Skip to main content

[Cerpen]: "Perjaka Tua" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Simalaba Online edisi 21 April 2018)
 
    Sekaya apa pun Han, tidak sekali-kali seorang perempuan ia peristri. Di kepalanya telanjur terpajang tulisan: bukan untuk dibeli. Betapa tidak berpikir sekonyol itu, kalau bukan saking banyaknya telepon masuk semenjak sang bapak, dengan penuh emosi, menempel selebaran bergambar pas foto beserta nomor ponsel Han tadi pagi. Seakan- akan ia dijual. Seakan-akan ia benda mati.
    "Saya bukan barang dan saya manusia," katanya penuh ketenangan.
    Bapak yang keras kepala tambah muak mendengar. Sedari tadi ponsel di atas meja bergetar dan bergetar, tetapi Han tak sekali pun tergerak. Setidaknya menjawab sepatah dua patah kata. Alasannya, saya tidak kenal. Dan bapaklah yang selalu mengangkat dan mendorong Han agar mau bersuara, sekadar menyahut meski sedikit. Usaha yang sia-sia, karena Han tetaplah Han.
    "Mau sampai kapan?" Kali ini Ibu menimpali. Raut kusutnya, makin kusut melihat kegemingan putra semata wayang bagai arca di suatu gunung keramat yang tidak boleh diganggu gugat eksistensinya.
    Han masih dalam posisinya. Tidak ngotot, tidak membantah. Diam dan diam saja.
    Siang ini sudah ketiga puluh lebih nomor antah berantah melakukan panggilan masuk dan Han enggan membalas. Namun, sebagai anak yang bukan durhaka, ia tidak lantas menendang bapaknya yang tua itu hingga terjungkal. Ia diam saja dan memasang telinga baik-baik menangkap semua tumpahan amarah bapaknya. Semua, tak terkecuali. Toh esok nomor ponsel baru bisa dibeli.
    "Saya akan hubungi semua rekan bisnis dan kenalan. Dan saya berjanji tidak lagi memberi nomor baru itu pada Bapak," pikirnya mantap.
    Dalam usia nyaris kepala empat, dengan tekanan ibunya yang seumur hidup hanya sekali melahirkan bayi, Han geming di singgasana. Ia tidak risau pada masa depannya, kecuali sesekali cemas akan kesehatan sang bapak yang punya penyakit jantung. Kalau dilawan dengan keras, bisa mati cepat. Tapi, Han sendiri percaya, bahkan tanpa ia lawan pun, saat ini Bapak juga menjelang tiada.
    "Kamu tidak kasihan sama Bapak, ha?!" Suara lelaki tua itu ia dengar putus asa. "Tidak ada alasanmu yang masuk akal. Kekayaan macam apa yang kau tunggu? Bisnis jenis apa? Kemapanan yang bagaimana? Apa yang kau putus asakan dari-Nya? Apa yang sesungguhnya kau cari?"
    Andai saja Han sanggup menjawab, mungkin dunia tidak akan rumit. Ia tidak perlu memajang tulisan bukan untuk dibeli di otaknya—yang ia bayangkan akan terlihat amat terang di mata tiap perempuan yang menyukainya—dengan kesal tertahan di dada tentu. Andai saja Han sanggup.
    Persoalan simpel: ia takut orangtuanya kecewa. Mungkin itu membikin keduanya mati sekaligus, dan ia akan bersedih. Dua pukulan telak di waktu bersamaan. Ia belum siap dan tidak siap. Han ngeri membayangkan kalau suatu pengakuan jujur ia jabarkan sedetil-detilnya, lalu ia pamit karena lelah, maka keesokan harinya ia dapat telepon bukan dari nomor antah berantah, tapi nomor rumah orangtuanya. Dan sang pembantu mengabarkan, "Bapak dan Ibuk sudah tidak ada, Den!"
    Yang demikian itu akan membuatnya kesepian. Sangat kesepian.
    Han menepis pikiran itu jauh, sejauh angan membina jalan baru pelengkap hidup: pernikahan.
    Sebenarnya lama ia lupakan keinginan itu. Ia bertekad mengubur jauh harapan memiliki istri, apalagi anak. Ia membayangkan, untuk membuat bapak ibunya bahagia di masa tua, ia bisa mengadopsi anak dari panti asuhan manalah. Setiap bayi adalah suci, dan bagi Han itu bisa menambal kekurangan yang bapaknya selalu katakan, "Kami tidak sabar ingin gendong cucu!"
    Kadang-kadang, di tengah kesumpekan, Han tertidur dan ia bermimpi datang ke tempat yang aneh. Di sana ia melihat bayi-bayi dipajang di etalase. Bayi-bayi yang baru lahir dan hidup. Bayi-bayi yang dimandikan sampai besih, dibungkus handuk, dibedaki sampai wangi, diberi label kecil pada jempol kakinya bertuliskan tanggal lahir beserta harga.
    Ah, apa mungkin ada yang seperti itu?
    Tapi, Han lebih suka bila ia berada di mimpi lain, yakni di sebuah supermarket di mana rak-rak di sana menjual apa yang bapak dan ibunya mau. Satu jenis barang yang sangat berharga—yang harusnya tidak perlu ia beli dengan harga yang sangat mahal di dunia nyata, andai ia mau. Tapi, apa daya? Sebuah mimpi terkadang jauh lebih nikmat daripada kenyataan. Dan sebuah kenyataan tidak harus selalu kau percaya.
    "Sepulang kerja, saya akan ke sana," pikirnya. "Dan saya akan beli dua atau tiga unit barang itu. Tentu dengan warna yang berbeda-beda, dan spesialisasi yang berbeda pula. Biar di rumah Bapak dan Ibu tidak suntuk. Biar rame."
    Ah, apa mungkin ada yang seperti itu?
    "Mungkin saja," sahut Han semangat, seolah-olah ada suara batin yang entah dari mana, yang tahu-tahu datang dan mengetuknya agar berubah. Dalam mimpi kedua, di swalayan aneh itu, Han mendapati sekelilingnya berdiri rak-rak berisikan foto-foto para perawan yang cantik, muda, dan manis. Entah berapa ribu, entah berapa juta perawan. Ada berapa banyak jiwa manusia telantar di luar sana, yang butuh naungan, butuh kasih sayang, butuh kehangatan, butuh masa depan... butuh uang?
    Han tidak akan menghitung. Selain karena ia bukan petugas sensus penduduk, ia tahu perbuatan itu hanya akan sia-sia, kalau tidak disebut melukai hatinya. "Mungkin," pikirnya suatu waktu, "mimpi jenis ini datang karena aku muak Bapak bersikap seolah aku barang dagangan."
    Han menunduk sedih, tetapi tak menangis. Sekali lagi, ia bukan sedih akan dirinya. Ia hanya mencemaskan Bapak dan Ibu. Dalam hampir setiap pertemuan keluarga, Han lebih banyak diam. Bila ada kesempatan, ia mencari tempat sepi untuk sekadar merokok, menjauh dari tanda tanya-tanda tanya yang selalu keluar dari mulut setiap orang. Seakan ada cetak biru di setiap bibir, sehingga bila suatu saat nanti kau dapati seseorang belum berjodoh, maka kau dengan atau tanpa rasa usil mulai bertanya: "Kapan kawin?"
    Maka Han selalu menikmati mimpinya. Karena dalam mimpi itulah ia bisa patuh pada aturan kehidupan. Hanya di sana ia bisa menikah. Ia bisa membeli berbagai jenis perempuan sesuai warna kulitnya, juga bisa memilih spesialisasi tertentu, misalnya yang pandai memasak dan pandai membuat anak.
    Usut punya usut, mimpi-mimpi itu membuat Han justru terjaga dalam kewarasan. Ia tidak menjadi gila, meski desakan orangtua—terutama Bapak—agar segera menikah sebelum ulang tahun yang keempat puluh, terus dilancarkan. Desakan itu serupa serangan dalam suatu perang jangka panjang. Seperti perang antara Jepang dan Amerika di Filipina pada masa Perang Dunia Kedua. Tekanan Bapak dan Ibu itu serupa korps pasukan kamikaze yang terus menyerbu, tak peduli membuat rugi diri sendiri.
    "Saya tahu, andai saya menikah, Bapak dan Ibulah yang akan rugi," batin Han selalu.
    Maka ia menjawab penundaan ini sebagai hanya belum ada yang memikat hati. Masih banyak waktu, tutup Han selalu di setiap perdebatan. Waktu untuk apa, sahut Bapak sengit. Waktu memperbaiki masa depan saya, jawab Han datar. Selalu dan selalu begitu sampai Bapak muak dan Ibu bagaikan memeras air mata darah.
    "Masa depan," kata Bapak dengan wajah putus asa dari jenis paling buruk, "hanya bisa kau dapat dengan caraku!"
    "Itu menurut Bapak. Saya yang lebih tahu soal diri saya dan saya yang berhak memutuskan. Bukankah saya yang menjalani hidup saya, bukan Bapak?"
    Sewaktu ia menawarkan akan mengadopsi seorang bayi dari panti asuhan, Bapak menolak tegas. Menurutnya, bayi-bayi itu bukan seperti yang ada dalam mimpinya selama ini. Bayi adalah darah daging, sesosok makhluk yang berasal dari benda kecil di dalam tubuh manusia yang disebut benih. Bayi adalah sesosok makhluk hasil kerja sama dua insan yang saling bertaut. Hasil perkawinan.
    "Yah, memangnya Bapak kira bayi-bayi di sana bukan anak manusia. Mereka juga manusia toh, Pak," jawab Han santai, tetap tidak kasar dan tidak membantah. Tetapi Bapak justru marah dan menganggap Han anak durhaka. Dengan napas ngos-ngosan, Bapak melangkah masuk ke kamarnya. Ibu menatap Han penuh kebencian.
    "Sadarlah, Nak. Dulu kau ada karena kami menikah. Kalau kami tidak menikah, boleh jadi kau lahir dari rahim seorang pelacur!"
    Kaget juga Han mendengar itu, tetapi sepenuhnya ia paham. Sebagai orangtua, Bapak dan Ibu wajar menginginkan dirinya segera kawin dan mempunyai anak. Hidup bahagia melengkapi kesuksesannya selama ini. Han sudah kaya. Bisnisnya sudah maju. Itulah dasar yang selalu dipegang Bapak dalam serangan yang ditujukan pada Han.
    Namun, tidaklah Han berubah prinsip. Sekaya apa pun, tidak sekali-kali dia peristri perempuan. Tidak peduli cantik. Tidak peduli manis. Tidak peduli muda. Tidak peduli perawan. Satu yang ia takutkan: kedua orangtuanya justru kecewa dan mati mendadak dalam kondisi yang sangat memalukan.
    "Mengertilah, Bu, saya hanya ingin berbuat yang terbaik," bisik Han. Tetapi Ibu sudah pergi ke belakang, meninggalkannya yang kini mulai merasa sangat berdosa karena tak bisa membuat senang hati orang tua.
    Andai saja, sekali lagi, andai saja, Han bisa menjawab. Oh, ya, kalau saja Tuhan memberinya kemampuan membaca masa depan, misalnya memberi Han izin melihat apa yang terjadi seandainya pengakuan itu ia lepas serupa membuka sangkar burung liar nan langka ke alam bebas. Apakah terjadi kematian? Apakah Bapak dan Ibu menderita tekanan batin yang lebih dalam, lantas meninggal?
    Sayangnya Tuhan tidak memberi yang semacam itu pada manusia. Tuhan hanya memberi ujian. Dan ujian bagi Han—ujian terberat—ketika di masa muda sebuah kecelakaan menimpanya. Ia selamat dan tidak terluka parah, kecuali pada bagian tubuh yang kemudian membuatnya selalu bermimpi bisa membeli bayi-bayi di etalase atau foto perempuan bakal istri di sebuah swalayan... meski dalam mimpi.
    "Saya cuma takut, Pak, Bu. Saya takut kalian malu. Setampan apa pun saya, apalah guna bila hanya uang yang saya punya. Hanya uang!" [ ]
    Gempol, 11 September 2015 - 12 Maret 2018

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karyanya tersebar di berbagai media. Buku terbarunya Museum Anomali (Unsa Press, 2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017), dan novel Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri