarang tubuhku yang hancur lebur dikelilingi warga dengan kamera di tangan mereka masing-masing. Tujuanku adalah ingin mencari tahu secepat apa mereka mendengar kabar kematianku dan bagaimana juga respons mereka tentang kejadian ini?
Aku mati memang sebuah keharusan bagiku. Aku mati bukan tanpa alasan. Suatu hari seorang lelaki datang padaku dan bersumpah, "Suatu hari nanti kita akan menikah." Aku percaya padanya waktu itu. Aku juga tidak sempat berpikir bahwa aku bakal mati dalam waktu dua atau tiga tahun setelahnya, dan kematianku itu hanya akan terjadi jika aku sendiri sudah memastikan betapa semuanya akan menjadi pusat perhatian. Oh, tidak ada pikiran begitu.
Aku hanya berpikir bahwa hidupku sangat baik dan menyehatkan. Aku bernapas di mana-mana dengan perasaan yang nyaris sama; tidak ada yang membuatku merasa tidak nyaman atau tersiksa atau pusing atau depresi atau ingin menghilang selamanya ataupun ingin menghampiri semua orang yang membuatku teraniaya dan menembaki kepala tiap mereka satu per satu. Lagi pula, siapa sih yang sudah menganiayaku?
Aku bahkan tidak sempat berpikir, pada saat itu, bahwa kematianku kelak berujud seperti apa? Apa kematianku berada di ranjang ketika tubuhku telah menua serta rapuh? Apa kematianku di sebuah jurang dalam di pedalaman Amerika sana? Apa kematianku di sebuah ruang ber-AC ketika karier yang kurintis setelah lulus kuliah sedang menuju ke arah yang tepat? Apa kematianku bahkan berada persis di hari pernikahanku bersama si lelaki yang kemudian kusayangi itu? Apa aku mati sesaat sesudah bayi pertamaku ada di dunia ini?
Aku baru sadar sekarang, ketika arwahku terbang bebas di atas jalan raya, bahwa di masa lalu aku memang tidak begitu sering atau bahkan nyaris tidak pernah berpikir tentang kematianku. Aku tidak pernah juga mengira-ngira kapan aku mati; apakah aku bakal dicabut oleh Sang Maut pada umur dua puluh sembilan? Apakah aku mati tepat di ulang tahunku yang kedua puluh satu? Apa aku mati di saat aku akan mandi suatu hari ketika ucapan lelaki itu, sumpah lelaki itu, masih mengendap dan terngiang di kepalaku sebab belum dua hari berlalu sejak dia masukkan kata-katanya ke pikiranku?
Ketika ambulans datang, aku sudah kembali ke TKP dan menonton jasadku sendiri yang sedang dikerumuni warga dan kamera. Aku juga sudah tahu betapa beberapa orang yang ada dalam radius satu atau dua kilometer dari situ, yang kukenal dan mengenalku dengan baik atau dengan kesan biasa saja, tidak semua tahu soal ini. Ada beberapa dari mereka yang tahu, yang kemudian bersikap biasa saja atau kaget atau juga sedih. Tidak ada masalah apa pun. Beberapa dari mereka tentu akan berpikir ke arah lain; bukan soal apa yang membuatku harus bunuh diri, melainkan siapa.
"Memang inilah yang kucari. Sekarang coba kalian pikirkan baik-baik. Bayangkan siapa yang kira-kira membuatku mati," kataku, seakan-akan orang-orang itu mendengar arwahku bicara pada mereka. Seakan-akan dengan begitu mereka langsung memikirkan orang tertentu.
Tentu saja tidak. Tentu akan ada pemikiran lanjutan dari orang-orang itu. Maka, tak ada yang kulakukan selain terbang saja berputar-putar di sekitar situ dan memperhatikan jasadku diusung ke keranda dengan cara tak lazim, karena matiku juga dengan cara tak lazim. Setiap mata melihat potongan beberapa bagian tubuhku terserak ke mana-mana hingga ada juga yang terbawa ke bagian kolong truk, dan semua itu membuat siapa pun yang tidak tahan memilih menjauh saja ketimbang muntah.
Sementara memperhatikan adegan-adegan di bawah sana, aku juga berpikir tentang lelaki yang bersumpah bakal menikahiku. Bagaimana jika dia tahu ini? Apa reaksinya? Orang-orang di luar sana, yang mengenalku dan tidak percaya aku memilih mati saja, tidak bakal segera memikirkan laki-laki itu. Mereka akan lebih dulu mengklasifikasikan siapa yang kira-kira memungkinkan masuk ke hidupku lalu menjadi sebab diriku yang selalu terlihat bahagia mati bunuh diri. Mereka akan terus berpikir dan semuanya hanya akan mengerucut ke segelintir orang.
Aku tak pernah benar-benar berpacaran dan dalam hidupku, jatuh cinta hanya ada dua kali. Pertama, ketika aku masih SD. Kedua, setelah aku mulai kuliah. Aku tiba-tiba merasa bodoh setelah semua yang kulalui terasa begitu masuk akal dan terpercaya. Aku merasa hidupku mendadak rusak dan kotor karena sebuah kejadian. Suatu hari aku pergi ke bioskop dan bertemu teman-temanku. Aku menonton film sampai selesai, dan ketika pulang, kulihat lelaki itu, lelaki yang bersumpah akan menikahiku itu, sedang memeluk wanita lain sambil berjalan ke luar meninggalkan gedung bioskop. Aku tidak percaya ia bakal membodohiku, dan lagi pula ia juga tidak mungkin tidak menduga betapa meski bioskop itu ada di luar kota, belum tentu juga aku tidak bakal ke situ. Kenyataannya aku ada di sana dan melihatnya dan terpaku, tetapi tidak bisa bereaksi apa-apa selain pergi menjauh dari teman-teman dan mengurung diri di toilet umum selama berjam-jam. Aku pulang sendirian hari itu dengan alasan tidak enak badan.
Tidak pernah ada yang tahu kejadian di bioskop itu, kecuali diriku, Tuhan, malaikat di sekitar orang-orang yang terlibat urusan ini, dan dua orang tersebut. Aku sendiri tidak kenal wanita tadi, dan hanya berpikir betapa akan ada banyak manusia yang kelak boleh jadi menemukan cara-cara lain, yang mereka anggap sebagai satu-satunya pilihan paling baik di mata mereka untuk menyudahi masalah mereka sebagaimana yang kuyakini soal lompatan menyambut truk yang sedang melaju kencang. Apa benar akan seperti begitu adanya?
Pada akhirnya aku hanya bisa menangis dan menunggu. Aku menangis karena tak sempat melihat diriku menjadi seorang istri dan ibu. Aku menangis karena terpaksa mati dengan cara seperti itu hanya agar kebusukan lelaki tersebut terungkap. Aku tidak tahu kapan itu terjadi. Aku hanya tahu bahwa hubunganku dengan laki-laki tidak sebanyak hubungan yang terjalin dengan teman-teman wanita, jadi sudah pasti mereka akan lebih mudah menemukan siapa yang melakukan sesuatu padaku hingga aku nekat bunuh diri.
Kenapa aku harus bunuh diri adalah karena tidak ada yang bisa kulakukan setelah aku tahu aku hamil. Tidak ada yang bisa kuperbuat, bahkan untuk sekadar meminta satu sumpah yang dulu pernah diucapkan oleh lelaki itu. Masalahnya tidak akan ada jika saja lelaki itu pernah meniduriku, dan justru karena itu tidak pernah terjadi, maka kematian adalah cara satu-satunya yang dapat kuperbuat demi membuat lelaki yang membodohi diriku mendapat ganjarannya.
Suatu hari dia berkata, "Aku tidak mungkin menyentuhmu sampai kita benar-benar menikah dan pada saat itu istriku sudah berpisah dariku."
Tapi, aku tidak yakin dia sebaik itu. Aku tidak yakin setelah melihat dosenku pergi ke bioskop di luar kota dan memeluk seorang wanita muda dengan cara yang amat bisa diterjemahkan sebagai cara lelaki hidung belang memperlakukan wanita nakal. Karena itulah aku mengajak jalan seorang lelaki teman lamaku, lelaki yang tidak begitu dikenal oleh teman-teman kuliah, dengan maksud agar dosenku itu melihat bahwa aku juga bisa jalan dengan lelaki lain. Dia teman yang sudah lama menyukai diriku tapi tidak pernah kutanggapi.
Niat membuat dosenku sakit hati tidak berjalan lancar. Kami bukan hanya keluar untuk makan, yang mana pada acara itu tidak kujumpai dosenku di lokasi yang menjadi tempat makan favoritnya bersama istri. Aku malah dibius dan diperkosa. Selingkuhanku mati dirampok dalam perjalanan pulang. Tinggallah aku sendiri beberapa hari sesudah itu, berlutut di toilet dengan alat tes kehamilan yang menunjukkan hasil positif. Aku tak mungkin menuntut tanggung jawab dosen itu, karena dia belum berbuat apa-apa. Aku juga tidak berani mengatakan apa pun soal pemerkosaan itu, karena kelak polisi boleh jadi akan tahu betapa aku tidak melakukan perlawanan apa pun saat itu terjadi. Mereka hanya akan menganggapku melakukannya atas dasar suka sama suka.
Jadi, karena inilah aku harus mati. Jika aku mati, satu-satunya yang ketiban sial hanya dosenku, sebab ada begitu banyak bukti di ponselku. Obrolan-obrolan kami telah jauh melewati batas. Dan aku juga tahu teman-teman di kampus juga pasti akan berkata tentangnya, jika saja polisi bertanya-tanya, "Siapa kiranya yang jauh lebih akrab dengan gadis itu di sini?"
"Pak Dosen. Sudah seperti bapaknya sendiri saja."
Mereka tidak bakal menduga sejauh itu. Mereka mungkin hanya berpikir si dosen mungkin tahu beberapa hal yang mereka butuhkan dalam mencari tahu penyebab gadis ini harus mati bunuh diri. Dan pada saat itulah mereka melihat keganjilan-keganjilan di mata dosen itu. Dan pada saat itulah, kuharap, arwahku masih bisa terbang dan melihat adegan-adegan yang kuharapkan, sebelum akhirnya aku terpenjara selamanya di dalam neraka. [ ]
Gempol, 26 Januari 2018
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya berjudul Museum Anomali (Unsa Press, 2016) dan Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017).