(Dimuat di Kedaulatan Rakyat edisi Minggu, 28 Januari 2018)
Sudah berhari-hari aku berkeliling untuk menjual bola mataku, tapi tidak ada yang sudi membeli. Katanya, bola mataku terlalu suci untuk orang-orang seperti mereka yang selama ini kerap mempergunakan anugerah penglihatan untuk mengeruk banyak dosa.
Aku tidak tahu kenapa orang-orang ini begitu sadar dan tidak malu mengakui dosa yang mereka perbuat. Meski sebenarnya mereka butuh mata cadangan, sebab aku hanya menjual mataku untuk orang-orang yang kehilangan satu atau dua bola mata gara-gara karma atau (menurut dugaanku) kecelakaan, mereka tetap merasa bola mataku terlalu suci.
Sebenarnya, penjual bola mata di negeri ini bukan hanya aku. Hampir setiap hari ada saja orang yang bola matanya tiba-tiba copot begitu saja, dan jika insiden semacam itu terjadi, siapa pun yang bersangkutan kemungkinan berpikir soal karma. Aku tidak tahu apa mereka benar-benar yakin bahwa karma memang bekerja, tapi dari pengakuan orang terakhir yang kudatangi dalam beberapa hari ini, memang itulah yang bakal dia dan orang-orang sejenisnya pikirkan.
"Karena kami mengerti semua yang kami lihat selama ini adalah sumber dosa. Yah, memang tidak semua pendosa tidak tahu apa yang mereka kerjakan."
Aku tidak paham, tapi kusampaikan bahwa aku butuh uang dan itulah kenapa orang ini harus membeli bola mataku. Lalu dia bertanya, kenapa mataku sendiri yang kujual? Di luar sana, para penjual bola mata tidaklah benar-benar menjual mata mereka sendiri, melainkan bola mata keluarga yang sudah meninggal atau terkadang bola mata curian.
"Itu dua bola mata sendiri yang Anda jual? Bagaimana Anda bisa melihat?"
"Saya tidak ingin melihat apa pun lagi. Saya cuma ingin ibu saya sembuh dari sakit yang dideritanya."
Hanya saja, meski mengungkap alasanku secara jujur, orang itu tetap tidak tergerak membeli bola mataku. Pada akhirnya bola mataku laku pada seseorang yang sama sekali tidak kuduga. Bola mataku dibeli pembasmi koruptor, yang percaya bahwa tidak lama lagi negeri kami ini dilanda fenomena berupa copotnya bola mata seluruh pejabat tinggi negara, karena tiap hari mereka mengeruk dosa-dosa lewat mata. Setiap jam dan menit dosa-dosa tidak berhenti dikeruk. Itulah kenapa dia ingin bola mata sebanyak mungkin. Dia bertekad membeli seluruh bola mata yang dijual dan menimbun semuanya di tempat rahasia.
Tiba-tiba aku merasa bodoh karena tidak terpikir menjual bola mataku ke koruptor, dan malah mendatangi tempat-tempat peribadatan. Tetapi itu tidak penting lagi, sebab aku sudah membawa uang untuk ibuku berobat. Uang yang sangat banyak dan melebihi yang kuharapkan.
Gempol, 21 Januari 2018
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya berjudul Museum Anomali (Unsa Press, 2016) dan Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017).