Skip to main content

[Cerpen]: "Tabung Tawa" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tanjungpinang Pos edisi Minggu, 29 Juli 2018)
 
    Seandainya di bumi ini setiap manusia dijatah memiliki tawa dengan volume yang sangat terbatas. Misalnya, tawa satu orang manusia disimpan di dalam tabung tertentu, sehingga tidak ada yang sembarangan melempar tawanya, demi berjaga-jaga agar suatu ketika seseorang tidak kehabisan tawa untuk hal-hal yang tidak penting.
    Aku sudah membayangkan hal ini, sekalipun Tuhan tidak memberi tahu para nabi dan rasul bahwa setiap manusia memiliki jatah tawanya masing-masing. Jadi, menurut keyakinanku (dan semoga ini benar), tawa setiap jiwa disimpan dalam satu tabung yang tersembunyi di dalam tubuhnya.
    "Kamu sudah gila. Sebaiknya kamu bawa dirimu ke ahli saraf, atau mungkin sudah saatnya kamu resign. Pekerjaanmu yang gila benar-benar membuatmu gila!" kata seorang temanku.
    Aku bekerja di sebuah kantor yang mengurus hitungan angka sampai berbelas digit, dan bukan cuma itu saja; jika salah, risiko besar menghabisiku. Aku tidak boleh salah hitung dan harus akurat. Aku memang selalu bisa diandalkan dalam urusan ini, tetapi karena inilah aku cepat tua. Kata ibuku, pekerjaanku gajinya gede, tetapi ibuku tahu di kepalaku telah tumbuh beberapa helai uban yang seharusnya belum waktunya ada di sana.
    Temanku berpendapat bahwa keyakinanku akan adanya tabung tertawa disebabkan oleh pekerjaanku. Setiap hari aku bertemu angka-angka dan jarang tertawa. Aku lebih sering diam dan hampir selalu bersitegang dengan siapa pun yang kuhadapi, kecuali bos tentu saja, ketimbang tertawa.
    Aku bersitegang dengan orang-orang di luar kantor bahkan untuk hal-hal sepele. Aku bisa saja emosi menghadapi tukang sate pagi ini, dan nanti siang aku kembali emosi karena merasa ada tindakan yang kurang ajar dari seorang penjaga kios fotokopi. Kukira itu wajar pada mulanya; aku merasa marahku bukan tanpa alasan. Namun lama- lama orang menganggapku sombong. Semakin ke sini, aku malah dianggap robot.
    "Kamu manusia robot yang tidak bisa tertawa. Kamu manusia yang kaku dan tidak pandai berbasa-basi," kata teman yang lain. Aku dianggap mudah tersinggung dan tidak tahu lelucon-lelucon dasar yang harusnya anak SD saja paham.
    Setelah tuduhan itu, aku tidak pernah tenang dalam tidur. Di kepalaku bukan cuma ada angka-angka, tetapi juga wajah orang-orang yang mencibir dan tertawa. Kupikir tak ada seorang pun yang seharusnya tertawa tanpa alasan. Bahkan, hal sekecil diriku-yang- dianggap-robot, mereka sangat gemar menertawakannya. Padahal, bukankah itu urusan diriku pribadi?
    Itulah yang kemudian mendasariku membayangkan bahwa setiap manusia punya jatah tawanya masing-masing. Jatah tawa itu disimpan Tuhan di dalam semacam tabung, dan tabung tersebut cukup diselipkan di sela-sela organ tubuh. Tidak ada dokter mana pun yang tahu, tentu saja atas kehendak Tuhan. Seandainya itu memang terjadi, kukira tidak akan ada lagi tawa sia-sia di muka bumi ini.
    Semua orang menertawakanku secara sia-sia. Itu karena mereka tidak tahu yang kualami di kantor dan risiko yang kutelan jika sampai salah hitung angka berbelas digit itu. Mereka sesuka hati mengumbar tawa seakan aku robot betulan yang bisa mereka perbaiki dengan tawa basi itu.
    "Sekali-kali pergi cari cewek, Bung," kata mereka.
    Aku tak pernah memikirkan hal lain secara serius selain pekerjaanku. Urusan apa aku tidak punya pacar, sekalipun umurku sudah menjelang angka tiga, itu bukan soal. Ibu saja tidak pernah mendesak-desakku untuk cepat kawin. Ibu hanya prihatin dengan uban yang satu demi satu mulai bertumbuhan di kepalaku.
    Ibu menyarankan agar aku sesekali tertawa agar uban-uban itu rontok. Ibu tahu aku enggan jika seseorang duduk di belakangku dan ia memegang pinset untuk mencabuti rambut-rambut putih yang tumbuh berpencar di kulit kepalaku. Aku tak suka karena itu membuatku tampak konyol.
    Aku sendiri bukan membenci tawa, dengan kondisiku yang seperti sekarang ini. Di awal bekerja dulu aku pernah tertawa beberapa kali di jam istirahat hanya agar aku tak jadi stress dan gila karena setiap hari menghadap angka-angka. Bahkan, orang pencinta matematika sepertiku saja butuh hiburan dan aku tahu itu.
    Tapi, ketika itu, tertawa membuatku celaka. Aku tertawa dan satu digit angka salah kumasukkan, sehingga bos memarahiku dan membawaku ke suatu tempat. Itu semacam kastil drakula, tetapi aku tahu di Indonesia tidak ada tempat semacam itu. Aku juga tahu mungkin tempat itu hanyalah rumah manusia biasa yang didesain mirip kastil drakula agar tidak ada maling yang berani menyatroni.
    Bos membawaku ke sana dan menghukumku. Memang benar di sana tak ada yang namanya makhluk sejenis drakula, tetapi di setiap ruangan terdapat berbagai macam alat siksa yang membuat otak seseorang kembang-kempis dan mungkin meledak. Ini tidak masuk akal. Memang tidak masuk akal. Dan tidak semua orang patut percaya, tetapi itu memang terjadi. Aku dihukum di salah satu alat dan merasa nyawaku di ujung pedang. Bos bilang, "Jika kamu masih mau hidup, sebaiknya nggak usah tertawa-tawa!"
    Sejak itu, aku berharap semoga Tuhan memang menciptakan tabung khusus guna menampung tawa setiap manusia. Jadi, tawa itu dijatah dan tidak ada orang yang bisa secara sembarangan tertawa lepas. Tertawa harus beralasan: dalam rangka komedi dan tidak membuat seseorang rugi besar.
    Bosku punya keyakinan, setiap angka yang salah, sama dengan selangkah kepada maut. Aku dan semua pegawai ketakutan, dan itulah yang membuat kami akhirnya jadi malas tertawa. Kami mulai merekayasa pikiran tertentu yang membuat kami tenang sebab tidak lagi tertawa, kecuali memang tepat waktunya tertawa, gara-gara mengalami ledekan tidak adil dari orang-orang luar pekerjaan.
    Kami dianggap robot dan tidak gaul dan tentu saja kurang piknik. Suatu ketika aku dan teman-teman sedesa pergi piknik untuk memuaskan hasrat tertawa mereka. Dalam sehari itu aku hanya tersenyum empat belas kali, dan tidak tertawa, sehingga orang pun tidak ragu menganggapku manusia mati rasa. Padahal semua tahu, pada hari itu, salah satu dari kami tak sengaja menginjak tahi sapi dan ia terpaksa pulang bertelanjang kaki. Banyak wanita di tempat wisata tertawa melihatnya yang konyol. Hanya aku yang tidak tertawa.
    Kepada seorang teman yang agak bisa dipercaya, kuungkapkan pemikiranku soal tabung tawa.
    Kukatakan padanya, "Aku sudah membayangkan, sekalipun Tuhan tidak memberi tahu nabi dan rasul bahwa setiap manusia memiliki jatah tawanya masing-masing. Jadi, menurut keyakinanku (dan semoga benar), tawa setiap jiwa disimpan dalam satu tabung yang tersembunyi di dalam tubuhnya."
    Temanku malah menganggapku gila dan menyuruhku resign.
    Kubilang padanya, aku tidak makan kalau resign. Ia pergi dan memintaku jangan menghubunginya lagi. Ia tidak ingin orang-orang di desa mengucilkannya juga, karena menganggap membelaku yang tidak patut dibela.
    Kenyataan ini tidak cuma aku yang mengalami; teman-teman kantorku juga sama. Di satu tempat kami pun berkumpul dan sepakat membangun kelompok anti-tawa, yang isinya orang-orang serius dengan keyakinan: bahwa setiap manusia memiliki tabung tawa masing-masing, dan jika terlalu banyak tertawa selama hidup di bumi, maka suatu hari nanti, apabila masuk surga, ia tidak bisa tertawa, sekalipun di surga ada banyak kelucuan.
    Kami percaya hal itu dan memegang teguh hal itu. Kami terus menghadap belasan digit angka dan tidak pernah keliru. Kami tidak tertawa dan hari ke hari uban di kepala ini semakin bergerumbul. Satu demi satu, Ibu menghitungnya, sampai ada saatnya Ibu mulai malas, sebab matanya menua dan tidak sanggup lagi membedakan uban yang sudah dihitung dan uban yang baru bercokol. Itu karena saking banyaknya uban di kepalaku.
    Bukan cuma dikuasai uban di usia muda, kelompok anti-tawa ini orang-orangnya mulai mengeriput, sebab barangsiapa benci tertawa, maka waktu menarik kuat kulit wajahnya ke bawah. Aku tidak percaya, tetapi suatu hari kusadari wajah kami memang mulai kisut. Ibu cemas tidak bisa punya cucu, karena aku anak semata wayang dan aku belum kawin. Dan beliau pun mulai ke sana kemari mencarikan jodoh untukku.
    Aku tidak peduli lagi omongan orang, dan aku terus mencari uang dengan angka- angka sebagai senjataku. Keyakinan bahwa tabung tawaku kelak akan berguna di surga tetap kujaga. Akhirnya dua bulan kemudian aku menikah dengan janda beranak lima; ia benar-benar sudah tua dan berumur hampir lima puluh, tetapi aku tidak peduli.
    Suatu hari, teman yang dulu menjauhiku, mampir ke rumah dan bertanya kabarku. Ia tampak prihatin melihat rambut di sekujur kepalaku memutih rata. Kukatakan bahwa aku baik-baik saja, dan bahwa aku kini sudah bisa bebas menjalani hidupku yang tanpa tawa, serta tentu saja tanpa mencemaskan omongan orang.
    Temanku meminta maaf. Ia sadari semua ini tidak perlu terjadi. Maksudnya, tidak perlu ada ledekan kepadaku, yang hidup sesuai caraku. Juga tidak perlu ada kecaman yang kelompok anti-tawa lakukan terhadap mereka yang suka menganggap hidup cuma sekadar bermain-main.
    "Bagaimanapun, kita semua butuh saling menghargai," kataku menutup pertemuan sore itu. [ ]

    Gempol, 11 Oktober 2016
 
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri