Skip to main content

[Cerpen]: "Bibit Dosa" karya Ken Hanggara

(Dimuat di takanta pada 1 Juli 2018)
 
    Pagi itu Bapak meninggal di kasur. Ketika pelayat berdatangan, aku pergi. Dan ketika aku pergi, orang-orang tidak menahanku. Mulanya aku merasa ada yang tidak beres. Sebulan terakhir Bapak pulang pagi, dan kalau ditanya dari mana, dia tidak menjawab. Lain kesempatan, kubanting piring di depannya. Bapak merespon dengan marah.
    Aku sadar, kalau melawan, aku tidak menang. Tubuhku kecil, dan walau Bapak bilang kemungkinan tubuh ini dulu bisa menjadi tulang belulang, aku tertawa. Bahkan detik ini pun tubuhku tinggal tulang sama kentut.
    Aku anak durhaka, begitulah Bapak menyebutku. Menurutnya, jika seorang anak tidak patuh pada orangtua, bisa dosa, walau bapaknya bejat.
    Di masa lampau, ketika aku masih berseragam dan tak tahu di mana Ibu berada, teman-teman bilang ibuku pendosa. Sedang Bapak, kata mereka, jauh lebih buruk dari pendosa.
    "Bapakmu iblis," tuduh mereka.

    Karena iblis senang membujuk untuk berbuat dosa, dan karena iblis sumber dosa, mereka pun menganggapku bibit dosa. Aku dilahirkan dari hubungan cinta antara dua dosa. Sejak itu aku tidak punya teman.
    Aku sedih dan tidak tahu apa Bapak benaran iblis, ataukah Ibu memang pendosa. Waktu mengajarkanku. Aku tahu semua rahasia itu. Mengurai teka-teki hidupku itu sulit, tapi toh pada akhirnya aku selalu tahu.
    "Kamu belajar di rumah. Bapak ada perlu," pesan Bapak pada suatu malam.
    Aku patuh.
    Waktu itu Bapak tak tahu aku menyiapkan rencana sesuai saran temanku. Aku tidak tahu dari mana temanku tahu. Aku tidak peduli bagaimana dia tahu bapakku melakukan berbagai dosa di luar sana. Yang aku pedulikan adalah kemungkinan soal aku yang benar-benar bibit dosa.
    Di kolong jembatan itu, Bapak tertawa bersama teman-temannya. Seperti sedang ada pesta. Aku tidak menemukan kesan iblis. Di mana iblisnya? Iblis seperti apa? Apa menyerupai manusia? Aku pernah melihat di komik; iblis itu bertanduk dan kulitnya merah menyala.
    Lalu aku ingat, bukankah Bapak juga disebut iblis? Tapi bapak tidak bertanduk dan kulitnya cokelat. Saat aku menerka kesalahan teman-teman di sekolah, beberapa perempuan datang dan gabung bersama Bapak dan kawan-kawannya.
    Satu yang termuda, cantik, dan terlihat serupa malaikat, mendekat lalu memeluk bapakku, mencumbunya sesaat. Diserahkannya beberapa lembar uang kepada Bapak. Hal yang sama dilakukan beberapa perempuan lain. Aku tahu ini buruk. Aku tidak tahu Bapak pacaran. Dan aku juga tahu, perempuan itu bukan Ibu.
    Ini bukan semata soal Ibu, tapi teka-teki yang belum kutahu pangkalnya. Bapak tak cerita siapa ibu kandungku, tapi juga tak mau mencarikanku ibu. Lalu tahu-tahu, malam itu, aku tahu Bapak bersama beberapa perempuan yang memanggilnya dengan 'bos'. Apa bawahan seperti Bapak—yang biasa menyembah para lelaki berdasi yang kerap lewat di depan rumah kami—bisa dibilang bos?
    Teman-teman menyudutkanku. Mereka bilang, walau aku tidak menemukan Ibu di sana, setidaknya aku tahu bentuk dosa itu seperti apa, dan aku juga tahu bahwa aku adalah bibit dosa.
    "Tapi bapakku bukan iblis, dan di sana tidak ada iblis-iblis pengisap darah dan air susu manusia seperti apa yang kalian ceritakan!" bantahku.
    "Bapakmu itu iblis yang menyaru manusia!"
    "Bukan! Bapakku manusia. Dia tidak bertanduk! Juga tidak berkulit merah!"
    "Tidak semua iblis punya tanduk dan tidak semua iblis kulitnya merah, Goblok. Kadang-kadang iblis bersayap seperti malaikat, atau iblis bisa bercahaya seperti wali. Tergantung di mana dia berada. Iblis pintar bermain sulap, pintar menyamar!"
    Kalau iblis bisa mengubah wujud menjadi malaikat, berarti perempuan semalam bisa saja iblis, atau bisa saja malaikat? Apakah iblis dan malaikat punya perbedaan?
    Aku pulang dengan kesal. Bapak tidak cerita di mana Ibu berada. Bapak juga tidak cerita bagaimana dia dapat uang untuk menghidupiku. Sebenarnya Bapak baik, tapi kebaikan itu punya alasan.
    "Besok-besok, kalau sudah besar, Bapak ajak kamu ke kantor. Nanti di sana kerja enak, dapat uang banyak, dapat pacar ganteng," katanya. Tapi aku tidak pernah dengar teman-teman menyebut kantor. Apa jangan-jangan temanku iri karena Bapak kerja di kantor, tidak seperti bapak-bapak mereka yang kuli.
    Pemandangan di kolong jembatan membuatku sulit mencari alasan, misal dengan mengatakan pada teman-temanku yang sirik itu bahwa: "Bapakku pegang komputer, kalau bapak kalian pegang pacul!" Atau begini: "Bapakku uangnya banyak, kalau bapak kalian banyak utang!"
    Hinaan-hinaan itu aku telan, seperti ketika Bapak membawa perempuan muda ke rumah. Dia bilang, kalau aku butuh ibu, aku bisa memanggil malaikat setengah iblis itu dengan emak, mama, mami, ibu, bunda, atau ummi. Terserah aku saja. Tapi aku tidak bisa.
    Ketika kutanyakan apakah aku bisa menghisap air susunya, perempuan itu bilang tidak boleh. Dan ketika kutanyakan apakah dia tahu ibu kandungku siapa, dia jawab: "Tidak penting siapa ibu kandungmu. Yang penting sekarang Mama datang dan kamu jadi anak Mama. Kamu sudah jadi milik Mama dan Bapak. Dan kamu harus patuh kepada kami."
    Aku tak bisa menolak kebaikannya, walau dalam hati berkecamuk bahwa bisa saja perempuan yang mengasuhku sekarang jelmaan iblis, dan bisa saja nanti aku sebagai bibit dosa dididik menjadi lebih dari pendosa ... atau malah lebih buruk dari iblis?
    "Kata siapa pendosa? Kamu milik Bapak yang cantik dan lucu. Kalau sudah besar, banyak bujangan tergila-gila sama kamu!" kata Bapak.
    Aku tidak percaya. Teman-temanku menganggapku bibit dosa sebab keberadaan Bapak di kolong jembatan sudah mereka tahu. Mereka menyebar kabar ke mana-mana, bahwa Rani, anak kandung dari Bos Mundir, adalah anak hasil perbuatan bejat para iblis dan pendosa, yang lahir di sarang kumpulan iblis yang pandai menyaru jadi apa saja.
    Bagaimana mungkin, sementara vonis itu bersarang padaku dan resmi kusandang, masih ada pemuda yang tertarik padaku? Jatuh cinta? Cuih! Bukan, ini bukan soal itu. Hidupku penuh tanya dan aku sangat membencinya!
    Seiring waktu, perempuan muda—atau sesudah ini kusebut Iblis Cantik saja— mulai kasar padaku. Pertumbuhan fisikku yang jauh dari harapan, membuatnya tahu aku hanya akan menjadi benalu dalam kerajaan barunya.
    "Banyak-banyaklah olahraga, minum susu, makan yang kenyang, dan tidur yang cukup. Perawan cantik tidak akan berguna kalau tidak ada yang menonjol di badan!" katanya.
    Sejak kata-kata itu muncrat, aku yakin dia memang iblis. Bapak, sebagaimana yang teman-teman bilang: iblis yang menyaru manusia. Bapak bilang: "Kamu enam belas. Tahun depan Bapak ajak kerja kantoran."
    "Tapi kata Mama aku tidak bisa kerja kantoran karena badanku gepeng!" Kuucap itu dengan kesal. Aku paham maksud Bapak menyembunyikan semua ini, membuang Ibu dari kenanganku, juga mengambil Iblis Cantik untuk mendidikku menjadi lebih dari iblis.
    "Lagi pula aku juga tidak lulus SMP, mana bisa kerja kantoran!"
    "Bisa saja. Nanti Bapak buktikan. Sekarang turuti mamamu. Walaupun gepeng, kamu cantik, Nak."
    "Aku gak mau!"
    "Kalau gak mau, biar Bapak buktikan. Kamu juga bisa menjadi malaikat seperti mamamu, tidak harus membuat badanmu sedikit lebih gemuk!"
    Lalu malam itu aku berdarah-darah. Aku tahu bahwa benar Bapak memang iblis. Dan benar Bapak menghisap darahku. Aku lemas.
    Oleh karena tahu Bapak tak sabar menunggu sampai ada tonjolan di badanku, Iblis Cantik marah. Dia rugi karena tak bisa menghisap sendiri darah di balik celanaku. Darahku sudah diambil Bapak. Dia pergi meninggalkan kami.
    Sejak itu sebulan lamanya Bapak pulang pagi. Aku tidak peduli, tapi aku hanya ingin mencari tahu ibuku. Itu alasan pertanyaanku selama ini. Aku pikir, mungkin Bapak benar mencari Ibu—maksudku ibu yang benar-benar ibu kandungku, bukan ibu setengah malaikat setengah iblis.
    "Ibumu sudah mati!" katanya malam itu.
    Bapak pantas mati sebab Ibu mati. Kalau Bapak mati, tidak ada lagi iblis dalam hidupku. Setidaknya tinggal satu—begitu kata para tetanggaku—yaitu aku. Ya, akulah yang iblis sejati, hasil pertumbuhan sempurna dari bibit dosa masa lalu, lebih buruk dari sekadar iblis.
    Aku tahu, kematian Bapak di kamar cukup membuatku tahu, bahwa di dunia ini, untuk menjadi malaikat tidak perlu menjadi iblis dulu, melainkan hanya perlu mati.
    Pagi itu, Bapak ditemukan mati di kasur. Ketika pelayat berdatangan, aku pergi. Ketika aku pergi, orang-orang tidak menahanku. Mereka tak mau bertetangga dengan iblis. [ ]

    Gempol, 2015 - 2018

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karyanya terbit di berbagai media. Buku cerpennya Museum Anomali (Unsa Press, 2016), Babi-babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017), dan Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri