Skip to main content

[Cerpen]: "Bukan Ayahmu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Analisa Medan edisi Minggu, 22 April 2018)
 
    Aku ke sekolah dengan semangat pagi itu. Uang yang kusimpan di tasku kubekap erat. Uang itu kubawa pagi ini dan kuserahkan pada Doni. Aku tahu ibu Doni sakit. Ia butuh uang untuk membawa ibunya ke ruang operasi. Kemarin aku janji meminjamkan uang untuknya, agar ia tidak usah ke rumah rentenir.
    Doni sudah pasti berdiri di terasnya dan menungguku dengan cemas. Ibunya pasti bingung dan bertanya-tanya dalam hati. Ibu Doni sangat penyabar. Aku mengenal beliau sedekat keponakan dengan bibi kandungnya, padahal kami bukan keluarga. Ia begitu baik, dan dahulu sebelum sakit sering membuatkanku nasi goreng.
    Nasi goreng ibunya Doni khas dan enak. Tapi, itu dulu. Sejak dokter bilang beliau mengidap penyakit, pekerjaan-pekerjaan rumah semua diwarisi oleh Doni, yang hanya tinggal berdua dengan ibunya. Tidak ada lagi nasi goreng. Tidak ada ajakan Doni agar aku mampir, sekadar main Play Station atau bicara tentang komik dan film animasi. Lagi pula, ibu Doni sakit bersamaan dengan dipenjaranya ayah Doni.
    Hidup Doni dan keluarganya berubah sejak itu. Tepatnya setahun lalu, waktu kami baru memakai seragam SMA, Doni dan aku berlari masuk pagarnya dengan saling ledek. Kami berhenti ketika melihat beberapa polisi berdiri di halaman. Ayah Doni menunduk. Ibu Doni menunduk. Ayah Doni digiring ke sebuah mobil dan hampir semua tetangga di rumah-rumah dekat situ, saling berbisik dan mengangguk prihatin.
    Doni berlari ke pelukan ibunya dan bertanya ada apa? Ibunya tidak bisa menjawab, tetapi aku tahu ayah Doni ada dalam masalah. Memang betul. Tidak berapa lama berita itu keluar juga. Televisi menayangkan bahwa ayah Doni yang cukup terpandang sebagai hakim, terseret kasus suap.
    Aku tak tahu penyakit ibu Doni apa. Ia tidak cerita. Sejak ayah Doni dipenjara dan sebagian harta mereka disita, Doni hampir tak pernah mengajakku mampir, kecuali jika ada tugas kelas yang terpaksa dikerjakan berdua. Aku sebut terpaksa, karena kini Doni menjaga jarak dariku. Pada saat-saat ini, ibu Doni secara aneh tidak lagi menyambutku seperti dulu. Doni hanya bilang, "Ibu sakit dan istirahat di kamar. Tidak mau diganggu."
    Tentu saja, aku tidak bakal berpura-pura manja seperti biasanya demi meminta nasi goreng gratis dari ibunya. Sayangnya, saat itu aku tak sadar sesuatu yang serius sedang terjadi pada beliau. Aku tidak tahu kenapa Doni sengaja menutup-nutupi semuanya. Aku mengira ibunya itu sakit biasa, padahal kenyataannya tidak begitu.
***

    Keluargaku, meski tidak kaya, hidupnya bahagia. Dulu aku cemburu pada Doni. Si anak kaya, yang segala macam kemauan dapat dipenuhi. Aku saja, yang minta dibelikan handphone, tidak begitu saja dituruti bapakku. Harus ada syarat-syarat yang kupenuhi dan aku harus memeras keringat untuk dapat memiliki benda bernama handphone. Aku harus mencari sebagian kekurangan uang untuk beli handphone itu.
    Kata bapakku, "Itu semua untuk mendidikmu agar mandiri."
    Waktu itu aku mendatangi tetangga yang menjual makanan ringan yang dikemas dengan tema unik, dan berbagai pilihan rasa. Makanan berbahan jagung itu diminati. Makanan seperti itu belum banyak ada, jadi tak sedikit yang tertarik, hingga penjualan bukan hanya berlangsung di rumahnya saja, tapi juga via online. Aku membantu banyak di penjualan online, dan uang komisiku kutabung untuk menambah kekurangan harga handphone.
    Sampai hari ini, sejak empat tahun lalu, aku bisa dibilang masih bekerja di sana, dan tentu uang yang kutabung semakin hari semakin banyak. Aku sekaligus promosi ke teman-teman di sekolah sehingga komisi yang kudapat terus bertambah. Tidak setiap hari kita membeli handphone, jadi dengan tabunganku yang semakin banyak, sesekali kuringankan beban orangtua yang bukan pegawai bergaji tinggi.
    Setelah tahu ibu Doni sakit keras, aku punya rencana. Kuberikan uang tabungan itu agar Doni dapat membawa ibunya ke rumah sakit. Ini bermula ketika Doni menangis suatu siang, di bus reyot yang diparkir di seberang toilet umum. Bus itu dahulu bekas tawuran, sehingga ditelantarkan di sebuah tanah lapang.
    Doni menangis di dalam bus itu dengan suara yang pelan. Ia berdoa agar Tuhan menurunkan keajaiban. Ia berdoa agar semua penyakit di tubuh ibunya hilang, karena ia belum siap hidup sebatang kara. Aku mendengarnya dan tanpa pikir panjang aku naik ke bus. Doni mengusirku.
    Aku bilang, "Aku dengar semuanya."
    Barangkali karena pada dasarnya kami bersahabat, Doni tidak bisa berbuat kasar dan menjaga jarak lagi. Ia bilang, betapa ibunya mungkin tidak tertolong. Sakit yang diam-diam beliau pendam perlahan membuatnya lemah dan tidak kuat bekerja lagi. Sehari-hari sejak beberapa bulan ini, beliau hanya berbaring di tempat tidur saja.
    Aku baru mendengar soal ini dari Doni belum lama. Keinginan menjenguk selalu ada, tetapi Doni tidak pernah dapat kutemui kalau bukan karena ada tugas. Sayangnya, tidak setiap hari tugas kelompok diadakan.
    Di luar hari sekolah, ketika aku sengaja mampir ke sana, aku tidak dapat masuk ke rumahnya secara sembarangan, dan hanya berdiri lesu di pintu depan rumah Doni ketika bel rumahnya kupencet berkali-kali tanpa ada yang merespons. Ternyata itu sebabnya. Ibu Doni sakit keras dan Doni tidak ingin merepotkanku. Selama tidak sekolah, Doni bekerja di suatu tempat di pasar untuk mengumpulkan uang.
    Di bus reyot itu Doni baru benar-benar jujur. Ia sebut ibunya sakit keras dan butuh uang untuk operasi. Aku tidak tahu sakit apa itu, karena Doni tidak menjelaskan secara detail. Ia hanya menangis dan menangis. Lalu, secara spontan kujanjikan uang tabungan itu untuknya. Ia tidak usah ke rentenir agar ibunya dapat dioperasi.
    Doni berhenti menangis dan memandangku sesaat. Ia mengucap terima kasih dan meminta maaf karena sempat mengira aku akan membencinya karena ayahnya terseret kasus yang memalukan.
    "Dia ayahmu. Dan kamu bukan ayahmu," kataku. [ ]
   
    2016 - 2017

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media.

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri