Skip to main content

[Cerpen]: "Pohon Berbisik" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Suara Merdeka, Minggu, 23 Desember 2018)
 
    Pohon jambu di depan saya, di halaman rumah sahabat yang mati disembelih dua tahun lalu, seperti sedang mengajak bicara. Tentu saja saya tidak paham bahasa pohon, namun mengira ia berusaha bicara. Tentang apa, saya tidak tahu. Daun-daun jambu itu bergesekan seperti orang berbisik. Kalau benar apa yang saya duga, ia jelas membisiki saya sesuatu bernuansa purba dan ganjil. Sesuatu tentang kematian.
    Mila, pacar saya, tidak terlalu percaya kata-kata itu. Padahal saya ceritakan dengan penuh semangat bahwa saya merasa pohon jambu itu berbisik. Memang saya tidak bisa buktikan atau paling tidak menirukan ucapan pohon itu, tetapi saya yakin apa yang saya rasakan tidak salah.
    "Kebanyakan melamun kamu," celetuk Mila pendek.
    Saya tidak bisa membela diri. Lagi pula, laki-laki—menurut Mila—adalah sumber kebohongan dan perempuan selalu benar. Saya tidak tahu apa semua perempuan di muka bumi berpikir demikian ataukah cuma segelintir kecil atau sebagian besar. Saya tak tahu jumlah tepatnya pendukung opini tersebut. Tapi yang pasti, Mila termasuk di dalamnya sehingga saya rasa percuma bercerita menggebu-gebu soal pohon jambu yang bisa berbisik. Toh, ia juga tidak bakal percaya. Ia hanya akan percaya pada hal-hal yang membikinnya bahagia.

    Saya sebenarnya tidak mau cerita ke siapa-siapa soal pohon ajaib ini. Sering, setiap mampir ke rumah almarhum sahabat itu—sekadar mengirim puding cokelat kesukaan sang ibu yang kini sebatang kara dan membuat saya sangat iba—bila hendak pulang dan memakai sepatu di undakan teras, pohon itu seperti memandangi saya entah dengan cara apa.
    Pohon memang tidak bermata tetapi saya merasa ia mulai berkembang dari sekadar berbibir serupa manusia, meski sebatas untuk berbisik dan entah bagaimana pula bentuk bibir itu, hingga memiliki mata yang saya juga tidak tahu bagaimana bentuk dan di mana letaknya.
    Yang satu ini memang sulit dan mustahil kedengaran; barangkali cuma saya saja yang merasa dipandangi oleh pohon, padahal aslinya ia tidak melakukan itu. Tapi, entah kenapa, saat berusaha menepis pikiran itu dan saya mulai jalan ke mobil yang terparkir sejarak tujuh meter dari pohon jambu tersebut, saya seperti sedang diintai maut.
    Kali ini saya tidak bisa menahan diri untuk tidak memaksa Mila percaya.
    "Kamu gila, ya?" justru itu yang saya dengar.
    Saya tidak gila, kata saya marah. Itu dia kenapa saya mau ajak kamu ke sana, ke rumah almarhum sahabat saya itu, yang mati disembelih dua tahun lalu.
    Mila marah dan menganggap saya menjejalkan kebohongan demi kebohongan ke kepalanya agar suatu saat saya bisa selingkuh tanpa ketahuan—atau paling tidak, tanpa membuatnya protes.
    Akhirnya kami putus. Dan pohon itu tetap membisiki saya sesuatu yang purba dan ganjil, serta memandangi saya di berbagai kesempatan kunjungan yang saya lakukan pada ibu almarhum sahabat saya.
    Saya, tentu saja, merasa terganggu dan tidak nyaman. Tidur tidak nyenyak, makan tidak kenyang, bahkan buang hajat pun saya lakukan dengan tergesa-gesa, seolah saya sedang dikejar sesuatu, tetapi tidak tahu apa sesuatu itu. Padahal pohon jambu itu juga masih berdiri di halaman depan rumah orang yang dulu pernah jadi sahabat saya. Ia tidak berkaki—pastilah. Tak terbayang kalau pohon ajaib itu mendadak menggeliat dan menarik seluruh akarnya yang tertanam di tanah dan menampilkan wujud baru dari sebatang pohon: berkaki. Ia akan kejar saya ke mana-mana dan membisiki saya sesuatu yang mengerikan terkait kematian dengan bahasa yang bukan bahasa manusia. Ia juga memandangi saya kapan pun dan di mana pun; di tempat tidur, di mobil—sementara ia berlari menyetarai laju mobil saya, di kantor, di mini market, di rumah Mila (saya masih suka diam-diam mengupingnya dari luar jendela, sedang bernyanyi lagu sendu karena rindu memiliki kekasih yang baik).
    Namun, jangan berpikir saya akan kembali mengajak perempuan itu pacaran; saya sibuk dengan urusan menghindari pikiran jelek soal si pohon dan mungkin merancang rencana penyelamatan diri bila kelak diperlukan. Segala kemungkinan bisa saja terjadi, bukan? Saya sendiri tidak tahu bagaimana mulanya pohon itu berbisik. Apa hanya saya seorang yang tahu ia begitu, atau adakah orang lain yang juga tahu namun merahasiakan pengetahuannya soal ini?
    Kepada ibunda almarhum sahabat saya, tentu saja saya tidak cerita. Mungkin saja beliau sedih dan mengira itu anaknya. Maksud saya, pohon itu dirasuki arwah anaknya yang penasaran karena penyembelihan itu tidak jelas dilakukan oleh siapa. Saya tahu bagaimana sahabat saya itu pada suatu malam kelihatan gusar. Lalu kira-kira seminggu kemudian dia diseret beberapa lelaki dan besok paginya saya tahu dia mati. Kepalanya diangkat ke sana kemari oleh orang-orang yang saya ketahui sebagai teman saya juga, tetapi di sana sangat banyak manusia dan mereka rata-rata berteriak girang.
    Saya tidak ingin menyalahkan siapa-siapa terkait kematian sahabat saya itu. Saya juga tak ingin mengungkit-ungkit masalah itu. Biarlah kisah itu hilang, karena toh saya tahu percuma mencari tahu pelaku penyembelihan di antara sekian banyak orang, yang juga melakukan hal serupa ke orang-orang bernasib malang lainnya. Sungguh sesuatu yang mengerikan bila peristiwa itu menjadikan arwah ia—sahabat baik saya itu—tidak tenang, sehingga merasa perlu merasuki sebatang pohon jambu demi menyampaikan suatu pesan.
    Kematian, cuma itu yang ada di kepala saya berhari-hari, berminggu-minggu, usai mendengar bisikan si pohon serta merasa yakin dipandangi olehnya selama saya berada dalam jarak jangkau pandangnya. Lalu saya putar ulang rutinitas berkunjung ke rumah itu yang dimulai setahun setelah sahabat saya mati. Seingat saya, tidak ada gejala itu; tidak ada bisikan dan tatapan pohon. Atau ketika itu saya belum menyadarinya?
    Saya baru tahu kalau ibu almarhum sahahat saya menyimpan ketakutan yang sama. Beliau bilang, "Hawa buruk melingkupi rumah ini. Maut sewaktu-waktu dapat datang, walaupun saya sedang makan puding cokelat."
    Puding itu saya pesan pada seorang pembantu di rumah seorang jenderal—yang juga sahabat saya—yang biasa memberi hadiah puding untuk anak-anaknya. Saya bayar pembantu itu atas jasanya memasak puding cokelat dan saya berikan pada ibu almarhum sahabat saya yang mati disembelih dua tahun lalu, untuk kami makan berdua. Di tengah kenikmatan makan puding, kadang-kadang ibu sahabat saya bicara soal kematian, atau di lain waktu bicara soal surga dan neraka.
    "Sebenarnya sudah terlalu lama kita hidup di surga, walau terasa seperti neraka."
    Saya tidak tahu maksudnya dan malah lagi-lagi membayangkan pohon itu berkaki, lalu bertangan, dan akhirnya bermulut sehingga bisa mengejar dan menerkam saya. Ia pun membuat saya bermimpi buruk mati ditelan bulat-bulat oleh sebatang pohon jambu. Sangat mengerikan. Apa ini yang disebut surga? Saya tidak yakin. Surga harusnya dipenuhi hal menyenangkan seperti pohon yang dapat bernyanyi dan tidak mengejar dirimu—apalagi memangsamu.
    Di kunjungan terakhir saya, ibu almarhum sahabat saya itu mulai menginterogasi saya soal sesuatu yang lain, "Kamu jebak anak saya, ya?"
    Saya makin bingung. Saya bilang saya tidak menjebak siapa-siapa dan saya tidak tahu apa-apa soal penculikan beberapa warga yang akhirnya disembelih ramai-ramai. Saya sendiri kehilangan sahabat, tetapi tidak bisa melakukan apa-apa kecuali membuat perempuan tua itu merasa tidak sebatang kara di hari tuanya.
    Tapi penjelasan saya dianggap bohong. Saya ingat bagaimana Mila menuduh saya sinting dan pembohong, lalu kami putus. Waktu itu saya merasa sangat terhina dan sakit hati. Tetapi kalau dibandingkan dengan perasaan saya sewaktu mendengar tuduhan ibu almarhum sahabat saya, jelas kalah telak. Di sini, di meja makan ini, di hadapan dua piring puding cokelat, saya bukan lagi merasa hina dan sakit, tetapi juga berdosa.
    Saya bayangkan sebatang pohon jambu mengejar-ngejar saya. Dan ia meludah tiga kali berupa darah amis pekat ke sekujur tubuh dan seragam militer saya. Pada saat itu, sembari berusaha tidak tertangkap, saya bisa mencium kehadiran malaikat maut di dekat saya; sesuatu yang purba dan ganjil. Lalu tubuh saya dirubungi belatung-belatung serta mulai menampakkan luka-luka menganga yang sangat menjijikkan.
    Saya sulit dikejar karena fisik saya amat terlatih dan bugar. Maka saya terus berlari sampai berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bertahun-tahun, hingga nyaris setengah abad saya terus berlari menghindari kejaran pohon jambu yang dirasuki arwah sahabat saya yang tidak terima dituduh macam-macam lalu akhirnya mati disembelih. Sesekali saya beristirahat dengan mampir di rumah-rumah gedong para kolega. Di situ saya membalut luka dan menghalau belatung-belatung tadi sekadarnya, lalu kembali berlari. Sesekali mampir ke kelab malam yang pelanggannya pria-pria berambut blonde, lalu kembali berlari. Begitulah.
    Saya tidak tahu sampai kapan saya harus berlari karena pohon jambu itu memang benar-benar sudah keluar dari tempatnya berpijak selama beberapa tahun. Dan kini, hari ini, ia jelas sudah bermulut dan siap sewaktu-waktu menelan saya bulat-bulat, lengkap dengan berbagai atribut yang saya kenakan, sesuatu yang juga tidak pernah saya lupa di masa lalu, ketika melihat orang-orang melempar tubuh-tubuh itu ke lubang besar dalam kondisi tanpa kepala.
    Bagaimana kabar Mila? Saya dengar dia sudah kawin dengan seorang petani dan punya banyak cucu. Kemarin lusa dia mati karena penyakit liver dalam usia tujuh puluh. Dan dia dikubur tidak jauh dari tempat kami pacaran, tempat yang tidak terlalu jauh dari kuburan almarhum sahabat saya. [ ]

    Gempol, 2015-2018

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya Museum Anomali (Unsa Press, 2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (Basabasi, 2018).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri