Skip to main content

[Cerpen]: "Ajal Kolektor Buku" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Padang Ekspress edisi Minggu, 22 April 2018)
 
    Pada suatu hari seorang hartawan yang merasa dirinya akan mati membuka pintu rumahnya untuk semua orang yang menginginkan buku-buku koleksinya. Perpustakaan pribadi yang dibangun secara khusus di satu bagian taman di belakang rumah tersebut sangat luas. Ada beribu buku di sana; dari yang paling berkualitas hingga yang kaum kritikus sebut sebagai barang rombeng, semua ada.
    Aku dan Marcel turut ke sana setelah kunjungan terakhir kami ke suatu pantai tak menghasilkan apa pun, karena kami dirampok. Seluruh isi tas beserta dompet dirampas oleh perampok laknat. Terbengong di kantor polisi membuat kami merasa bagai orang goblok, sehingga membaca pengumuman tentang adanya pembagian buku oleh seorang hartawan, kami pun tergerak datang.
    Seorang polisi berkata, setelah mendengar kami ingin pergi ke sana, "Ya, pergilah. Nanti buku-buku itu bisa dijual untuk mengganti beberapa hal yang perlu diganti."
    Tentu saja kami menghargai ucapan macam itu, meski agak menyakitkan. Memang kami tidak dapat membeli apa pun, dan liburan yang seharusnya menyenangkan malah berakhir buruk gara-gara perampok. Dengan adanya pembagian buku-buku si kolektor, yang tentu saja bisa sangat mahal, ada harapan kami bisa memperbaiki beberapa hal.
    Berangkat ke rumah hartawan tersebut tidak butuh tumpangan apa pun dari kantor polisi. Kami cukup berjalan kaki sejauh tiga ratus meter. Jam pembukaan rumah mewah tersebut mulai pukul tujuh, tetapi sejak jam enam jalanan sudah dipadati pejalan kaki, dan beberapa tempat yang sebenarnya bukan lahan parkir, disulap sebagai tempat parkir. Entah berapa ratus atau ribu manusia yang mendengar pengumuman ini, tapi kurasa tak sedikit yang benar-benar mengharapkan mendapat buku tertentu, sehingga wajah-wajah mereka terlihat sangat tegang.
    "Mereka benar-benar antusias mendapat buku-buku bermutu, dan itu semua secara cuma-cuma," tutur seseorang padaku, yang kami lintasi di bawah sebuah kanopi. Orang itu menjual kembang gula dan sudah tua, tapi wajahnya nyaris menyerupai bayi, karena senyumnya yang begitu cerah. Aku mengangguk dan mengatakan bahwa kami berdua juga akan ke sana.
    Kataku pada si penjual kembang gula, "Semalam kami dirampok."
    Orang renta itu menutupi mulut dengan kedua tangan yang menangkup, lalu bilang betapa ia sangat heran, sebab pembagian buku-buku berkualitas milik sang kolektor tak ada hubungannya dengan kisah perampokan.
    Marcel mencegahku mengatakan alasan kami sesungguhnya, dan meski orang tua itu menjelaskan sekali lagi bahwa koleksi buku di perpustakaan raksasa tersebut bukan hanya buku-buku berkelas, melainkan buku berkategori sampah menurut penilaian para kritikus ternama, alangkah tak pantas menyinggung betapa buku bisa menukar beberapa kesalahan yang telah kami alami.
    Ya, memang demikianlah adanya.
    Buku-buku apa pun tidak pantas dijual demi satu tujuan yang berhubungan dengan kondisi-bukan-darurat, sedangkan aku dan Marcel ini masih sangat muda. Jikapun kami mengaku kekurangan uang dan merasa berhak untuk menjual buku-buku yang nantinya kami dapatkan di acara pembagian tersebut, tanpa peduli buku apa pun itu, tetap saja itu perbuatan memalukan.
    Si penjual kembang gula yang kemungkinan adalah pencinta buku juga, sebab dia begitu antusias bicara soal pembagian buku-buku koleksi tersebut, barangkali menyahut, "Kalian benar-benar manusia menyedihkan. Posisi kalian memang sedang terpuruk dan butuh pertolongan, tetapi kalian tidak pantas menjual buku-buku pemberian orang yang tidak kalian kenal begitu saja. Kalian juga bukan penjual buku yang memang berprofesi menjual berbagai buku. Kalian adalah orang-orang muda yang sedang berlibur dan kena sial. Dan saya rasa kalian bisa bekerja apa pun demi mencari uang tambahan untuk bisa pulang!"
    Demi menghindari kalimat semburan macam itu, kurasa saran Marcel memang tak salah. Kami pun diam dan membiarkan orang tua penjual kembang gula itu berbicara beberapa lama tanpa perlu kami timpali, dan tak lama kemudian kami minta diri.
    Jalanan semakin padat dan waktu sudah menunjukkan pukul enam lewat tiga puluh menit. Aku dan Marcel, dengan tubuh kepayahan karena kurang tidur, memaksakan diri masuk ke gerombolan manusia di pintu gerbang rumah sang hartawan yang sekaligus penggila buku itu.
    Aku tidak pernah melihat ada rumah sebesar ini, tetapi di beberapa tempat, selalu saja ada orang yang mampu membangun rumah sebesar ini. Orang-orang ini sepintas terlihat sangat beruntung dan banyak yang iri oleh kemampuan uang mengubah segala hal. Tapi, bagiku itu tidak terlalu membebaniku.
    Dulu aku juga pernah membayangkan ingin memiliki rumah sebesar istana, dan di rumah tersebut terdapat banyak pekerja yang selalu siap sedia untukku, sehingga dalam situasi apa pun, aku tidak perlu mengerjakan segala tugas yang memberatkanku seorang diri. Kupikir itu akan sangat menyenangkan. Namun, semakin waktu berlalu, semakin aku sadar khayalan semacam itu mustahil terwujud. Aku pun melupakan impian rumah serupa istana.
    "Rumah semegah ini," gumam Marcel dengan tampang takjub. "Bayangkan berapa banyak pencuri tertarik membobol rumah ini sejak didirikan dulu?"
    "Tidak terhitung, kukira," kataku seketika.
    Aku menyadari anugerah kekayaan belum tentu membuat seseorang lantas bahagia begitu saja. Boleh jadi dengan limpahan harta, hidup seseorang tidak akan lebih bahagia ketimbang hidup seorang penjual kembang gula yang penghasilannya pas-pasan. Bisa saja seseorang yang kaya raya hidupnya tidak pernah tenang siang dan malam. Hartanya yang harus selalu dia lindungi. Keluarga yang juga harus selalu dalam pengawasannya. Ada begitu banyak masalah saat seseorang menjadi kaya. Aku mulai memikirkan nasib baikku ketika kusadari betapa tubuhku tidak pernah terkena penyakit serius. Jadi, tidak pernah ada rasa penyesalan meski tidak mungkin kumiliki rumah semewah ini.
    Menurut kabar yang kudengar ketika berjalan menuju titik ini, pemilik rumah tidak menikah karena punya penyakit bawaan, sehingga tidak dapat menghasilkan keturunan. Aku dapat membayangkan betapa menderitanya dia. Kubayangkan seseorang akan mati begitu saja dan meninggalkan nama dan catatan sejarah soal apa saja yang dia perbuat selama hidup. Dia tinggalkan rumah ini, yang mungkin juga akan disumbangkan. Lalu, setelahnya, segalanya tinggal kenangan yang terbawa ke alam baka. Dengan kata lain, tidak akan ada yang mengenang dirinya.
    Aku sudah bisa menebak bagaimana semua ini bergulir. Saat menatap barisan para penggila buku, yang terpikir berikutnya adalah kenangan yang tersimpan di buku-buku. Benda-benda yang bagi para penikmat buku lebih berharga dari perhiasan jenis apa pun itu, akan jadi salah satu peninggalannya di muka bumi. Dan itulah yang membuat sang hartawan akan dikenang sampai kiamat nanti. Sungguh sebuah langkah yang bijak.
    Memikirkan ini membuatku terdiam sekejap dan dalam waktu sesebentar itu, rasa- rasanya pikiranku terbang ke dunia aneh di kepala; aku melihat tubuhku yang mati dan tak berdaya, yang tua dan tak memiliki siapa-siapa, yang dikubur di suatu peti, sebelum kemudian ditinggal pergi oleh para pelayat. Di bangku-bangku tempat para pelayat tadi duduk terdapat berbagai benda peninggalanku, tetapi tidak ada yang peduli dengan apa yang menjadi sepenggal pengingat akan diriku itu, sehingga pada akhirnya benda-benda tadi hilang entah ke mana.
    Marcel menyadarkanku dari lamunan aneh ini ketika kami telah masuk ke bagian dalam gerbang. Taman yang terbentang di depan sangat luas dan dipenuhi manusia yang kukira semuanya adalah pencinta buku, dan beberapa kemungkinan adalah pencoleng. Di mana-mana, di tengah kerumunan begini, akan selalu ada pencoleng. Lalu mendadak aku merasa aku dan Marcel termasuk dua di antara sekian pencoleng di tempat sakral ini.
    Marcel tampak kebingungan, "Kau ini kenapa, Bung? Dari tadi melamun dan tahu- tahu berhenti mendadak!"
    "Ah, tidak," kataku.
    Aku benar-benar tidak enak ingin menyampaikan pada Marcel, bahwa tujuan kami kemari bukan untuk meneruskan kebiasaan suci sang kolektor, tetapi justru menodainya dengan kepentingan pribadi yang harusnya kami tunaikan dengan sedikit mengorbankan keringat.
    Aku tetap diam selama berjalan merambat di tengah kerumunan, mengikuti arahan beberapa orang pemandu di bagian tertentu taman, untuk langsung berjalan ke halaman samping rumah yang luas bak istana ini. Ada peraturan yang harus ditaati oleh semua pengunjung: bahwa buku-buku yang nantinya akan didapat, tidak mengikuti apa yang kami mau atau kami cari, melainkan kami hanya dapat buku-buku yang diambil oleh para petugas yang berjaga di rak-rak khusus di perpustakaan sang hartawan, sehingga beberapa pengunjung tampak kecewa.
    "Kita hanya dapat buku-buku secara acak, dan moga saja kesempatan berharga ini memberiku buku-buku yang sesuai dengan keinginanku!" sela seseorang di tengah suatu obrolan salah satu kelompok manusia.
    Aku dan Marcel tidak menghiraukan soal itu, karena kami bahkan tidak tahu buku macam mana yang berkualitas dan dilabeli sampah oleh para kritikus ternama, seperti si penjual kembang gula tadi bilang. Kami hanya tersenyum canggung saat melihat orang- orang yang begitu mencintai buku berbaris dengan tertib dan berdoa agar barisan yang dipilihnya secara acak, dapat memberinya buku-buku yang lama diimpikan.
    "Andaipun tidak," kata seseorang, "aku bisa memberikannya kepada muridku, dan akan kukatakan, 'Jagalah buku ini. Meski kata kritikus ini sampah, jagalah sebaik yang kamu bisa, sebab buku pemberian orang lebih berharga ketimbang uang'."
    Mendengar itu, kurasa, aku harus menyampaikan apa yang membuatku resah pada Marcel. Kami tidak harus melakukan ini, sedangkan orang-orang yang menghargai buku ini, jauh lebih membutuhkan apa yang mungkin akan kami dapat di dalam sana. [ ]
   
    Gempol, 2017-2018

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya: Museum Anomali (Unsa Press, 2016), Babi-babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017), dan Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri