Skip to main content

[Cerpen]: "Balas Dendam Paling Aneh" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Mojokerto edisi Minggu, 6 Mei 2018)
 
    Kepala saya pusing, tetapi Maria menyuruh saya berbaring. Kamu jangan bangun, sebab barusan tukang sihir mengoperasi otakmu yang belakangan dikuasai hantu-hantu. Lalu Maria menata selimut di dada saya dan tersenyum manis.
    Saya heran kenapa Maria bicara seaneh ini? Dia perempuan paling skeptik yang saya kenal, namun kali itu sosok lain seakan masuk ke badannya dan mengontrol Maria sepenuhnya. Maria tidak berhenti tersenyum sampai saya mencoba bangkit dari tempat tidur. Dia hampiri saya dan dengan jengkel berkata, "Kamu mau otakmu bocor?!"
    Maria meraih cermin di sisi tempat tidur dan menyerahkannya kepada saya. Lebih baik kamu bercermin, katanya, lalu meminta saya berjanji untuk tidak kaget, karena dia masih mencintai saya dan berharap dapat menikah bersama saya dan kami punya anak banyak dan hidup bahagia selamanya.
    "Maria, kamu tidak seaneh ini? Sejak kapan kamu cinta saya?"
    "Oh, jangan khawatir. Dari awal aku cinta sama kamu. Tapi, yah, perempuan harus jaga gengsi. Kamu tidak tahu? Kasihan. Coba bercermin dan janji jangan kaget!"
    Maka, saya pun bercermin.
    Saya benar-benar kaget, karena apa yang saya lihat sungguh tidak masuk akal. Di atas kepala saya, tempurung kepala tidak ada. Setengah otak saya terlihat. Kilaunya, basahnya, amisnya, benar-benar bisa saya rasakan. Seandainya saya mau, bisa saja saya cuil otak tersebut dengan garpu.
    "Siapa yang melakukan ini, Maria?!"
    "Kubilang jangan kaget!"
    Kepala saya pusing dan saya mual. Saya lempar cermin itu ke pojok kamar dan Maria tampak sedih. Dia bilang, tukang sihir yang dulu pernah saya beri remah roti di stasiun itulah yang melakukannya.
    Saya ingat, kira-kira empat tahun lalu, waktu menjemput Maria dari Jogja, seorang lelaki berbaju rombeng mendatangi saya yang sedang berdiri di depan bangku stasiun. Dia bilang anaknya sakit dan dia bilang anaknya ingin bunuh diri. Saya terus mendengar cerita-cerita lelaki berbaju rombeng yang semakin lama semakin terasa tidak masuk di akal. Saya terus mendengar dan berlagak percaya, padahal dalam hati saya mulai mikir, dia penipu! Saya terus mendengar sampai kami berdua tidak sadar duduk di bangku itu, dan si lelaki berbaju rombeng mulai memelas. Air mata membasahi pipinya yang sarat jerawat dan borok.
    "Jadi, Tuan harus tolong saya. Tuan harus beri saya uang dua puluh juta sekarang juga agar anak saya tidak bunuh diri. Jika dia bunuh diri, mungkin saya juga bunuh diri, atau barangkali membunuh orang-orang. Atau barangkali saya ambili otak mereka dan menukarnya dengan otak sapi, agar saya menjadi pintar dengan menggunakan otak yang bisa mencari uang. Dengan demikian, anak saya tidak perlu bunuh diri!"
    "Maaf, berapa umur anak Anda tadi?"
    "Tujuh tahun. Tapi sudah mengerti banyak hal. Dia punya bakat. Dia tahu apa yang anak lain tidak tahu. Bahkan dia tahu bagaimana dulu dia dikeluarkan dari rahim ibunya. Dia bercerita ke saya soal kelahirannya seakan-akan berumur tujuh puluh tahun. Seakan dia pernah hidup di masa lalu!"
    Pada saat itu Maria datang dan saya berdiri menyambutnya. Kami berpelukan lama dan si lelaki berbaju rombeng duduk dengan badan menyusut di bangku stasiun. Lelaki berbaju rombeng itu menoleh ke sana kemari seperti orang sinting kehilangan tujuan, dan tanpa saya peduli kata-kata terakhirnya, saya dan Maria pergi.
    "Tuan! Jangan pergi! Beri saya dua puluh juta dulu, baru boleh pergi!" kata lelaki berbaju rombeng.
    Dia berdiri di bekakang kami dan menggenggam lengan jaket Maria yang terjuntai, karena jaket tersebut hanya Maria sampirkan di lehernya. Dengan kesal, saya mencekal tangan si lelaki, lalu dia berpindah menggenggam bahu saya.
    "Saya tukang sihir. Saya tidak bisa mencari uang. Saya tidak bisa menyulap apa pun jadi uang, karena nanti saya mati. Beri saya uang agar anak saya tidak bunuh diri, lalu saya pergi selamanya."
    "Saya tidak punya uang sebanyak itu. Kalaupun punya, Anda tidak punya bukti apa pun soal anak Anda yang aneh itu, yang menguatkan alasan saya memberi Anda uang dua puluh juta! Biarkan kami pergi!"
    Lelaki berbaju rombeng tampak sedih dan saya cekal kembali tangannya. Lelaki itu tidak mengejar kami, setelah saya berikan remah roti yang terdapat di saku mantel saya. Maria memandangi saya dengan heran, dan saat kami agak jauh, ia berbisik, "Kok kamu setega itu sama orang tadi? Siapa tahu perkataannya benar? Siapa tahu dia tukang sihir? Bagaimana kalau suatu hari nanti dia datang kepada kita dan balas dendam? Bagaimana kalau dia merebutku darimu?"
    Saya ingat kejadian itu.
    Kami naik taksi dan Maria terus bicara soal lelaki berbaju rombeng, dan dia bilang dia tidak akan bisa tidur nyenyak nanti malam, besok malam, dan entah berapa malam. Dia bilang harusnya saya beri uang padanya paling tidak dua juta, karena Maria tahu di mantel saya ada uang segitu. Saya bilang uang itu sudah saya rencanakan untuk beli kado buatnya.
    Saya kira kejadian itu berlalu begitu saja. Empat tahun tak ada apa pun yang aneh, kecuali Maria yang dari waktu ke waktu menjauhi saya. Dia seperti enggan saya nikahi dan perlahan merasa muak kepada saya.
    Dia bilang, dia belum terpikir menikah sekalipun kelak usianya menginjak angka tiga puluh lima. Ketika usia Maria menginjak dua puluh tujuh dan saya tiga puluh, dan pada suatu malam terpaksa saya menginap di rumahnya, saya tidak sadar akibat buruk kejadian empat tahun silam di stasiun menghampiri kami.
    Malam itu hujan dan mobil saya mogok. Maria menyuruh saya tidur di rumahnya dan dia percaya saya tidak bakal menyentuhnya dan kami tetap sebagaimana awalnya: perjaka dan perawan. Subuh hari saya bangun dalam kondisi pusing. Maria menyambut saya dengan sikap anehnya. Di sinilah saya tahu bahwa tempurung kepala saya dibelah tanpa dikembalikan oleh pelakunya, yang kata Maria adalah lelaki berbaju rombeng di masa lalu tadi, yang saya beri remah roti karena tidak percaya pada ceritanya.
    "Nah, sekarang," kata Maria setelah saya bayangkan semua itu, "kamu menyesal mengabaikan nasihatku?"
    "Orang itu sinting dan dia tidak kenal saya, tetapi dia minta uang dua puluh juta! Gila apa ngasih dua puluh juta ke manusia tidak jelas begitu?!"
    Kepala saya tambah pusing, tapi tidak bisa menyentuh batok kepala.
    Maria terkikik geli dan mengambil gombal, lalu menyumpal bagian terbuka kepala saya dengan itu, bagian yang kelihatan otaknya, dan saya bertambah pusing berkali-kali lipat. Saya suruh Maria melepas gombal itu, karena mungkin saya bakalan mati karena otak ini tidak kuat menahan tekanan tangannya, tetapi Maria bilang saya akan baik-baik saja.
    "Tukang sihir itu sudah bilang kalau dia tukang sihir. Dia mengaku, sebelum kamu bangun, kalau dia sudah memperingatkanmu tentang mencuri otak pria sombong untuk menggantinya dengan otak sapi. Sekarang kamu kira otak yang kupegang ini otak apa? Otaknya Albert Einstein? Bukan tauk! Ini otak sapi!"
    Saya tidak percaya omongan Maria, tetapi dia terus bercerita soal obrolannya yang terjadi secara mendadak dengan si tukang sihir. Maria bilang, jam dua petang dia ingin pipis dan tidak sengaja mendengar keributan dari arah kamar saya. Lalu dia masuk dan melihat tukang sihir bekerja dengan tang, gergaji, obeng, pisau, dan berbagai jenis alat pertukangan lain seakan-akan saya ini robot. Maria pun bertanya kenapa tukang sihir melakukan itu kepada saya?
    Tukang sihir menjawab, "Orang ini memang pantas berotak sapi!"
    Maria menceritakan pertemuannya dengan tukang sihir itu sebelum saya tersadar oleh rasa pusing, sambil menari-nari ke sekeliling kamar. Saya ambil gombal yang dia tinggalkan di atas kepala saya yang terkuak, lalu melemparnya ke lantai. Mendadak ada aliran hangat di sekitar jidat saya dan Maria terpekik.
    "Nah, kamu sih nakal! Itu keluar darahnya. Sudah kubilang biarkan gombalnya di situ." Maria mengambil gombal itu dan menaruhnya kembali ke tempat semula dan saya kembali merasa pusing berkali-kali lipat.
    Maria mengusap jidat saya yang dialiri darah dan menunjukkan jari telunjuknya untuk membuktikan kebenaran ucapannya. Memang darah. Saya lihat dia menjilatinya seakan-akan itu es krim.
    "Tolong berhenti! Kamu bukan kanibal!" kata saya.
    Kali ini pandangan saya mulai melamur. Maria tidak peduli dan tetap menjilati jari telunjuknya setelah mengusap jidat saya. Dia terus mengusap dan menjilat, mengusap dan menjilat, sampai lidah saya tidak bisa berkata-kata.
    Maria bilang dia mencintai saya dan saya tidak boleh mati dan dia berharap dapat menikah bersama saya dan kami punya anak banyak, lantas hidup bahagia selamanya. Maria tidak pernah seaneh ini. Sejak kapan dia mencintai saya? [ ]
   
    Gempol, 28 Agustus 2017-17 April 2018
   
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017) dan Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri