Skip to main content

[Cerpen]: "Rumah Komik" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Malang Post edisi Minggu, 10 Juni 2018)
 
    1/
    Rumah itu rumah komik. Ratusan atau ribuan judul komik ada di situ. Aku tidak menghitung. Kalkulator, seperti kata Bu Mei, guruku, tidak boleh selalu kubawa. Ingat petuahnya: "Boleh pakai buat koreksi tugas. Selain itu, simpan di meja belajar!"
    Bu Mei tidak bilang kalkulator boleh dipakai menghitung mainan, apalagi buku komik. Aku tidak protes. Aku tidak suka pelajaran berhitung. Aku juga tidak suka guru itu. Aku lebih suka menggambar dan melatih bagaimana bikin gambar yang bagus dari buku-buku komik.
    Lalu aku, dengan sepasang kaki mungilku, pergi ke rumah itu. Letaknya lima gang dari rumahku. Tidak besar, tapi di sana ada banyak sekali komik. Surga duniaku. Surga anak-anak. Dan nyatanya, cuma aku yang tahu. Bukan aku saja. Maksudku, hanya aku, anak seumuranku, yang tahu ada surga komik di suatu tempat. Aku tahu dari Mas Pras, anak SMP, tetanggaku yang suka njerat burung, bahwa di suatu gang dekat tambal ban, ada rumah komik. Katanya, "Kamu bebas baca komik di situ. Kalau pinjam, ya tinggal bayar."
    Oh, ternyata komik-komik di rumah Mas Pras dari pinjam?
    Sejak itu aku janji pada diriku, teman-teman di kelas tidak tahu soal surga berisi komik. Aku bersenang-senang sendiri, karena semua temanku pelit. Diam-diam pulang sekolah aku tidak langsung ke rumah. Teman-teman tidak searah dan tidak pernah mau pulang denganku. Aku tidak tahu kenapa mereka sangat membenciku. Aku heran. Dulu aku sedih, tapi setelah tahu ada rumah komik tak jauh dari tempat tinggalku, aku tidak sedih pulang sendiri. Aku juga tidak lagi sedih karena tidak punya satu pun teman. Aku malah membayangkan, alangkah malang nasib mereka, teman-teman yang menjauhiku, karena tidak bisa baca komik setiap hari.
    Untuk itu, dari sekolah, aku jalan terus ke barat. Di pertigaan, aku belok ke utara. Ayah dan Ibu tidak tahu. Aku aman dan jalan ini lumayan sepi. Tambal ban itu juga sepi. Selalu tutup. Mungkin orangnya sudah mati; aku tak tahu. Aku langsung masuk ke gang yang dibilang Mas Pras. Rumah itu pagarnya tinggi dan di pintunya ada tulisan 'Rental Buku Komik'.
    Sampai di sini, kubelesakkan sebelah tanganku ke saku rokku. Ada berapa rupiah? Aku selalu gusar, sebelum sebelah tangan itu keluar. Dan kecewa jika tidak menemukan sekeping pun. Lima ratus rupiah berguna. Satu komik, boleh dibawa, dibaca selama tiga hari di rumah atau dipamerkan ke teman-teman sekolah yang sombong. Cukup dengan harga setara tiga permen. Dua komik, seribu rupiah. Tiga komik, seribu lima ratus. Dan seterusnya. Bu Mei tidak tahu aku pintar berhitung!
    Di sekolah aku tidak jajan. Aku puasa. Teman-teman memberiku sepotong cireng demi bayaran membaca buku komik yang kuakui punyaku. Tapi karena itu, aku sering sakit perut. Aku suka mengerang dan berpikir di perutku hidup seekor siluman serigala yang dengan taring dan kuku-kuku panjangnya, melukai lambung yang kosong.
    Kata Ibu, "Ke mana uang jajanmu? 'Kan tiga ribu rupiah bisa buat beli makan."
    Kubilang, uang itu sering hilang dan aku tidak tahu siapa yang mencuri. Aku tidak mau Ibu, apalagi Ayah yang galak, mengetahui bahwa di meja belajarku tersimpan beberapa komik. Setiap tiga hari aku memulangkan komik-komik yang kupinjam ke rumah komik.
    Sampai suatu hari, tidak ada sekeping pun uang di rok, karena Ibu menghukumku. Ibu tahu aku sering pinjam buku komik sehingga nilaiku di sekolah merosot. Padahal, aku ingin membaca komik.
    Dan aku tidak mau pulang dengan tangan kosong.
   
    2/
    Saya sering duduk melamun di antara buku-buku komik; apa saya sesial itu? Saya tahu nasib saya buruk. Saya sering bercermin dan menemukan wajah lesu di sana, yang ingin saya bunuh atau saya buang ke tukang rombeng. Kadang saya berpikir itu bukan wajah saya, atau sesekali merasa saya dirasuki roh entah dari kebun mana, sehingga saya hidup di bawah kontrol sesuatu di luar kemauan saya.
    Ribuan komik yang saya kumpulkan sejak SD sampai masa-masa kuliah, saya rasa cukup memberi penghidupan. Dengan modal itu, saya buka rental komik. Memang tidak bisa menjamin suatu hari saya bisa beli rumah atau mobil dari usaha menyedihkan ini. Tetapi saya jalan terus. Saya tidak kerja. Tidak bikin surat lamaran, sebagaimana yang teman-teman seangkatan saya kerjakan lepas kuliah.
    "Aku nggak mau punya suami pemalas," kata Andin suatu hari. Dia mantan saya. Cewek bohai yang beberapa kali saya lumat bibirnya, namun belum kesampaian nikmati bagian terpenting dari yang terpenting: kesucian.
    Saya tahu saya agak aneh, tapi saya juga manusia. Punya perasaan cinta, yang saya rasa harus dituangkan pada seorang wanita. Saya tidak tahu dari mana gagasan ini terbit; barangkali karena sejak kecil tidak ada ibu di sisi saya, dan saya lebih mengenal watak perempuan dari buku-buku komik.
    Saya baca berbagai komik. Semua itu memberi saya pelajaran bahwa hidup selalu beragam. Ada hitam, ada putih. Ada bumi, ada langit. Keseimbangan, saya yakin, selalu eksis. Tapi tak semua menerima keberadaan saya, dan menganggap pekerjaan menjaga rental buku-buku komik dengan harga terjangkau adalah pekerjaan pemalas.
    Saya sesekali bermimpi. Saya—dengan wajah fresh—melamar seorang gadis. Saya menikah dan punya anak. Lalu beli rumah dan mobil agar segala keperluan anak dan istri terjamin. Saya jaga mereka sambil menata semua komik itu. Istri membantu bila pelanggan sedang ramai. Berdua kami merawat anak itu dengan cinta dan memberinya kelangsungan hidup dari menyewakan berbagai komik. Begitu masuk TK, anak itu saya ajak bermain dan membaca komik setiap hari. Bahkan, saya berdoa semoga kelak anak itu jadi komikus terkenal; mengenang sang bapak yang berjuang mulai dari nol, sampai sukses, melalui rental buku komik.
    Tapi saya tahu itu gila. Mimpi omong kosong. Bangun dari mimpi, saya cuci muka dan tertawa karena wajah saya kusut. Biasanya saya bangun oleh ketukan pintu bocah SD atau SMP, yang datang dan mencari komik kesukaan mereka. Di ruang tamu rumah peninggalan orangtua saya yang sudah mati, saya taruh beberapa rak dengan label genre koleksi saya. Dan mereka, anak-anak itu, dengan mudah menemukan apa yang mereka cari.
    Rumah Komik, begitu mereka menamai tempat ini, tidak selalu ramai. Suatu hari, seorang gadis SD, yang nyaris dua kali seminggu pinjam komik, menunduk takut-takut. Kepada saya dia bilang tidak punya uang, tetapi ingin pinjam dua komik di tangannya. Saya hafal anak ini. Setiap kemari, dia selalu pinjam sekaligus tiga, atau kadang-kadang enam judul—saya heran bagaimana ia bisa membaca begitu cepat dalam waktu tiga hari.
    Pernah saya sarankan, "Pinjem satu-satu aja. Kalau selesai, bisa pinjem lainnya."
    Dia tidak mau. Dia bilang, di sekolah dan di rumah tidak punya teman. Dan dia menambahkan bahwa buku-buku komik adalah teman yang baik. Saya pikir, anak ini sangat lucu dan saya membayangkan suatu hari punya istri semanis dia. Sampai hari itu tiba. Dia menunduk takut dan mendadak meminta saya jadi temannya. Dengan begitu, menurut dia, saya tidak perlu takut komiknya tidak dia kembalikan walau tanpa bayar.
    Saya, yang sering kesepian dan merasa tidak berguna dan pemalas, mengangguk ramah dan mengelus rambut panjangnya yang harum. Tentu saja, saya tidak sepenuhnya sial.
   
    3/
    Jeng Mei, dalam satu kesempatan di arisan ibu-ibu, bilang pada saya, "Anu, Jeng, anakmu itu lho, di sekolah sering bikin jengkel."
    Saya hampir melabrak Jeng Mei, yang cantik dan putih, tetapi bermulut lamis itu; "Jeng kalau ngomong gak kira-kira, ya?!"
    Tapi ndak jadi. Karena yang dibilang Jeng Mei ternyata benar: Dita nilainya anjlok.
    Saya, sebagai ibunya, tentu tersinggung. Dulu di sekolah, saya tidak pernah dapat nilai jelek. Ibu saya selalu saya bikin bangga. Saya selalu dapat rangking. Masa' anak saya ndak bisa niru ibunya?
    Dita ke sekolah hari itu. Saya ke kamarnya. Di meja belajar nemu dua komik. Saya tahu anak saya suka gambar. Gambarnya lumayan bagus. Tapi saya ndak suka dia baca komik. Saya lebih suka dia belajar karena membaca komik tidak ada gunanya. Tapi, Dita bilang, cuma komik yang mengerti dia, dan di sekolah dia tidak punya teman selain dari membaca komik.
    Saya tidak tahu maksud anak saya. Jadi, saya bilang padanya, mulai hari ini kamu ndak dapat uang jajan. Saya tahu anak itu langsung ciut dan mengkerut, tapi kata Jeng Mei, begitulah Dita di sekolah; ciut dan mengkerut. Apalagi kalau ketahuan baca komik pas jam pelajaran.
    Saya bilang, "Bikin malu Ibu. Nanti kamu bawa bekal nasi saja dari rumah!"
    Dita diam. Saya tahu saya sudah bikin dia jera. Biar saya bakar saja komik ini. Biar sekalian yang punya rental datang kemari. Saya bisa bikin kesepakatan sama dia agar anak saya ndak boleh pinjam-pinjam komik lagi. Saya memang ibu yang hebat.
   
    4/
    Rumah itu, rumah komik. Ratusan atau ribuan judul komik ada di situ. Aku tidak menghitung. Aku jadi malas menghitung. Aku juga malas mendengar nasihat Ibu, yang sahabatan sama Bu Mei. Sejak ketahuan pinjam komik, mereka sering ketemu dan aku dimarahi.
    Karena itu aku berteman dengan si penjaga rental. Orangnya ramah. Sudah dua kali aku pinjam komik gratis, dan dua kali Mas Tino mengajakku nonton film kartun. Ia bilang, rumah komik sepi, jadi kami bisa petak umpet. Sesekali kami main kuda-kudaan Pulangnya boleh bawa komik sebanyak yang kumau.
    Suatu hari aku haus. Mas Tino memberi jus jeruk. Aku diajak main kuda-kudaan. Tapi aku ngantuk dan ketiduran. Sorenya baru bangun dan aku sakit. Mas Tino bilang, aku harus diperban. Dia lepas celanaku. Dia bungkus aku dengan perban, seperti mumi, tapi perban itu di sekitar pinggulku. Katanya aku berdarah, jadi celanaku biar dia yang cuci. Saat pamit, Mas Tino bilang, "Jangan cerita siapa-siapa, Dit. Nanti kusuruh bayar, lho!"
    Aku mengangguk. Meski sakit, aku senang, karena di tas ada sepuluh komik. Dan besok aku bisa pamer seperti biasa. [ ]
    Gempol, 2015-2017

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media.

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri