Skip to main content

[Cerpen]: "Permainan Api" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Minggu Pagi edisi Jumat, 25 Mei 2018)
 
    Tak ada jalan lain selain menghabisi lelaki itu, jika aku mau selamat. Aku ingin ke rumah dan menemui istriku dan berjanji tidak akan selingkuh lagi. Sekarang semua itu seperti mimpiku semasa kecil: jadi seorang pilot. Aku tidak pernah tahu dan tidak terlalu yakin apakah kelak aku bisa menjadi pilot. Pikiranku, yang ketika itu masih sangat lugu, berkata, "Aku bisa terbang seperti burung dalam khayalanku, tapi belum pernah melihat pilot bekerja."
    Di sebuah lemari antik, tubuhku kuselipkan di antara gantungan baju-baju rombeng yang baunya tidak enak. Aku tidak tahu lemari ini milik siapa, serta tidak tahu baju-baju yang mengurungku pernah dipakai siapa saja. Tetapi lelaki itu, sang suami yang sejak awal kuremehkan keberaniannya, berdiri di luar lemari dengan sebilah kapak yang siap menjebol otakku.
    Aku tidak tahu apakah Sarmila sengaja menjebakku atau ini kebetulan belaka. Aku ingat ketika itu, saat kami berdua tidur bertutup selimut di sebuah hotel, Sarmila bilang, "Ini bukan mauku, tapi hatiku bilang ini harus terjadi. Sebaiknya kita kawin. Tinggalkan istrimu yang gendut dan tukang makan. Aku benci dan cemburu, meski aku bersuami dan kamu beristri. Kamu tahu cintaku hanya untukmu, dan aku pun tahu hal yang sama diam-diam kamu ingkari."
    Aku kenal Sarmila empat belas tahun lalu saat kami duduk di bangku SMA, dan ketika itu aku langsung jatuh cinta dan menyatakan perasaanku. Aku diterima dan kami berpacaran. Semua terjadi biasa saja sampai kami kuliah di kota berbeda yang membuat kami putus.
    Aku sendiri sudah melupakan Sarmila, dan mungkin dia pun sama. Entah tahun ke berapa setelah berpisah, dalam sebuah momen yang aneh, kami bertemu sekali lagi dan sejak itu kami kembali berhubungan.
    Sarmila tahu aku kawin dengan Mirna, gadis yang dulu sangat dia benci. Dia dulu cemburu karena lebih gendut dari Mirna, tetapi Sarmila boleh sombong hari ini. Sarmila berubah drastis berkat pola hidup sehat dan olahraga teratur.
    "Sekarang tubuhmu jauh lebih sempurna ketimbang Bu Tina. Masih ingat guru kita yang satu itu?" kataku dengan bercanda.
    Tentu saja Sarmila paham maksudku. Tak ada siswa yang tak tertarik melihat guru itu berjalan seorang diri dari tempat parkir ke ruang guru. Setiap kali Bu Tina melintas, dunia seakan bergoyang.
    Kukatakan itu pada Sarmila tanpa sedikit pun niat melecehkan, karena kurasa kami sudah mulai bisa bercanda tawa seperti halnya teman lama ketemu teman lama. Sarmila pun sering menelepon atau SMS sejak pertemuan kami di hotel itu. Pada suatu hari ia memintaku bertemu di sebuah tempat yang rahasia.
    "Apa yang perlu dirahasiakan?" kataku.
    "Aku masih mencintaimu, Santoso. Aku tahu kamu juga masih mencintaiku. Tidak ada yang berubah, meski sebagian besar orang kira kita berubah. Aku lihat kamu lebih jelek dari dulu, tetapi aku yakin otakmu lebih pintar delapan puluh persen. Kalau tidak, mana bisa kamu sekaya ini? Hanya saja, cintamu padaku tetap sama. Bunuh aku kalau keliru."
    Aku tidak akan membunuh, tetapi jika saja aku memang seorang pembunuh, aku tidak bisa membunuh siapa pun karena apa yang Sarmila katakan memang benar. Sejak kami ketemu, aku nyaris tidak bisa tidur dan terus memikirkan perubahan bentuk tubuh Sarmila yang menjadi semakin luar biasa. Ia juga terlihat semakin cantik, sehingga aku sedikit berharap waktu berputar kembali dan kami pacaran seperti dulu dan tentu saja tidak usah putus. Selamanya kami bersama. Selamanya bercumbu seperti yang sering kami lakukan diam-diam di kelas waktu jam istirahat.
    Mirna tidak curiga karena perhatiannya tersita tujuh puluh persen untuk makanan dan sandangnya, dua puluh persen untuk anak kami, dan sisanya untukku. Ia tidak tahu jika di kantor aku ada masalah atau tidak pernah tahu jika sesekali aku pergi ke sebuah klub malam sekadar menghibur tubuh dan pikiranku yang kerap jenuh.
    Mirna tidak bertanya apa-apa sepulangku kerja, kecuali apa aku bisa makan sendiri di meja tanpa ia temani, dan membiarkannya menikmati hidup di kasur sambil nonton film-film kesayangan.
    Aku tidak peduli apakah Mirna tidak tahu apa yang kuupayakan agar kami makmur, tapi dia istriku dan aku merasa tersinggung diperlakukan demikian. Aku membalasnya dengan menyewa gadis-gadis tidak beres di klub itu paling tidak sebulan dua kali. Mirna tidak pernah bertanya sekalipun 'tugas kantor' yang kukarang sama sekali tidak masuk akal. Kadang dalam sebulan aku bisa pergi 'dinas' empat hingga tujuh kali ke luar kota. Mirna tidak curiga.
    Ketika Sarmila menyodorkan korek api padaku, dan aku membawa sebotol minyak tanah, api berkobar dan kami tak bisa menghentikan. Sarmila bahagia karena ia bilang suaminya sudah malas padanya. Aku mengakui kalau aku bahagia karena istriku sudah malas padaku. Aku tidak tahu siapa suami Sarmila, tetapi ia bilang ia dulu kawin secara terpaksa dan tidak mau cerita lebih lanjut.
    "Pokoknya kita bahagia. Kita bahagia tanpa perlu status. Tentunya untuk sementara. Kamu mau?" katanya.
    Aku mengangguk.
    Aku bilang padanya moga suaminya dan istriku tidak tahu ini semua terjadi secara terang-terangan. Aku dan Sarmila sering menyewa kamar hotel tanpa menyembunyikan diri. Kami juga sering menampilkan diri di tempat umum, seperti di mal, dan Sarmila menggandengku mesra seakan-akan kami pasangan yang sah.
    Sarmila bilang, "Suamiku itu sinting. Aku tidak suka. Dia juga tidak ganteng kayak kamu, Santoso. Oke, aku tahu kamu jelek, tetapi dia lebih jelek darimu. Jauh lebih jelek. Tapi bukan karena itu aku melakukan ini. Aku melakukan ini karena kata hatiku."
    Lalu Sarmila bercerita panjang lebar bahwa ia menginginkan kehadiran bayi. Dulu ia pernah hamil, tetapi keguguran karena stress melihat tingkah sinting suaminya. Tidak ada yang menahanku dari godaan bertanya sesinting apa suaminya itu? Bukankah yang kami lakukan dengan tidur di kamar hotel juga semacam kesintingan?
    Mendengar itu, ia cuma tertawa, dan setelah tawanya reda, ia bilang, "Kamu bakal tahu setelah kalian ketemu. Itu pun kalau memang harus ketemu."
    Begitulah. Sarmila mengaku ingin mengandung bayi dariku. Ia tidak peduli apakah nanti orang bertanya-tanya kenapa muka bayi itu berbeda dengan suaminya yang sinting. Ia juga tidak peduli andaipun nanti suaminya minta cerai. Ia hanya jatuh cinta kepadaku dan tidak ada yang lain. Dan dia ingin melahirkan bayi dari lelaki yang dia cintai.
    Aku tidak berpikir macam-macam. Karena semua yang Sarmila rencanakan seperti asyik didengar dan enak dijalankan, kami pun menjalaninya. Dua bulan lewat, suatu kali ia menelepon dan menangis, mengabarkan bahwa ia hamil. Sarmila menangis bahagia dan memintaku ke rumahnya. Aku pergi tanpa takut ketahuan si suami, sebab si sinting itu katanya ada urusan ke luar kota.
    Saat itulah Sarmila mengajakku kawin. Ia tahu, cepat atau lambat, ini harus terjadi. Kami harus benar-benar kawin dan menceraikan suami dan istri kami masing-masing. Aku setuju dengan ide itu, tapi tak tahu apa yang harus kulakukan. Apa aku datang dan mengetuk pintu seseorang, dan ketika orang itu keluar, kubilang padanya; 'Maaf, saya menghamili istri Anda, dan saya ingin bertanggung jawab'?
    Atau, secara terbuka kukatakan pada suami Sarmila yang sinting itu, bahwa kami masih sama-sama saling mencintai, dan jika ia rela, ia bisa melepas Sarmila demi diriku? Barangkali dia menyukai Mirna dan kami dapat bertukar pasangan, karena sebenarnya istriku tidak terlalu jelek, kalau tidak banyak makan.
    Tetapi aku masih cukup waras untuk menolak pikiran itu; aku tidak bisa bicara soal sensitif seperti itu pada suami orang yang istrinya kurebut. Mirna sendiri barangkali bisa dengan mudah kubisiki, tapi suami Sarmila? Aku tidak kenal orang itu.
    Sarmila pun mengusulkan sebaiknya kami ketemu dan kenalan dulu. Mungkin satu atau dua bulan, baru rencanaku dijalankan. Maksudnya agar aku paham dulu watak si suami dan tidak membuatnya terpukul saat kukatakan kenyataan tentangku dan Sarmila.
    Hanya saja, pertemuan itu berakhir bencana. Belum lama kami berjabat tangan, ia menarik kerah bajuku dan mengangkatku, lalu melemparku seperti aku sebuah guling, ke pojok ruangan. Suami Sarmila lelaki berbadan kekar seperti seekor gorila. Aku tidak tahu apa yang membuatnya marah, karena sedikit pun aku belum bicara soal permainan apiku bersama Sarmila.
    Sarmila menelepon dan aku sempat mengangkatnya. Tubuhku serasa remuk, tetapi telepon itu membuatku lebih remuk. Kujelaskan situasinya kepada Sarmila, bahwa aku tiba-tiba diserang suaminya, padahal belum bicara apa-apa.
    "Sekarang kamu nikmati akhir hidupmu," kata Sarmila di seberang telepon. "Tidak ada lagi kata 'cemburu'. Tidak ada lagi pikiran bahwa aku harus menghabisi Mirna, demi rasa cintaku yang tidak luntur buatmu. Biarlah si sinting itu yang mengakhiri. Mungkin orang itu sudah tahu apa yang memang harus dia lakukan."
    Aku tidak bisa meminta penjelasan pada Sarmila, karena dia menutup telepon dan si suami dengan segera menyambar tubuhku lagi dan membantingku sekali lagi. Lelaki ini benar-benar sinting. Di otaknya bersemayam hantu-hantu sok suci yang menghabisi lelaki bejat sepertiku.
    Aku dilempar, ditendang, dipukul berkali-kali. Sekali-kali kubalas pukulannya, tapi tak berarti. Aku lari dan sembunyi di lemari tua dan di sini baju-baju berbau tidak enak mengurungku. Aku tidak tahu seberapa lama aku bisa bertahan, tetapi dari celah kecil di pintu lemari, kulihat suami Sarmila membawa kapak dan siap menghantam apa saja.
    Pikiranku, yang saat ini sangat kalut, berkata, "Aku bisa lari seperti maling dalam khayalanku, tapi aku belum pernah jadi maling. Dan aku tidak tahu bagaimana rasanya mati dengan kepala ditebas." [ ]
   
    Gempol, 2016-2018

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya Museum Anomali (Unsa Press, 2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017), dan novel Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri