Skip to main content

[Cerpen]: "Bioskop" karya Ken Hanggara

(Dimuat di janang.id pada 22 Juni 2018)
 
    "Dulu menonton bioskop tidak semembosankan hari ini. Sekarang anak-anak muda datang berbondong ke bioskop dengan lampu-lampu. Membawa berbagai makanan, lalu menggandeng pasangan mereka. Tapi, tidak ada yang seistimewa di zaman kakek dulu," tutur kakekku sore itu.
    Tidak biasanya Kakek Rusdi menyinggung-nyinggung soal bioskop. Beliau senang sekali bercerita tentang masa-masa peperangan, juga sesekali tentang kuliner di zaman sebelum kemerdekaan dulu, yang kini sebagian sudah susah ditemui.
    Kakek memang sering bercerita banyak hal kepadaku, tetapi tidak pernah tentang bioskop.
    Melihatku belakangan sering memutar film-film terbaru di laptopku, tiba-tiba saja Kakek Rusdi menyebut kata 'bioskop'. Zaman dahulu, mungkinkah ada bioskop? Kalau memang ada, bagaimana bisa bioskop masa kini tidak seistimewa bioskop masa itu?
    Aku memang tidak tahu banyak, karena selain malas membaca berbagai buku, aku juga merasa tidak perlu tahu beberapa hal yang tidak harus kutahu. Yang bagiku penting untuk kucari tahu dan kupelajari hanyalah apa yang berguna buat hidupku, bukan?
    Kakek Rusdi memandangku dengan senyumnya yang lucu. Beliau memang sudah ompong dan berumur seratus tahun lebih, tetapi jelas tidak pikun. Kemampuannya demi menuang cerita-cerita unik dari zaman dulu ke kepala para cucunya, terutama aku, yang menurut beliau cukup penyabar sebagai pendengar, boleh jadi melatih daya ingatnya sehingga itu tidak pudar meski beliau sudah sangat renta.
    Kakek Rusdi pun mulai mengisahkan bioskop di masa mudanya, saat ia berumur belasan tahun. Waktu itu, memang segala kondisi masih sulit, tetapi beliau cukup pintar mencari peluang dan pekerjaan di rumah-rumah orang Belanda yang menduduki tanah air. Suatu kali, seorang majikan mengajaknya pergi ke bioskop.
    "Sekarang ini jauh berbeda. Dari mana kamu tahu ada film baru yang akan diputar di bioskop?" tanya Kakek dengan wajah yang mulai serius.
    Aku tidak harus menjawabnya, sebab kakekku sudah tahu. Ia memang sering diam- diam duduk di sampingku yang sedang sibuk berselancar di internet, dan tentu sesekali sibuk menonton trailer berbagai film terbaru di Youtube yang mungkin menarik untuk kutonton. Dengan kebiasaan 'mengintip' aktivitasku ini, kurasa kakekku terdorong untuk menceritakan sesuatu yang tidak pernah beliau ceritakan selama ini.
    Kakek Rusdi menyebut-nyebut soal kereta kuda sewaan sebagai sarana promosi di jalanan. Kereta kuda ini berkeliling ke seluruh sudut kota dalam wujud pawai, yang tak dimungkiri, menjadi ajang hiburan tersendiri baginya, yang menjadi pesuruh salah satu pejabat tinggi pemerintah Hindia Belanda. Pawai kereta kuda ini juga sangat disenangi oleh anak-anak lain yang menonton. Mereka membagi-bagi poster film dan selebaran, dan semua ini dilakukan beberapa jam sebelum pemutaran film.
    Kakek Rusdi menghentikan penjelasannya dan bertanya apakah kalau kita pergi ke bioskop hari ini, bisa dengan bebas memilih film kesukaan kita? Kujawab, tentu bisa. Kakekku malah terkekeh dan dengan bangga menjelaskan betapa di tahun 1920-an dulu, yang mana film Hindia Belanda pertama diproduksi, saat pemutaran filmnya, penonton tidak memilih apa yang ingin mereka tonton.
    "Mereka datang untuk menonton film yang disajikan oleh pengelola," tutur Kakek.
    Saat para penonton datang, Kakek mengaku takjub dengan adanya suatu kelompok di pelataran bioskop dan mengamati bagaimana mereka dengan santai dan cekatan saat memainkan alat-alat musik. Kelompok musik ini, ternyata memang disediakan bioskop, sebab pada saat itu, film-film yang ada di seluruh dunia masih film yang disajikan tanpa suara.
    "Aku tidak tahu apa serunya film disajikan tanpa suara," celetukku yang tidak tahu apa-apa.
    "Memang dulu begitu," sahut Kakek, yang kemudian menjelaskan bagaimana saat film-film tanpa suara itu menimbulkan romantisme tersendiri di hati para penikmatnya. Itu jelas jauh berbeda dari masa sekarang. Dulu, setelah semua penonton duduk di kursi yang sudah disediakan, dengan pengaturan yang memisahkan antara penonton laki-laki dan perempuan, kelompok musik tadi pun turut masuk ke ruangan dalam bioskop dan mulai memainkan musik-musik sebagai latar belakang film yang berputar tanpa suara.
    "Jadi, zaman dulu, film-film di bioskop diputar seperti ketika kamu sedang nonton video penyanyi favoritmu!" sambung Kakek yang lantas tertawa terpingkal-pingkal.
    Aku tidak tahu apakah benar begitu? Bioskop zaman dulu apakah memang macam itu? Beberapa hari setelah Kakek Rusdi bercerita, aku mencari tahu kebenaran semua yang kakekku ceritakan, dan tentu saja pada zaman ini sangat mudah mencari informasi. Hanya butuh waktu beberapa menit menjelajah internet, segala yang kakekku katakan memang terbukti benar adanya.
    Aku tidak tahu kenapa Kakek Rusdi menceritakan soal bioskop setelah suatu sore kugoda beliau dengan mengatakan betapa kakekku mungkin iri melihat tontonan film di zaman kini, yang sering kali bisa kusaksikan tanpa harus pergi ke bioskop. Kakek malah menjawab, "Oh, tidak. Kakekmu ini malah merindukan masa-masa itu."
    Aku baru mendapat penjelasan yang paling terang ketika orangtuaku turut gabung ke obrolan soal ini. Dulu Kakek bertemu nenekku di bioskop. Di saat pertama melihat hiburan seperti itu, kakekku pikir beliau mungkin sulit mendapat peluang menyaksikan tontonan sebagai manusia yang merdeka. Ya, karena saat itu beliau masih bekerja jadi pesuruh pada orang-orang Belanda yang menjajah tanah air. Ketika akhirnya Indonesia merdeka dan bioskop berkembang dari waktu ke waktu, Kakek mulai mengamati suatu perubahan yang membawanya semakin jauh dari Nenek.
    Kakek Rusdi tak sanggup melanjutkan obrolan ini, dan lantas meminta tolong Papa mengantarnya ke kamar.
    Setelah keduanya pergi, Mama dengan tenang bertutur, "Mereka saling bertatapan saat masih sama-sama muda, dan sama-sama kerja di rumah meneer Belanda. Keduanya langsung jatuh cinta detik itu, dan sejak itu, baik kakek maupun nenekmu tahu, kalau mereka memang berjodoh."
    Bertahun-tahun kemudian, setelah pertemuan-pertemuan yang terjadi tanpa sengaja di bioskop yang memutar film-film bisu, kakek dan nenekku akhirnya berkesempatan untuk saling mengenal. Saat itu dua-duanya sedang berdiri di tepi jalan dan menonton para pemain musik sedang menghibur antrean para pelanggan bioskop dengan musik- musik ceria.
    "Kita tidak pernah benar-benar bisa menikmati ini, kalau terus begini," kata Kakek Rusdi saat itu.
    Begitulah, bagaimana akhirnya Nenek menyahutinya, lalu tidak terasa di antara mereka tercipta obrolan seru. Keduanya lalu berjanji untuk bertemu di lain kesempatan. Mereka dapat menikmati hidup sebagai orang yang belum merdeka, karena ada cinta di antara keduanya.
    "Setelah Indonesia merdeka, kakek dan nenekmu akhirnya menikah," tutup Mama yang dengan segera membuatku paham arti bioskop zaman dulu bagi keluarga kami.
    Aku rasa, itulah yang membuat Kakek sulit mengisahkannya kepadaku, sehingga selama ini belum pernah kudengar hikayat bioskop, kecuali segala macam hal yang ada di masa mudanya. Barangkali beliau akhirnya sadar, pada saatnya nanti aku harus tahu sejarah keluargaku sendiri.
    Jadi, cerita soal bioskop ini bukan karena ada ketertarikan Kakek pada bagaimana film-film era modern diputar, melainkan karena sesuatu yang berharga di keluarga kami harus diwariskan lewat caranya berkisah yang luar biasa kepadaku.
    Tuhan tidak memberi tahu kapan tiap hamba-Nya kehilangan kesempatan berada di muka bumi lebih lama. Kakek Rusdi meninggal esok harinya, setelah kisah pertemuan beliau dengan Nenek diwariskan oleh Mama kepadaku. [ ]
   
    Gempol, 2017-2018
*Penggambaran bioskop zaman dulu disesuaikan dengan catatan sejarah yang penulis telusuri.

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media.

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri