Skip to main content

[Cerpen]: "Hari-hari Yu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Solopos, Minggu, 23 Desember 2018)

    Yu memberiku sebungkus kue dan pergi setelah orang-orang pabrik pulang. Besok paginya dia kembali menemuiku, tetapi kali ini tidak membawa kue atau apa pun. Gadis itu bilang, "Tidak ada lagi kue."
    Sebenarnya aku sangat lapar. Rasanya perutku tidak berisi apa pun, tetapi Yu tidak dapat kukalahkan. Kami tetap pergi sesuai dengan janji. Kami menerabas ilalang di area belakang pabrik, dan tetap di sana dari menjelang magrib hingga jam tujuh malam.
    Yu sudah kukenal selama lima tahun. Dulu Yu adalah bulan yang indah dan pucat, yang tak mungkin kuajak bicara. Yu adalah segala sesuatu di luar angkasa, sedang diriku adalah sebutir kerikil di kandang sapi. Tapi, sebuah kejadian membalik segalanya.
    Aku tidak perlu cerita kejadian apa itu. Lagi pula, semua sudah tidak lagi penting. Yang terpenting adalah: Yu dan aku dapat bertemu. Tidak ada yang tahu pertemuan ini, tentu saja, kecuali beberapa orang dari pabrik yang sudah begitu kukenal. Orang-orang ini sejak dulu gemar menggangguku. Hanya dengan uang mereka bisa kubungkam. Satu kali kubayangkan uang-uang yang kusimpan dalam celenganku bakal habis, dan jika itu yang terjadi, aku tidak tahu harus berbuat apa.

    Yu kerap menenangkan, "Tidak perlu ribut masalah uang!"
    Yu memang anak orang kaya. Sampai sekarang bapaknya disegani di mana-mana. Tapi, semua tahu kalau bapak Yu sudah jauh berbeda sejak lima tahun lalu. Suatu hari anaknya tidak kunjung pulang dari sekolah. Sampai larut malam obor-obor digiring ke sana kemari. Teriakan demi teriakan dilantangkan. Yu tidak juga ketemu. Pagi-pagi, tiga hari kemudian, dia pulang dalam kondisi berantakan. Sejak itu, banyak yang percaya Yu sudah gila.
    Aku tidak percaya Yu gila. Buktinya dia bisa kuajak bicara, meski awalnya aku tak yakin. Aku beranikan diri saja, karena pernah kudengar seseorang bilang, jika sejak hari itu, tidak lagi ada yang mau pada Yu, walau cantiknya luar biasa.
    "Hanya orang gila yang sudi jadi suaminya," tukas yang lain.
    Aku tidak berpikir semua yang terjadi adalah salah Yu. Insiden itu jelas bukan yang dia inginkan. Bukankah orang-orang justru harus mengejar dan menangkap dan secara serempak mengadili bajingan busuk yang membuat hidup Yu berantakan? Kudengar dia sudah kabur jauh, ke luar kota, bahkan ke luar pulau. Tetapi, jelas yang salah hanyalah lelaki itu.
    Yu yang tidak salah, tetapi merasa dikucilkan, mulai mencari rutinitas baru. Kalau dahulu Yu adalah bulan indah dan pucat yang sulit kujamah, mulai kali itu dia itu bunga yang dapat dipetik oleh siapa pun. Dan, dengan memberanikan diri, kupetik bunga itu di suatu pagi yang hujan dekat sungai. Tidak ada saksi, selain Tuhan dan malaikat dan para setan, bahwa di antara kami sedang tumbuh sesuatu.
    Bunga itu kupetik dengan kata-kata yang biasa saja. Yu menyambutnya seakan aku adalah orang yang luar biasa. Tubuhku yang bau sapi, karena sehari-hari mengurus sapi- sapi milik Haji Sanapoen, tidak membuatnya mundur.
    Yu malah mengandengku erat dan bilang, "Ayo, pergi."
    Sejak itu kami mendapatkan tempat mengobrol yang asyik dan jauh dari peradaban. Seakan-akan manusia lain di muka bumi berjarak ribuan mil jauhnya dari kami. Tak ada sekat apa pun sebagaimana dulu. Yu bahkan tak menyinggung sedikit pun soal apa pun yang pernah dia dengar tentang diriku yang kerap jadi korban pelecehan para pemuda lain di desa. Atau barangkali dia tak pernah dengar? Siapa juga diriku, kan?
    Keadaan ini membuatku melambung ke angkasa. Kubayangkan sekarang bulan itu telah ada di tanganku. Dan aku terbang untuk menggapainya. Aku telah terbang setinggi ini dan tak ada yang dapat memandangku sebelah mata. Kedua sayapku telah tumbuh di sini dan akan tetap berada di sini sampai kiamat. Yu memberiku sesuatu yang belum ada di garis kehidupanku. Yu memberiku cinta.
    Kami bercinta hampir setiap hari, tentu saja, dan tidak ada yang tahu. Sejak awal, aku sendiri agak terpesona dengan perubahan drastis dalam perkara yang dahulu selalu kuimpikan saja. Dan begitu sadar aku dapat menggenggamnya, aku tak ingin itu direbut begitu saja entah oleh siapa dan dengan cara yang bagaimana. Maka, kupikir, sebaiknya ini dirahasiakan saja.
    Yu tidak ambil pusing atas usulku untuk merahasiakan pertemuan kami. Percintaan di tempat mengobrol itu juga terus berlangsung tanpa membuatnya terlihat bosan. Suatu ketika, buruh-buruh pabrik yang sejak lama jadi musuhku, kebetulan berjalan melintasi kawasan rahasia kami. Mereka memergokiku, tetapi tak berani lagi berbuat kurang ajar setelah kuacungkan golok dan kukatakan: "Bahwa setiap dari kalian bisa saja mati oleh ini!"
    Apa yang orang-orang ini katakan?
    "Tidak menyangka kamu bisa begini juga. Oh, tidak, Bung. Tidak ada yang berniat mengganggumu. Teruskan saja."
    "Ya, teruskan saja."
    "Teruskan."
    Mereka pun pergi begitu saja. Ternyata urusan ini tidak selesai sampai di situ. Tak berapa lama, orang-orang ini kembali dan mengancam akan membongkar kebejatanku di depan bapak Yu. Semua tahu, bapak Yu yang kaya, punya kenalan di mana-mana. Untuk menggasak habis nyawa orang, hanya perlu menyuruh siapalah. Jika mereka tahu aku menjalin hubungan dengan Yu (yang kabarnya harus terus dirawat agar suatu hari nanti bisa sembuh) dengan cara begini, bukan tidak mungkin aku bakalan mati.
    Ketika Yu dengar keluhanku, dia cuma bilang, "Bayar saja mereka."
    Ketika akhirnya uangku di celengan nyaris habis karena orang-orang sial ini terus mengancamku, kupikir ada saatnya aku harus berbuat sesuatu. Yu tidak mungkin secara rutin mencuri uang bapaknya tanpa ketahuan untuk membungkam para buruh yang suka menggangguku itu.
    Kucoba untuk mengurangi rutinitas rahasia kami dan menggantinya dengan makan bersama. Harapanku kebiasaan baru itu akan membawa hubungan kami ke sesuatu yang lebih jelas. Aku merasa mungkin ini sedikit gila, tetapi sudahlah. Bapak Yu pasti sedia menerimaku apa adanya, mengingat semua yang menimpa anak gadisnya. Jika itu dapat terjadi, aku tak perlu takut ancaman-ancaman siapa pun, dan aku dapat terus bersama Yu sepanjang waktu sebagaimana yang selalu kami inginkan.
    Awalnya, Yu setuju. Kami makan kue. Kadang nasi. Semua yang membawa adalah Yu. Aku mana punya makanan enak? Yu membawanya dari rumah untuk kami berdua. Lama-lama, dia bosan juga dan terlihat tidak senang. Bulanku yang menjelma bunga di permukaan bumi, perlahan dan pasti menunjukkan gelagat untuk kembali ke masa lalu. Aku tidak ingin itu terjadi.
    "Tidak ada lagi kue!" begitu Yu berkata.
    Aku hanya pasrah dan mengikutinya ke tempat biasa kami bersatu. Kami bersatu di bawah pohon raksasa yang tak begitu jauh dari hutan. Kami bersatu di sana setelah tiga minggu lamanya tidak berbuat apa-apa selain makan berdua.
    Penyatuan ini, rasanya membawaku kembali ke masa-masa awal kami dekat. Aku dan Yu menganggap semua manusia di dunia ini bahkan mulai lenyap satu per satu. Tiap wajah memudar di udara dan kami hanya tinggal meniupnya saja agar mereka buyar dan tak lagi memberi hambatan apa pun pada kesenangan kami berdua. Kami bisa berlari ke sana kemari, ke sepanjang jalanan di desa ini dan meniup setiap orang, agar mereka tak lagi ada di muka bumi, lebur dan hilang, bagai debu dalam badai. Khusus untuk mereka yang kerap mengancam akan membongkar kelakuan kami, debu-debu dari kehidupan mereka akan kami simpan dalam botol bekas wadah bensin. Kemudian kami larungkan ke sungai biar mereka terkurung di dalam sana hingga kiamat. Sungguh sebuah hiburan yang menyenangkan jika memang itu yang terjadi.
    Sayangnya, tak ada yang seperti itu.
    Kesenangan atas penyatuan yang kembali terjadi ini kembali bubar oleh kelakuan para buruh yang kerap menggangguku. Mereka bertiga, sedang aku hanya seorang. Pada sore itu, mereka membawa ponsel dan menyuruhku untuk meneruskan saja apa yang tak pernah kulakukan selama tiga minggu belakangan.
    "Teruskan saja, Bung."
    "Ya, teruskan."
    Mereka tidak juga pergi. Yu berontak dan berlari ke dalam hutan dengan baju yang tak terkenakan sempurna. Aku ngamuk dan melempari mereka dengan batu, ranting, apa pun yang dapat kutemukan. Orang-orang ini menggila dan mengepungku. Mereka lalu mulai menendangiku, menggasakku, meludahiku, karena tidak lagi memberi uang. Tak ada lagi kelonggaran, begitu kata mereka.
    "Biar bapaknya lihat kelakuanmu di ponselku!" kata salah satu dari mereka.
    Aku tidak tahu apa yang membuat leherku seketika merinding. Aku juga merasa di sekujur badanku seseorang menuangkan air dingin. Aku bangkit dan meraih golok yang selalu kusimpan dekat bajuku di celah pepohonan. Golok itu pun bekerja. Aku juga ikut bekerja. Alam bekerja.
    Cahaya redup, lalu gelap berkuasa.
    Darah membasahi beberapa bagian tubuhku, tetapi aku tidak terluka. Ke mana Yu pergi? Aku harus segera menemukan Yu dan mengajaknya pergi sejauh mungkin dari sini. Aku tidak bisa hidup tanpanya. Dia juga pasti tidak bisa hidup tanpaku. Sekuntum bunga bernama Yu sudah seharusnya dirawat dan dijaga sebaik mungkin. Jangan dilepas dan jangan pernah lepaskan. [ ]
   
    Gempol, 16 November 2018

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya Museum Anomali (Unsa Press, 2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017), dan novel Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri