Skip to main content

[Cerpen]: "Matinya Penyembah Puisi" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Rakyat Sultra edisi Rabu, 19 September 2018) 
 
    Ali Sudarwin pernah mengatakan dalam sebuah diskusi di gedung kesenian di kota kami, bahwa dia akan mati pada umur dua puluh delapan. Pada waktu itu tidak banyak yang menganggapnya serius atau malah tidak ada sama sekali yang menduga bahwa di usianya yang keduapuluh delapan, persis empat tahun setelah ucapan itu dia katakan di diskusi tersebut, dia mati gantung diri.
    Saat mendengar kabar itu, aku sakit dan berbaring sendirian di rumah yang kusewa, sebuah rumah yang dapat sewaktu-waktu roboh saking busuknya. Di sini kurawat diriku sendiri dengan banyak istirahat dan minum air putih, karena tidak ada uang untuk pergi ke dokter.
    Sejak dulu aku percaya Ali Sudarwin tidak bercanda dengan ucapannya itu. Setelah memastikan yang terjadi bukan mimpi, aku membiarkan penelepon berceloteh sendiri di seberang sana selagi kupandangi langit-langit kamar dan membayangkan teman lamaku itu.
    "Sudarwin tidak sedang berpuisi waktu itu," kata si penelepon, Mudakir, yang juga penyair.
    Mudakir sudah berhenti menulis atau membaca puisi, dan berhasil merintis bisnis kuliner sehingga kehidupannya jadi lebih baik karena berlimpah uang. Sejak ia berbisnis, kami jarang bertemu dan tentunya Ali Sudarwin enggan menemuinya, meski dulu aku mengenalnya adalah karena inisiatif Mudakir. Menurutnya, orang yang tidak lagi patuh pada jalan hatinya, tidak lagi berurusan dengan puisi yang sebelumnya menjadi belahan jiwanya, adalah orang munafik.
    Aku tidak sepakat pada apa yang Ali Sudarwin tuduhkan pada teman kami tersebut, karena aku mengerti bahwa hidup di dunia serba susah memang butuh uang. Tidak ada yang tidak bersangkutan dengan uang, kecuali dirimu hanyalah sebutir batu. Sayangnya, baik aku maupun Ali Sudarwin, adalah manusia, yang bukan dua butir batu, yang hidup dan bernyawa dan bernapas serta bisa buang air dan punya perasaan.
    Meski Mudakir tahu dia dijauhi oleh Ali Sudarwin, hubungan yang terjalin dengan diriku masih baik-baik saja. Malahan kadang-kadang, dariku, dia tahu kabar terbaru soal Ali Sudarwin. Itu terjadi sampai beberapa bulan lalu. Sejak itu aku tidak tahu di mana si Sudarwin menetap; dia juga tidak lagi terdengar mengikuti acara-acara bedah buku atau pembacaan puisi. Ali Sudarwin menghilang begitu saja.
    Begitu mendengar kabar terbarunya, ternyata dia sudah mati gantung diri. Mudakir yang menyampaikan itu padaku dan aku tahu, dalam nada omongannya, tidak ada rasa sedih sedikit pun.
    Jujur saja, aku sendiri tidak terlalu sedih, meski sadar betapa Ali Sudarwin adalah teman lama dan kami sering sama-sama bercanda dengan rasa lapar. Tidak tahu kenapa. Boleh jadi karena lama-lama aku bosan dengan sikap Ali Sudarwin yang terlalu pesimis dalam memandang berbagai hal.
    Aku tahu Ali Sudarwin tidak merasa iri pada kesuksesan orang lain, jika saja status kesuksesan itu muncul karena ukuran-ukuran bersifat material. Bagi teman lamaku ini, sukses tidak diukur dari materi. Sukses adalah masuk surga dan bisa mati dengan cara tersenyum dan dapat membuat puisi yang memengaruhi hidup orang-orang di mana pun mereka berada.
    Itulah sukses yang paling sejati di mata Ali Sudarwin. Di luar itu sama sekali tidak penting.
    Hanya saja Ali Sudarwin suka menyinyiri segala sesuatu yang bahkan dirinya saja belum tentu paham. Misalnya, dia membicarakan Mudakir di depanku begitu tahu pria itu berhenti berurusan dengan puisi hanya agar bisa fokus mengurus bisnis.
    Kata Ali, "Mudakir itu munafik! Bukan cuma itu, melainkan juga picik dan licik! Dulu saja dia bilang bakal berpuisi seterusnya sampai mati. Eh, tidak tahunya sekarang malah berhenti dan kalah dengan benda yang disebut uang!"
    Aku diam saja mendengar kekesalan Ali Sudarwin, tapi tidak ikut setuju padanya, sebab aku tahu Mudakir tidak sehebat Ali Sudarwin dalam mengarang kata-kata indah. Bahkan dia kalah jauh dariku yang sering kali dianggap bagian paling tidak penting dan tidak terlihat di panggung sastra daerah kami. Puisi-puisiku itu masih bisa menghasilkan uang, walau sedikit. Sedang Mudakir tidak. Ia sudah bertahun-tahun mencoba membuat puisi, tapi tidak satu pun berhasil meski sekadar dimuat di media tak berhonor.
    Mudakir memiliki seorang adik dan ibu sakit-sakitan, sementara statusnya sebagai mahasiswa tingkat akhir tidak membuatnya tenang kalau hanya berpuisi sesudah lulus. Tidak mungkin dia mengangkat posisi keluarganya ke arah yang lebih pasti jika tidak berubah.
    Jadi, kurasa, ketidaksukaanku pada Ali Sudarwin adalah karena sikap sinisnya pada teman sendiri tanpa melihat kondisi yang sebenarnya. Tentu saja dia juga tahu apa yang menimpa Mudakir. Aku tidak tahu bagaimana pikiran orang-orang lain tentang penyair teman lamaku tersebut, karena nyatanya bukan hanya Mudakir yang jadi korban ucapan sinisnya, melainkan juga entah berapa banyak orang.
    Kupikir, mendengar kematian Ali Sudarwin, orang-orang yang mendapat nyinyiran Ali Sudarwin tidak akan merasa sedih, tetapi aku sendiri tidak tahu. Yang kutahu hanya bahwa dulu di panggung diskusi, empat tahun yang lalu, ucapan Ali Sudarwin perihal mautnya yang datang pada umur duapuluh delapan, dianggap oleh sebagian besar orang di sana sebagai ungkapan puitis.
    "Maklum, dia menyembah puisi!"
    "Dia satu-satunya yang paham puisi di kota tercinta kita!"
    "Oh, pasti."
    Kata-kata itu hanyalah segelintir dari sekian banyak kalimat sinis yang menyerang balik pada sang tukang sinis. Ali Sudarwin hanya berdiri murung ketika mendengarku berbicara soal orang-orang yang membicarakannya tentang ucapannya malam itu. Aku mencoba tertawa waktu itu, tetapi dia tidak tertawa dan menganggap jika usahaku demi membuat ini terlihat sebagai candaan, sangatlah gagal.
    Ali Sudarwin tidak banyak bicara sejak itu. Dia hanya terus berpuisi dan tetap setia pada rasa lapar yang menyerangnya nyaris setiap hari. Dan makin kemari, aku semakin percaya bahwa ucapannya itu memang benar adanya. Aku hanya tidak menyangka saja jika ucapan itu dia wujudkan dalam usaha gantung diri. Tadinya aku hanya memikirkan tentang seorang penyair yang punya firasat tertentu tentang akhir hidupnya. Selama ini, aku tahu Ali Sudarwin tidak pernah mengeluh tentang puisi dan hanya mengutuk sana- sini, entah siapa pun, yang menurutnya tidak mendukung jalannya kehidupan sarat puisi yang mesti dilestarikan sampai kiamat nanti. Apa yang membuatnya nekat gantung diri?
    Aku mungkin tidak terlalu sedih karena kematiannya, karena Ali Sudarwin sendiri juga pernah menganggapku munafik lantaran mau saja diminta menulis lirik lagu oleh seorang teman dengan bayaran yang lumayan. Menurutnya, puisi yang diubah menjadi lirik lagu tidaklah sesakral ketika puisi tersebut baru saja ditetaskan dari kepala penyair yang membuatnya. Aku tidak peduli pada pendapat apa pun. Aku senang saja jika puisi buatanku yang sederhana itu dijadikan lagu dan aku dibayar sehingga isi dompet kering yang kubawa ke mana-mana ini tidak segera surut.
    Bagaimanapun, meski aku penyair yang mencintai puisi, aku tetaplah butuh uang. Idealisme tetap kuusung dalam puisi-puisiku. Di luar itu, aku juga butuh mengupayakan agar puisi-puisiku dapat membuatku hidup dalam arti yang sesungguhnya. Aku memang tidak sedih. Tapi aku tidak berhenti bertanya di dalam hati tentang kenapa Ali Sudarwin harus mati gantung diri?
    Dalam perjalanan ke rumah duka, yang tidak dipadati oleh orang-orang, aku terus memikirkan wajah Ali Sudarwin dan mendadak ingat dia pernah punya utang. Seketika kuikhlaskan utang itu dan kuucapkan di hati, "Ya, Tuhan, saya telah benar-benar ikhlas pada uang empat ratus ribu itu dan biarlah dia tenang di alam sana."
    Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan pada orang-orang di rumah duka, yang sebagian besar bukanlah kalangan penyair, melainkan keluarga besar Ali Sudarwin yang terlihat ogah-ogahan dalam menjalani waktu khusus ini. Seharusnya orang meninggal membuat orang-orang terdekatnya sedih, tetapi di sini tidak kutemukan suasana itu. Di sini aku hanya melihat sebuah kewajiban yang dilakukan secara terpaksa oleh tiap orang di sekitarku.
    Aku merasa agak kesal ketika seseorang menarikku ke depan hanya agar aku sudi membantu mengusung keranda yang terbuat dari besi. Meski Ali Sudarwin sangat kurus, keranda itu terasa berat dan dapat kurasakan tarikan napas para pengusungnya adalah sejenis tarikan napas orang-orang yang kelelahan dan ingin segera pergi dari sini.
    Sampai jasad Ali Sudarwin dikuburkan, hingga aku pamit pulang pada beberapa orang di situ, tidak kutemukan Mudakir ada di sana. Cuma ada beberapa penyair yang kukenal dan mereka semua tidak berkata apa-apa selain buru-buru menyingkir. [ ]

Gempol, 25 Januari - 16 Juli 2018

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya berjudul Museum Anomali (Unsa Press, 2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017), dan novel Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri