Skip to main content

[Cerpen]: "Pembalasan Maria" karya Ken Hanggara

 (Dimuat di Suara NTB edisi Sabtu, 4 Agustus 2018)

    Maria membunuh kelinciku. Aku bisa melihat itu. Kau paham, di kepalamu muncul ilustrasi, semacam film bisu; kau melihat kejadian-kejadian buruk, tetapi kau tak ada di sana. Kau tak dapat berbuat apa-apa dan tak mungkin takdir kau putarbalik. Seperti ini yang terjadi di kepalaku: Maria mendorong gerobak dan melihat ada kelinci di depan. Ia mendorong dan mendorong, dan ....
    Aku tidak berani bilang kelinci, kendati lucu, ternyata bisa tampak menjijikkan.
    Aku tidak menganggap kelinci binatang menjijikkan. Cuma darah yang kubenci dan membuatku mual. Aku tidak senang darah, termasuk darah yang keluar dari jariku waktu bermain dengan silet cukur papaku. Aku mengeluarkan darah yang asin dan memualkan. Itu menjijikkan. Kelinci juga bisa berdarah. Kalau bukan karena kegilaan Maria, kelinciku tidak berdarah.
    Aku harusnya tahu, ketika Eli—demikian aku memberi nama kelinci berbulu putih itu—datang, bahwa Maria memandangku penuh kebencian. Dari terasnya yang berjarak dekat dari halamanku, dia berdiri kaku seperti hantu.
    "Beli di mana kelincimu?" tanya Maria.    "Yang beli papaku."
    Kami tidak pusing lagi tentang asal-usul kelinci putih berbadan gendut ini, karena ia amat lucu dan perhatianku sepenuhnya tersita. Lagi pula, Papa sudah masuk ke rumah dan mandi, lalu sesudahnya masuk ruang kerja.
    Maria duduk diam sementara aku memainkan Eli di pangkuan. Nama itu ada tanpa rencana. Tahu-tahu muncul begitu saja waktu Maria bertanya mau kunamai siapa kelinci ini. Eli, nama yang bagus dan gampang diingat. Eli mengingatkanku pada kakakku yang dulu mati waktu aku bayi. Kubayangkan Eli yang gentayangan hidup di tubuh kelinci.
    Hari ini, setelah Eli berdarah dan kehangatan di tubuhnya lenyap, ingatanku balik ke saat ketika Maria mengajakku main tiap sore bersama Eli si kelinci. Ia datang dengan tetap mengenakan seragam sekolah.
    Kubilang, "Harusnya kamu ganti baju."
    Demi Tuhan, Maria sangat tidak enak bau badannya, dan aku cukup sopan untuk tidak berkata, "Hei, baumu kok begini sih?"
    Memang betul itu tidak enak. Mama bilang: jangan mencela anak itu. Tetapi Papa tidak menasihatiku dan diam. Biasanya Papa hanya akan berkata bahwa Maria tidak ada yang mengurus, jadi kalau aku membuat anak itu susah, bisa saja suatu hari nanti aku kena karma. Aku tidak tahu apa itu karma dan kemudian Papa menjelaskannya dengan sangat singkat dan bisa sedikit kupahami.
    Aku tidak tahu apa pekerjaan ibu Maria, yang sehari-hari jarang kelihatan di rumah, kecuali kami dengar suaranya. Sering kali berupa omelan, atau seperti ketika sepupuku yang suka mengigau itu bicara soal bendera Amerika: bendera permen lolipop, katanya. Di mana letak permen itu, masa bodoh. Ia tahu ada garis warna merah-putih banyak dan itu seperti permen. Ibu Maria terus begitu. Ia berteriak tidak jelas dan tidak kupahami apa yang ia mau. Kalau dipikir-pikir, kasihan juga Maria.
    Mungkin itu yang membuatku jadi teman Maria satu-satunya. Setelah ada Eli, dia punya dua teman. Bukan satu, yang dulu kadang membuatnya menangis, karena aku tidak selalu bisa diajak main di sore hari. Aku harus belajar, kataku suatu saat. Atau, aku harus ke rumah nenekku. Lalu Maria menangis. Maklum, Oma sakit dan tidak bangun dari tempat tidur. Jadi, waktuku terbagi antara Maria dan segala kegiatanku.
    Maria pernah bilang, "Kamu pura-pura."
    Ketika mengatakan itu, dia menangis. Aku tidak tahu kenapa ia menuduhku begitu.
    Kujawab, "Aku tidak pura-pura dan aku menyayangimu."
    Maria tidak percaya dan pergi. Kami tidak bicara dua hari.
    Satu-satunya yang kutahu dimiliki Maria selain Ibu yang aneh adalah seekor kura- kura. Hewan itu didapat dari pacar ibunya. Aku tidak pernah tahu pacar sang ibu, karena Maria tidak pernah menyebut nama, kecuali beberapa ciri fisik, misal "bertato", atau di lain waktu: "yang di janggutnya ada tahi lalat besar". Papa melarangku dengan tegas untuk bertanya siapa orang itu. Mama juga melarang. Kedua orangtuaku tidak suka pada ibu Maria dan aku sedih.
    "Kamu boleh berteman sama Maria, tapi jangan banyak tanya," kata Mama.
    Kukira, pacar ibunya itu orang yang jahat. Dulu Mama pernah memberi tahu orang jahat biasanya tidak pernah bicara dan sembunyi ke mana pun mereka pergi. Datang dan pergi seperti hantu. Pacar ibunya Maria begitu: datang dan perginya tidak pernah aku tahu, padahal tidak ada jalan lain untuk masuk ke rumahnya Maria, kecuali pintu depan yang bergambar pohon cemara dan bertuliskan kata-kata aneh: Demi Esmeralda, Demi Cinta.
    Kedatangan Eli membuat Maria tidak menangis apabila aku tidak ada waktu main dengannya. Menurutnya, kura-kura bodoh dan tidak mengasyikkan bila diajak bermain. Tidak seperti Eli dan aku yang lincah bergerak.
    Kukatakan, "Kamu boleh main bersama Eli sepuasnya, kalau aku tidak bisa. Kalau aku bisa, kita bisa main bersama."
    Sebenarnya aku cemburu kalau Eli hanya bermain dengan Maria; apa yang mereka bicarakan? Apa yang mereka kerjakan? Apa mereka punya satu atau lebih rahasia yang tidak boleh kutahu? Aku tidak bisa bertanya pada kura-kura itu, yang sering diabaikan Maria, jika ia berdua bersama Eli melihat taman bunga sekitar rumah.
    Eli cuma kelinci gendut yang lucu, jadi tidak bakal berkhianat padaku. Aku dan Maria mengikik melihatnya menggerogoti wortel dan beberapa iris sayur yang kuambil dari kulkas. Dan kura-kura itu seperti tidak peduli pada apa yang Maria kerjakan.
    Maria bilang, ia sering memberi Eli dan kura-kuranya—yang bernama Sumarno— makanan. Kedua binatang itu berbeda dari segi kecepatan memakan sesuatu, tetapi aku heran tentang nama si kura-kura. Apa tidak ada nama lain selain Sumarno? Itu nama bapakku, begitulah kata Maria. Dan sejak itu, kami tidak pernah mengungkit soal nama si kura-kura.
    Suatu kali Maria punya ide; kami bertukar binatang piaraan untuk diajak bermain ke mana pun kami mau. Jadi begini, aku dan Maria berada di tempat berbeda. Dan kami membawa binatang piaraan punya teman. Aku membawa Sumarno. Maria membawa Eli. Aku pikir seru, jadi aku setuju.
    Bermain dengan kura-kura seperti apa yang Maria bilang: membuatmu bosan. Aku tidak tahu apa yang kulakukan bersama Sumarno. Tetapi ingatan akan Eli dan kakakku yang mati pada zaman dahulu kala membuatku ingat bapak kandung Maria. Mungkin orang itu juga sudah mati, sehingga kini bergentayangan dalam tubuh seekor kura-kura. Anehnya, kalau kura-kura ini memang berisi jiwa bapak Maria, kenapa ia bisa berada di tangan pacar ibunya?
    Aku masih kecil, tetapi tahu dari Maria bahwa pacar ibunya itu sangat menyayangi sang ibu. Ia berjanji suatu hari nanti menikahi ibu Maria dan membawa mereka pergi ke dunia baru: dunia penuh uang. Aku tidak tahu di mana ada tempat macam itu dan kapan itu terjadi, begitupun Maria, tetapi kami tidak yakin itu terjadi. Sejauh ini pacar ibunya masih datang dan pergi seperti hantu.
    Karena pusing memikirkan hantu bapaknya di tubuh kura-kura, juga janji orang yang Maria sebut 'Oom' itu, aku tidak sengaja menduduki cangkang Sumarno sampai ia pecah dan mati. Aku ketakutan. Aku tidak berniat melakukan ini. Aku lupa meletakkan itu di tempat aman, sehingga tidak sengaja kugencet dengan pantatku. Dan karena takut pacar ibunya marah, kubilang pada Maria kalau kura-kuranya hilang.
    "Kamu jahat!" katanya, dan dengan kasar menyerahkan Eli kepadaku sampai kami terjungkal.
    Maria tidak bicara seminggu. Aku berusaha meminta maaf padanya dan memohon pada Papa agar membelikan kura-kura baru buat Maria. Atau, kelinci bisa jadi ide yang bagus. Maria akan dibelikan kelinci cokelat, misalnya. Kami sama-sama punya kelinci.
    Papa tidak setuju setelah kukatakan alasanku. Kutunjukkan mayat Sumarno yang gepeng dan amis dan mulai dirubung semut. Papa bilang, sebagai gantinya, aku tidak dapat uang jajan selama sebulan. Aku menangis dan Mama mengajakku ke dapur untuk memberi makan Eli. Kelinci itu gendut dan hangat. Aku memeluknya dan menangis.
    Kalau saja Maria tidak datang mengetuk pintu belakang kami, mungkin aku akan menangis selamanya. Tetapi ia memelukku dan berkata betapa ia kangen. Di sekolah, ia tidak punya teman. Ia diledek dan dibilang anak tanpa bapak. Dan disebut sebagai anak paling bodoh di seluruh dunia. Sejak itu kami berdamai.
    Sebagai permintaan maafku, kuberikan Eli untuk dijaga selama dua hari. Sampai hari itu tiba, Papa bakalan pulang membawa kelinci baru untuknya. Maria tak bilang apa-apa, kecuali tersenyum, dan aku memeluknya. Aku menangkap bau Maria yang tidak enak, tetapi tidak peduli. Mama meninggalkan kami dengan wajah bahagia.
    Semua bahagia hari itu. Besoknya Eli mati. Maria membunuh kelinciku dengan gerobak di samping rumahnya. Aku berlari dan menubruk tubuh basah Eli di tanah. Aku benci Maria, tapi di sana ada pacar ibunya yang berdiri tepat di depanku untuk pertama kalinya.
    Aku tidak berani berkata pada Maria, "Kamu sinting, ya?"
    Aku lihat mata Maria yang membara. [ ]
    Gempol, 2016-2018

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, puisi, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya berjudul Museum Anomali (Unsa Press, 2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017), dan Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri