Skip to main content

[Cerpen]: "Kota Mati dan Pembunuhnya" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tribun Jabar edisi Minggu, 22 Juli 2018)
 
    Seorang pemuda berjalan sempoyongan menuju suatu kota mati. Tidak ada apa pun yang dia bawa kecuali tas plastik berisi beberapa lembar baju dan satu buah buku. Di kejauhan, ada titik kecil bergerak-gerak dan tertangkap oleh bola mata keruh si pemuda yang agaknya belum makan sejak dua hari lalu. Melihat itu, semangatnya berkobar dan keputusan pun diambil: pergi ke sana dan mencari pertolongan.
    Tentu saja menuju titik kecil yang dipisahkan jarak beberapa ratus meter tidaklah semudah yang dulu pemuda itu lakukan ketika situasi masih normal. Perang merenggut banyak hal, termasuk situasi sesederhana berjalan kaki menuju rumah makan cepat saji. Dulu rumah makan tempat biasa dia pergi mencari nafkah masih lebih jauh dari jarak yang kini harus ditempuhnya demi bantuan.
    Berjuang sedemikian rupa, dengan sisa tenaga yang ada, si pemuda tampak kecewa ketika tiba di tempat tujuannya, yang ternyata hanyalah sebukit sampah. Titik kecil tadi berasal dari sepotong cermin yang dimain-mainkan oleh bocah kurus kering yang sama tidak berdayanya dengan dirinya. Bocah itu berbaring begitu saja di atas berhelai-helai kardus bekas wadah mie instan, susu formula, dan segala macam benda rumah tangga yang pastinya telah bertahun-tahun tidak lagi diproduksi.
    Kalau tidak salah ingat, dua belas tahun lalu terakhir kali pemuda itu pergi bekerja ke salah satu rumah makan cepat saji, yang mana sehari-hari dia hanya bertemu dengan para pelanggan dan mesin kasir dan tak ada seorang pun yang peduli padanya. Bahkan tidak bagi para pengunjung yang terlihat paling kesepian dan merana seperti dirinya.
    Tentu si pemuda masih ingat bagaimana kemudian dia hengkang dari tempat situ; bagaimana seseorang membujuknya ikut berjuang demi tujuan yang terlihat utopis dan bahkan sinting; demi sebuah cita-cita yang dia sendiri bahkan tak terlalu paham betapa cita-cita macam itu dimulai dari kepala siapa. Yang dia tahu adalah ucapan orang yang membujuknya, yang berpenampilan begitu meyakinkan, tentang masa depan yang akan gemilang jika tujuan mereka tercapai.
    "Hidupmu tidak akan semenyedihkan ini. Kamu akan dicintai banyak wanita!"
    Begitulah yang kerap dia dengar.
    Maka, pemuda itu berangkat. Pergi meninggalkan segala-galanya, yang tak terlalu berarti. Pergi meninggalkan kamar kost yang busuk, meja kasir kelabu, para pelanggan yang tidak tahu diri dan tidak tahu perasaan, atasan yang tak peduli soal keberadaannya, rekan-rekan yang saling sikut demi kepentingan-kepentingan. Apa pun dia tinggalkan di belakang dan pergi begitu saja bersama lelaki asing yang tempo hari datang ke rumah makan tersebut demi memesan secangkir kopi dengan wajah yang bersahabat. Pada saat itu, untuk pertama kali si pemuda mengira dia mendapatkan orang yang benar-benar menganggapnya teman.
    Tentu saja, tanpa keluarga dan tanpa banyak teman, dia pergi nyaris tanpa beban. Di tempat yang dirahasiakan, seseorang yang merekrutnya, yang telah dianggapnya jadi sahabat sendiri tadi, membawanya kepada orang-orang yang sama. Orang-orang dengan hidup yang tidak membuat mereka puas. Orang-orang yang ingin berubah tetapi tidak berdaya dan tidak mengerti apa yang harus diperbuat atau bahkan tidak mau tahu harus berbuat apa demi mengubah apa pun yang perlu diubah.
    Si pemuda sendiri sadar dia kerap kali mengangankan sesuatu yang mustahil demi hidupnya sendiri. Sesuatu semacam permainan sulap dengan kelinci dan topi sebagai properti. Sesuatu yang datang begitu saja tanpa dijelaskan hubungan sebab-akibat yang panjang. Dan orang-orang baru di sekitarnya pun demikian. Dengan motivasi yang sama persis, mereka digiring ke bangku-bangku kursus dengan guru-guru yang luar biasa keji di mata pemuda itu, sebab mereka diajarkan membunuh siapa pun yang tak mempunyai tujuan sama dengan mereka. Pada awalnya si pemuda berusaha menyangkal kondisi ini; semuanya begitu aneh baginya, tetapi keberadaan sahabatnya, yang mengajaknya pergi ke tempat baru ini, membuatnya luluh. Tak butuh waktu lama baginya dan orang-orang baru lainnya untuk segera menjadi murid-murid andalan di sekolah aneh tersebut.
    Entahlah, tahun-tahun yang berlalu sesudah itu tidak terlalu dikenang oleh pemuda ini. Dia hanya mengerti pada fase itu ada banyak kematian dan darah dan hal-hal yang kini membuat dirinya menyesal. Tentu, saat itu, dia tidak menyesal. Dia bangga dan tak jarang malah saling berlomba-lomba dengan teman seperjuangannya untuk membunuh lebih banyak orang, bahkan meski secara logika, para korban mereka tidak benar-benar bersalah.
    "Semua ini demi tujuan mulia. Demi cita-cita lama kita yang harus menang di atas segalanya!" begitu selalu doktrin yang didengar si pemuda, sehingga dia kembali pergi ke medan perang. Pergi ke arena yang dibangun oleh golongannya sendiri dan menebas sebanyak mungkin nyawa di sana.
    Tidak terhitung berapa banyak tempat yang mereka tuju, tetapi pada akhirnya dia dan teman-teman seperjuangannya kembali ke kampung halaman, ketika politik di sana sedang bergejolak. Orang-orang haus kuasa yang busuk hatinya, yang di samping bahu mereka bertengger setan-setan terkutuk, membawa golongannya dan terjadilah perang itu. Perang besar yang pada hari ini justru meluluhlantakkan segala sesuatu yang tersisa dari masa lalunya.
    Memang, si pemuda sangat membenci masa lalunya. Dia tidak pernah berharap ada di bumi ini hanya untuk memandangi orang-orang berpacaran sedang menikmati waktu indah mereka di meja-meja makan, atau hanya untuk menatapi orang-orang kaya raya bisa membeli atau membuang apa pun sebanyak yang mereka mau. Tetapi, tidak dapat dimungkiri betapa dia rindu kampung halamannya. Betapa penjelajahan bersama para rekan seperjuangan tadi membuatnya terkadang ingin pulang, namun tidak pernah bisa benar-benar mengucapkan itu pada siapa pun. Jauh di lubuk hatinya terjadi pergolakan besar dan pada akhirnya pergolakan itu pecah setelah perang saudara di kampung asal- muasalnya meledak.
    Kota-kota modern dengan segera hancur menjadi kota mati. Orang-orang yang tak berdosa tewas sia-sia. Anak-anak kehilangan orang tua. Mereka yang membawa mimpi dan cita-cita untuk kehidupan masing-masing harus menjadi gila karena segalanya telah amblas ditelan bom dan peluru. Dan si pemuda jelas tahu betapa semua ini tak lain tak bukan adalah akibat dari apa yang golongannya perbuat.
    Pada suatu hari setelah segalanya kian memburuk, si pemuda bertanya pada sosok yang dia jadikan sahabat, yang dahulu membawanya terlibat dalam urusan biadab ini, "Kenapa kita bunuh dan hancurkan orang-orang yang bahkan tidak merusak kehidupan orang-orang lain? Kenapa kita habisi mereka, padahal kita tahu mereka tidak pernah memerangi kita?"
    Jawaban yang dia terima lagi-lagi sama: "Karena mereka berbeda!"
    Sejak itu, si pemuda pergi. Dia meninggalkan golongan peneror yang saat ini jelas di matanya terlihat sesat. Dia menyesal dan malu, tapi waktu tidak bisa diputar kembali.
    Lesatan ingatan-ingatan itu tak terasa membuat air matanya menetes. Semua yang ada di hadapannya kini, tentu adalah hasil perbuatannya, tak peduli betapa dirinya tidak lebih dari setitik kecil di antara banyaknya orang-orang sesat macam dirinya yang tidak ada angin tidak ada hujan bernafsu membunuhi siapa pun demi tujuan utopia.
    Bocah itu, yang memegang cermin tadi, tidak berbicara apa pun, meski si pemuda, yang kini tak lagi kuat melangkah, merangkak padanya dan menjawil-jawil pipinya. Si pemuda mengira bocah tersebut mungkin sudah akan dijemput maut; tatapan matanya begitu lain dan kosong dan hanya Tuhan yang tahu apa saja yang bersemayam di balik tempurung kepala kecil hitam kelam itu. Hanya Tuhan yang tahu .... [ ]

    Gempol, 1 Juni 2018

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya Museum Anomali (Unsa Press, 2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017), dan novel Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri