(Dimuat di Tabloid NOVA No. 1561/XXX - 22-28 Januari 2018)
Pianis yang duduk di pojok aula itu piawai mengiringi bintang di acara malam ini, seorang pria berbadan jangkung dengan wajah teduh. Cukup dengan piano, tanpa gitar, apalagi drum, tembang One Last Cry sudah membuat bulu kuduk Dina berdiri. Ia duduk tegap dan sesekali mengusap keringat di dahinya. Kalau bukan karena sifat alamiah bola mata, barangkali dia lebih suka tidak ada kedipan untuk sisa malam ini. Ia tidak lupa, dulu lelaki itu adalah bintang.
Dan akan selalu menjadi bintang sampai malam ini.
Dina juga tidak lupa kejadian yang menyakitkan itu. Dia lirik seseorang di kiri jauh, kira-kira sebelas kursi jaraknya. Seorang wanita tampak menikmati suguhan lagu dari si jangkung. Wanita yang dulu pernah menjadi bagian dari hidup Dina. Pernah? Ya, dan tidak bisa lebih dari pernah, meski kini wajah itu terlihat jauh berbeda. Apanya? Cantik? Diam-diam rasa iri menyelinap di hati. Bagaimanapun, memutar kenangan bisa menjadi sangat sulit.
Sang bintang masih bersenandung.
Dina menyapukan pandangan ke sudut lain. Dia tidak mau tenggelam terlalu lama. Biar kenangan berlalu, begitu dia membatin, dan selalu begitu sejak belasan tahun lalu. Tapi malam ini semua harus tuntas.
Dina menarik napas panjang. Mereka jelas sudah dewasa dan bisa mengendalikan diri, meski ada yang tetap cerewet. Suara-suara akrab yang selalu kurindukan. Mereka sudah tidak muda dan berbeda. Waktu mengubah manusia.
Pukul 21.00. Acara berakhir satu jam lagi, tetapi Dina tenggelam oleh lamunannya. Ia menelan ludah. Bintang itu berbeda dari penyanyi aslinya, Brian McKnight. Suaranya serak-serak basah, berat, menggetarkan. Seperti lintasan masa lalu yang ingin dikenang. Apalagi wajahnya.
Tidak. Ini selesai, Dina. Ini selesai!
Tanpa sadar, bintang di panggung hampir selesai menunaikan tugasnya. Dia tidak bisa bernyanyi, mengakunya. Tetapi teman-teman memaksa maju. Dan kini tidak ada yang protes atau tertawa mencari bahan lelucon. Bukan main bagus suaranya. Memang begitu sejak dulu. Empat lagu sudah lelaki itu bawakan.
Dina menjauh sejak pindah ke lagu kedua beberapa menit lalu. Duduk di depan, ia ingin menit-menit menjelang reuni selesai menyendiri, menikmati lagu terakhir darinya, mengenang masa itu. Setelah bertukar kabar dan cerita, setelah merajut rindu yang lama terurai dengan teman-teman lama, dia tahu mereka mungkin tidak bertemu lagi sampai bertahun-tahun ke depan. Mereka semua, bukan kalian. Ia usap air mata yang tak terasa menetes bersamaan dengan rampungnya One Last Cry di tangan suara emas pria yang bukan penyanyi itu.
"Keren banget, Bro! Ngaku-nya tidak bisa nyanyi! Payah lu!" celetuk seseorang di dekat panggung.
Suara master of ceremony yang masih juga gokil, sama seperti belasan tahun silam, membuat Dina makin menegapkan badan. Ia bukan akan berdiri. Ia justru tak mengerti, mau ke mana? Mungkin tak sabar menguak sesuatu yang sejak dua jam lalu terasa sesak. Obrolan masa SMA memang indah, tapi itu kalah penting dari persoalan lain: kenangan yang satu itu.
Brian namanya. Bukan nama penyanyi asli yang dimaksud. Bintang yang satu ini, yang di atas panggung malam ini, adalah Brian Gunawan. Dina tidak bisa menghapus nama itu seperginya dari Bandung. Ke Surabaya, jawabnya pendek ketika teman-teman bertanya kenapa ia tidak pamit.
Hari itu, sehari setelah kelulusan SMA, tahu-tahu koper dan perlengkapan sudah siap. Dina bertekad membuka lembar baru dengan kuliah di kota lain. Teman-temannya tak percaya. Tapi ia memang pergi. Dan sesudah itu, tidak lagi kembali.
Surabaya kota baru di matanya, di lembar hidupnya. Ada Agus, bintang kedua di hati, yang kemudian berpijar terang, yang di masa-masa itu mengisi kekosongan. Hanya saja, wajah Brian tersisa di sepotong hatinya yang lama. Jadi hati itu tidak benar-benar kosong? Entah. Dina tidak bisa menjawab.
Agus baik, tapi Brian dulu juga baik. Ada pertempuran di hati Dina ketika itu. Dan ia tak tahu kenapa itu terjadi. Bukankah aku ke Surabaya agar dapat melupakan Brian? Dina tak bisa menerima ketika Vira, teman sebangku, sahabatnya sendiri, menyebabkan ia harus begini. Dia tidak lupa di sore yang hujan itu mereka berpelukan. Dia lari dan tiba-tiba hujan menjadi sangat menyebalkan.
Hujan yang pahit
Seumur hidup hanya sekali
Sesudah itu tak ingin lagi
Masih di bangku depan, di pojok sana, Dina mendengar gemuruh hadirin bertepuk tangan. Ia langsung menyandarkan diri di kursi. Tiba-tiba punggungnya terasa dingin. Ada banyak keringat di badannya. Jelas saja ia gugup. Jantungnya berdebar. Sejak tadi ia menjauh dan menjauh. Untung tak ada yang curiga. Bahwa ia ingin menyapa semua teman lama di sekolah SMA-nya, bahwa ia ingin tahu kabar mereka masing-masing, itu benar. Tapi itu juga menjadi alasan terbaik baginya untuk mengelak dari rasa gugupnya.
Bintang itu berlari kecil menuruni tangga.
Benar-benar gagah kamu sekarang.
Semua menggodanya dan lelaki itu tertawa.
Seperti dulu. Tapi jauh sekali, batin Dina bicara. Ia tidak bisa menyapanya dari sini. Menyapa? Yang benar saja!
Tapi Dina ingin malam ini semua tuntas. Ia tidak ingin sisa waktu yang dijalani sesudah ini, mungkin sampai dia tua—andai Tuhan belum akan mencabut nyawanya, berputar dengan beban yang belasan tahun tertahankan. Hanya beban dan beban. Agus ternyata tidak mampu mengisi kekosongannya. Sepotong hati itu tetap berisi wajah dan nama yang sama: Brian. Dina bingung marah ke siapa. Dia membenci dirinya. Kenapa tidak bisa membuang sampah yang sudah mengotoriku?
Tentu saja tidak ada yang tidak tahu, bahwa antara dia, Vira, dan Brian sesuatu sudah terjadi. Mereka tahu itu, seisi sekolah tahu itu. Teman-teman dekatnya pun tidak bisa menahan Dina mencintai kota dan bintang baru, meski entah bagaimana kelanjutan cerita itu. Dina hilang dan tak pernah berkabar. Hingga kini, reuni mempertemukan mereka, menghimpun para anggota geng yang disulap waktu menjadi kumpulan wanita dewasa, anggun, cantik, matang, meski sebagian mereka tetap cerewet. Cerewet yang menyenangkan. Itu ciri sahabat.
Sampai detik itu, ketika Brian duduk kembali di kursi, dekat seorang wanita yang sempat diliriknya tadi, tidak ada yang mengira Dina bergejolak. Tadi ia habiskan waktu dua jam semenjak acara dengan berjalan ke sana kemari, menyapa teman-teman lama, mengobrol dari satu meja ke meja lain—kecuali meja itu, hingga otomatis urusan ini agak terlupakan, atau memang sengaja tidak ingin Dina pikirkan untuk sementara waktu. Bukankah ia sudah lama menghilang? Ia rindu teman-temannya. Tetapi kini, saat Dina menyendiri, ia benar-benar tersiksa. Dadanya terasa sesak dan panas.
Kenapa masa depan tidak lepas dari masa lalu? Kenapa ada sakit yang tidak bisa hilang setelah belasan tahun?
Acara berlanjut ke band sewaan. Tidak lagi ada yang dikerjai, kata MC gokil tadi, yang dulu kerap disapa Mister Corong. Ini segmen terakhir: mengobrol dan mengobrol. Perasaan dari tadi sudah banyak yang diobrolkan. Tapi ini lebih dari sekadar bertanya kabar. Empat puluh lima menit sebelum penutupan, acara reuni akan berisi salam-salam perpisahan setiap insan. Momen yang berat. Pasti berbanjir air mata haru. Reuni akbar SMA Melati berlangsung begitu cepat bagi siapa pun.
Dina masih membisu saat teman-temannya mulai bangkit berdiri. Sesuai instruksi Mister Corong, kali ini adalah saat terakhir, sebelum mungkin kelak tidak jumpa lagi. Setiap kursi mulai kosong. Ruangan riuh rendah oleh obrolan terakhir diiringi lagu yang entah judulnya apa. Dina dirundung gugup berlebih. Di luar hujan deras. Sama seperti ketika itu. Malam itu Dina tidak pulang, melainkan meringkuk di sebuah halte. Orang rumah panik mencarinya.
Semua gara-gara kalian.
Tapi itu sudah berlalu.
Ia menghela napas. Matanya berat. Ia tidak mau teman-teman curiga.
Bagaimana hidupmu, Dina, pertanyaan Tasya dua jam lalu terngiang lagi. Sudah punya anak?
Dina tertawa kecil. Pernikahan di kota yang jauh? Kesibukan di kota jauh? Omong kosong. Ia bahkan tidak mengenal bintang lain atau sosok yang menjadi kekasih hatinya sejak perginya Agus. Tak pernah, meski sekali.
Tembang yang dilantunkan kini tidak istimewa. Dina tinggalkan kursinya, menyisir ruangan, dan terus berjalan ke belakang. Pintu toilet terkuak. Ia tertegun. Ia ingin sendiri. Dan jauh dari mereka. Ia masuk. Tangisnya buncah ketika pintu toilet tertutup. Belasan tahun tidak sekali pun menyapa, meski lewat telepon. Bukan teman-teman dekatnya yang biarpun norak tapi baik itu. Melainkan mereka. Ya, mereka.
Kenapa aku membenci mereka? Meski aku sakit, setidaknya aku tidak memaksa. Dan cinta yang memaksa akan jauh lebih sakit. Dina membatin seraya memandangi wajahnya di cermin. Setiap ada yang masuk, teman lama yang entah siapa—tidak dia pedulikan, dan semoga bukan mereka—dia pura-pura mencuci tangan dan membetulkan dandanan. Padahal ia menangis.
Biar saja aku menangis. Ini air mata penghabisan, batinnya mulai tenang.
Lima belas menit waktu tersisa. Setiap wajah tertunduk. Kenangan indah tidak bisa diulang. Para peserta reuni bertukar nomor telepon, atau apa pun, yang bisa membuat mereka saling berjumpa lagi. Tapi Dina tidak butuh itu. Ia hanya butuh bicara. Itu saja.
Bukankah aku kuat? Dan aku tak mau mereka tertawa, seperti dulu ketika bermain api di belakangku. Malam ini harus selesai. Tidak ada lagi kebencian.
Dina membelah kerumunan. Kakinya sempat kaku, namun dia terus melangkah, hingga sampai di barisan depan, seorang wanita dengan jarak belasan kursi darinya tadi tampak tertegun. Di sampingnya berdiri seorang pria.
"Dina?"
Ia bukan tidak tahu Dina hadir di acara reuni. Tapi, ia tidak tahu harus berbuat apa.
"Vira. Apa kabar? Maaf aku sejak tadi sibuk ngobrol sama yang lain."
"Eh, kabarku baik. Wah, kamu tambah cantik. Apa kabarmu?" Vira tampak gugup.
Bintang itu, tatapan itu.
"Kabarku baik, Vira. Kamu, Brian? Kabarmu?"
"Emm, aku... baik. Lama tidak ketemu."
"Ya, lama."
Tidak sesulit yang kukira.
Dina mulai bisa tersenyum lega. Rasa gugup itu masih ada, tapi jelas ia lebih kuat dari siapa pun di sini. Lebih kuat dari kalian. Dan meski hujan di masa lalu, belasan tahun silam, sempat ingin membuatnya mati, kini justru dia yang benderang. Kebesaran jiwa menerima pengkhianatan, membuatnya jauh lebih terang dari bintang jenis apa pun.
"Semoga kalian bahagia."
Malam itu seluruh beban musnah. Ia tidak perlu menghilang lagi. Tidak perlu lari dari masa lalu lagi. Masa lalu sudah tuntas. Belasan tahun lewat, malam ini janjinya ia tepati: mengucapkan selamat untuk pernikahan Brian dan Vira, yang telah berlangsung sejak beberapa tahun silam. [ ]
Gempol, 6 April 2015 - 13 September 2017
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karyanya tersebar di berbagai media cetak dan online. Buku terbaru karyanya: Museum Anomali (Unsa Press, 2016) dan Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017).