Skip to main content

[Cerpen]: "Maria dan Toko Baju" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tempo edisi akhir pekan, 4-5 Agustus 2018)

    Saya perhatikan perempuan itu tidak pernah absen kemari setiap sore, selepas para buruh kelar memeras tenaga di pabrik, atau persis saat bus penuh sesak oleh siapa pun yang baru pulang kerja. Bersama seorang teman atau sering sendirian, ia membunyikan lonceng pintu depan—tanda pelanggan datang—dan memilih beberapa helai baju untuk dibawa pulang.
    Namanya Maria, buruh pemintal benang di suatu pabrik di distrik ini. Saya tidak mengenalnya, hanya tahu dari pegawai yang lama-lama akrab dengannya. Di toko saya, ia sering beli gaun atau baju atau cuma selendang entah untuk apa. Memang benar, tidak setiap sore ia belanja, tapi banyak yang sudah ia beli dari sini. Saya tidak tahu apa yang sebenarnya ia butuhkan dengan datang ke sini? Maksud saya, untuk apa semua sandang itu? Maria sendiri, saya perhatikan, tidak begitu sering gonta-ganti pakaian. Bajunya, ya itu-itu saja.
    Kadang-kadang Maria datang untuk mengobrol dengan pegawai saya, yang di sore hari sekitar pukul lima belas hingga enam belas kebanyakan nganggur. Toko ini ramai di atas jam delapan pagi hingga pukul empat belas. Ramai lagi usai matahari terbenam. Kira-kira setengah jam mereka ngobrol sembari memilah-milah baju tanpa tujuan, dan tentu pegawai yang suka bicara ikut-ikutan memilih baju—barangkali tak sadar bahwa mereka sedang di toko, bukan taman bunga. Begitulah yang terjadi jika Maria tidak beli sehelai pakaian pun. Setengah jam, tak lebih, ia pulang. Pada saat itulah toko kembali ramai.
    Jika Maria datang kemari dan berniat untuk membeli baju atau gaun atau selendang, ia tidak bicara sepatah kata pun. Dengan serius, perempuan cantik itu memilih barang yang hendak dibelinya. Seakan tak mau rugi, setiap inci diperiksanya dengan teliti. Saya tahu kebiasaan ini tidak salah, karena pembeli memang harus teliti. Barang yang dibeli, tidak bisa dikembalikan—Anda tahu itu.
    Maria akan berada di toko lebih dari dua jam, hingga toko ini memasuki waktu ramai kedua sekitar pukul delapan belas. Ia belum akan pulang sejauh itu, sebelum ada sekitar tiga atau empat helai barang yang dibawanya ke meja kasir. Ini yang bikin Maria berbeda, kalau tidak disebut aneh. Ia buruh pabrik benang, gajinya tidak lebih besar dari gaji karyawan terendah saya. Tapi setiap kali membeli—kalau tidak salah hitung, paling tidak seminggu sekali—uang yang ia keluarkan tidak kecil. Koleksi kelas menengah; tidak terlalu mahal, tapi juga bukan murahan dipilih Maria. Dan seleranya bukan selera kacangan.
    Sayang, selera berbanding terbalik dengan kebiasaan Maria. Apa yang mendasari ia membeli baju dan gaun dan selendang yang lebih banyak tidak berguna? Sesekali saya lihat ia memakai barang yang ia beli dari toko saya, tetapi lebih banyak barang yang justru seolah-olah ia beli untuk dikubur di suatu tempat di rumahnya.
    Saya sering menyimpan kecurigaan. Maria kemari untuk pamer pada tetangga yang sombong. Toko baju saya bukan toko kecil. Cukup besar dan tidak ada kaum urban yang tidak kenal toko saya. Paper bag kami—yang saya dengar sering dipakai orang untuk lambang gengsi, karena toko saya menjual sandang kelas menengah ke atas—barangkali menjadi senjata ampuh untuk memukul telak orang sombong itu. Kalau memang begitu, sungguh aneh dan saya jadi kasihan pada Maria. Kenapa membalas kelakuan sombong orang dengan cara yang merugikan?
    Tapi, yah, sekali lagi, itu kecurigaan tanpa dasar. Saya tidak tahu. Mungkin Maria punya alasan lain di balik kebiasaan anehnya pergi ke toko baju saya tanpa ada tujuan yang jelas. Ia hanyalah buruh pemintal benang dengan gaji kecil. Meski hidup sebatang kara—dan mungkin saja ia punya uang tabungan yang cukup besar atau bahkan uang warisan dari orangtuanya yang sudah meninggal?—saya sulit menerima betapa uang itu bakal habis pada saatnya nanti hanya demi sesuatu yang tidak berguna bagi perempuan ini. Paling tidak, kalau ia mengenakan semua gaun atau baju atau selendang yang ia beli, bukankah tidak ada yang sia-sia?
    Ketika Maria datang ke toko dan hanya mengobrol dengan pegawai saya yang suka bicara itu, ia lebih banyak membahas soal pekerjaan di pabrik. Tidak ada masalah; yang Maria bicarakan lelucon-lelucon konyol penjaga keamanan di pintu gerbang pabrik itu, serta buruh-buruh lelaki yang sering mengiriminya surat cinta. Saya sadar, Maria yang cantik, kerja di pabrik begitu, pastilah banyak yang tertarik pada dirinya.
    Menurut saya, Maria malah tidak cocok kerja di pabrik benang itu, meski memintal benang tidak membuatnya mati. Ia bergaji rendah, karena kota kami penghasil benang terbesar di negeri ini. Memang aneh. Semakin banyak benang, semakin kecil orang mau menghargai jerih payah proses terjadinya suatu benda paling mendasar dalam peradaban manusia itu. Bayangkan saja, di dunia ini tidak ada benang. Saya jadi ingat sebuah film, tentang seekor tikus yang mengacau dua orang pewaris pabrik benang yang nyaris bangkrut. Akhirnya mereka berinisiatif merombak pabrik tersebut menjadi pabrik keju. Tentu saja, keju lebih mahal dari benang.
    Sayangnya, Maria bukan perempuan pemintal keju; ia masihlah pemintal benang. Setiap hari, dari pukul enam pagi hingga pukul lima belas sore, ia memintal benang dan sepulang dari pabrik, segera menuju toko baju saya untuk belanja atau sekadar ngobrol. Gajinya yang kecil entah dikumpulkan dan dimanajemen dengan metode apa; ia tidak terbukti menderita kelaparan. Ia selalu bugar dan, walaupun langsing, tampak sekali di matanya, kecerahan bola mata itu, bahwa Maria tidak pernah kekurangan gizi.
    Saya bertanya kepada pegawai yang kenal dekat dengan Maria itu. Saya mencoba sewajar mungkin, agar tidak terlihat kalau saya terlalu memperhatikan Maria seakan gadis itu anak saya, atau seakan gadis itu pujaan hati saya yang baru, di luar istri yang setiap malam selalu saya puja-puja karena dia cantik. Saya tidak mau menambah kacau pikiran. Soal Maria saja sudah bikin pusing, apalagi bila istri salah paham. Saya tidak punya perasaan apa pun pada Maria. Saya hanya penasaran.
    Pegawai saya bilang, Maria memang aneh. Ia sendiri tidak tahu kenapa dan untuk apa Maria belanja baju begitu banyak. Sudah dua tahun lebih, sejak ia bekerja di pabrik benang sebagai salah satu pemintalnya, ia datang ke toko saya. Pada mulanya, saya kira ia pelanggan biasa yang datang dan kemudian pergi—kami tak akan mungkin bertemu di lain kesempatan, sampai kiamat. Tetapi, dua kali, tiga kali, hingga kunjungan yang ke empat, Maria membuat saya berpikir lain.
    Siapa itu, tanya saya pada pegawai tersebut. Buruh pemintal benang di pabrik yang dekat bioskop, Tuan, katanya. Saya tidak tahu, bagaimana toko baju saya bisa dimasuki buruh bergaji rendah? Bukan meremehkan, cuma tidak paham dari mana ia dapat uang sebanyak itu?
    Pegawai saya menyimpan pertanyaan yang sama. Kami mulai suka membicarakan Maria jika toko sepi pada pukul sepuluh malam. Tidak ada pelanggan lain yang lebih menarik darinya. Perempuan pemintal benang yang cantik dan bergaji kecil, pergi ke toko baju dan rutin membeli koleksi kami paling tidak seminggu sekali. Itu bukan hal biasa.
    Kami berhenti membicarakan Maria—saya seolah dapat teguran atau pertanda dari langit, bahwa saya memang harus berhenti kali itu—ketika perempuan itu bilang kepada pegawai saya, "Saya bukan pencuri atau pelacur, Nona. Ini uang halal."
    Maria tersenyum tulus waktu mengatakan itu. Saya pun beranggapan bahwa Maria mungkin punya uang tabungan atau harta warisan yang cukup banyak dari orangtuanya yang meninggal. Informasi tentang ia yang sebatang kara tidak salah. Pegawai saya itu mendengar pengakuan Maria bahwa orangtuanya meninggal beberapa tahun lalu karena kecelakaan.
    Tapi, sejak itu, seiring dengan kunjungan demi kunjungan Maria ke toko baju saya, saya tidak bisa menepis berbagai pikiran soal dia. Bisa saja saya abaikan Maria, karena ia sebatas pelanggan, bukan pencuri baju mahal di rak kami—terutama, ia juga bukan pelacur (saya sempat mencemaskan kemungkinan yang satu ini). Dan Maria membayar. Saya dapat uang. Saya dapat laba. Harusnya, saya memang diam. Bukankah saya yang mujur? Dapat pelanggan seloyal Maria bukan hal gampang di kota kami.
    Ada dua toko baju bergengsi lain. Kami selalu bersaing ketat dalam soal promosi dan terobosan. Pabrik-pabrik benang yang menyuplai untuk rumah produksi toko-toko ini—karena berjumlah tujuh pabrik—bersaing menawarkan harga termurah dengan laba yang sekiranya masih bisa menutup ongkos produksi dan gaji para buruh mereka yang kecil, serta tentu saja laba bersih bagi para pemiliknya.
    Alangkah banyak persaingan di dunia ini; saya paham itu. Tetapi, bagi Maria, yang terjadi di antara para pabrik dan toko-toko baju ini, segalanya seperti bukan urusannya. Maria hanya tahu ia harus pergi ke salah satu toko tersebut—toko saya—dan memilih sandang yang kiranya ia sukai dan bisa dibawa pulang dengan uang yang tersedia dalam dompet. Ya, sepertinya, pergi ke toko baju adalah keharusan baginya.
    Maria seperti tidak memusingkan, bahwa benang yang ia kerjakan di pabrik adalah asal muasal dari berbagai produk yang dijual di toko saya. Barang yang ia beli, berasal dari pekerjaan tangannya pada suatu waktu entah kapan. Maria seperti memiliki dunia sendiri dan menikmati membeli segala sandang kelas menengah di toko saya, ber-paper bag mencolok sehingga bisa untuk pamer, tanpa harus memakai baju atau gaunnya.
    Sejauh ini, saya tidak tahu untuk apa ia selalu belanja, tetapi suatu hari ketika saya mulai menyapanya, saya tahu, Maria tidak akan berhenti ke toko baju saya, kalau-kalau tidak kelepasan mengatakan betapa sesungguhnya ia datang bukan untuk baju-baju itu, tetapi untuk saya, yang diam-diam ia sukai tanpa berani berbuat lancang. Dan sejak itu, ia tidak pernah kelihatan kemari. Setiap sore, saya menunggu. Tapi, ia tidak lagi datang. Kabarnya, Maria pergi ke tempat yang jauh dan tak kembali.

    Gempol, 2016-2018

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media cetak/online. Bukunya: Museum Anomali (Unsa Press, 2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017), dan Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri