Skip to main content

[Cerpen]: "Legenda Sumar Mesem" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Bromo edisi 8 April 2018)
 
    Mantan pesepakbola itu ditemukan mati gantung diri setelah bertahun-tahun hidup sebatang kara. Tidak ada yang menemaninya di masa tuanya. Kalau pernah mendengar sebuah hikayat, tidak akan heran saat semua bahkan jadi jauh lebih buruk dari itu; tidak ada yang bersimpati padanya, kecuali segelintir tetangga, sehingga hari pemakamannya pun amat sepi. Orang-orang datang hanya karena itu kewajiban yang memuakkan, yang memang harus dilakukan sebagai tetangga, dan sesudah itu, pergi begitu saja. Tidak ada bunga-bunga tanda duka dan segala macam. Doa-doa pun terasa singkat. Begitu kontras dengan betapa tenarnya almarhum semasa hidup.
    Ali Sumarlin, demikian nama pesepakbola itu, atau yang pada masa mudanya lebih dikenal dengan sebutan Sumar Mesem (ya, Sumar Mesem, bukan Semar Mesem), mulai dikenal gara-gara tendangan pisangnya ke gawang timnas Thailand di tahun yang telah lama lewat. Pada saat itu, saya masih terlalu dini disebut sebagai orang yang menggilai sepakbola. Saya bahkan belum paham bedanya pemain winger dan center back.

    Pada saat itu, ayah sayalah yang telah lebih dulu menggilai sepakbola, sehingga dia pun mulai memotivasi anak-anaknya, termasuk saya, agar dapat berprestasi seperti sang Sumar Mesem di bidang olahraga. Dan, memang betul kemudian saudara-saudara saya, dan juga saya, ikut dalam klub-klub kecil, lalu tahun-tahun sulit itu menggiring sebagian dari kami hengkang ke bidang lain, dan sebagian yang lain tetap bertahan hingga lulus SMA. Tidak ada yang benar-benar sukses menjadi pesepakbola profesional seperti sang Sumar Mesem, pemuda idola ayah kami, yang gemar melempar senyum kepada setiap orang di seluruh sudut lapangan yang dijumpainya (bahkan musuh bebuyutannya pun, di klub rival, tidak ketinggalan mendapat "sedekah" manis itu darinya). Kami semua tak berbakat dalam sepakbola, demikian kata abang tertua saya. Adik bungsu kami bahkan pernah secara terang-terangan berkata, "Bakat keluarga ini adalah berdagang dan tidak ada yang bisa mengubahnya sampai kiamat."
    Tentu saja Ayah sedih atas kenyataan ini, tapi toh usahanya dalam membuat setiap anak yang dititipkan langit padanya dalam mencintai sepakbola tidak percuma. Hampir semua dari kami gandrung pada olahraga yang satu ini, kecuali adik bungsu saya tadi. Ia tidak pernah ikut rutinitas nonton bareng di ruang tengah. Dari rutinitas inilah kemudian kami tahu betapa Ayah sangat mengidolakan Ali Sumarlin bukan hanya sebagai pemain yang patut dibanggakan oleh rakyat Indonesia, melainkan juga pemain yang boleh jadi tak akan dapat ditemui dalam seratus tahun ke depan.
    "Tidak ada tendangan bebas sebaik punya Ali Sumarlin dan tidak ada dribbling di muka bumi ini yang tidak terinspirasi skill kiriman Tuhan khusus untuk Sumar Mesem!"
    Saya rasa barangkali agak berlebihan apa yang Ayah katakan itu, tetapi siapa pun jelas akan setuju soal betapa berbakatnya pesepakbola bernama Ali Sumarlin itu. Nama sang Sumar Mesem pun semakin berkibar setelah berhasil membawa Indonesia merebut tiket Piala Dunia 2042. Betapa heboh pemberitaan tentangnya kala itu, karena berkatnya, berkat tendangan pisangnya yang terkenal jauh lebih tangguh bahkan melebihi hebatnya tendangan Roberto Carlos yang menjebol gawang Prancis beberapa dekade silam, Ali Sumarlin berhasil membawa sejarah sepakbola Indonesia melangkah ke babak baru.
    Semua ini membuat Ayah bangga. Saat itu sudah lima tahun saya dan para saudara tidak lagi bermain bola dan Ali Sumarlin sudah masuk jajaran pemain senior dan makin matang dengan pencapaian-pencapaian luar biasanya. Sayangnya, seluruh kebanggaan itu harus dicoreng oleh tindakannya yang sampai detik ini masih sulit untuk kupahami. Bahkan Ayah pun, hingga di akhir hayatnya, masih bertanya-tanya, "Kenapa dia begitu? Ke mana Sumar Mesem yang dulu?"
    Itu terjadi dalam babak perempat final Piala Dunia 2042, ketika timnas Indonesia bertemu dengan timnas Mexico. Indonesia harus tersingkir dengan skor 1-0, yang secara lucu skor tersebut lahir dari gol bunuh diri oleh Sumar Mesem.
    Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Ali Sumarlin tertangkap kamera melempar wajah masam. Tidak ada senyum manis seperti biasa. Pada mulanya orang-orang tidak curiga. Orang-orang bangga pada timnas Indonesia, karena walaupun kalah, permainan mereka jauh lebih baik dari timnas Mexico yang dibuat kocar-kacir karena lini belakang mereka yang begitu payah. Lalu, kabar itu pun muncul: bahwa Ali Sumarlin dikabarkan menerima suap agar secara menggugurkan langkah timnasnya sendiri ke semifinal.
    Ayah termasuk dari sekian banyak orang yang menolak tuduhan itu, tetapi tak lama muncul bukti-bukti berupa rekaman percakapan telepon dan screenshot obrolan Sumar Mesem dengan seorang yang disebut-sebut di berbagai media sebagai Mister M, sosok yang cukup berpengaruh dalam pengaturan skor tingkat dunia. Mister M adalah sebutan untuk Tuan Manipulasi yang sampai empat bulan berikutnya belum diketahui identitas aslinya. Ali Sumarlin pun mendapat hukuman berupa larangan bermain seumur hidup, dan dari sanalah awal mula penderitaannya.
    Ayah jatuh sakit seiring dengan hancurnya karier sepakbola Sumar Mesem. Kedua orang, meski tidak saling kenal, seakan-akan diikat oleh langit dengan benang yang tak tampak sehingga ketika salah satunya jatuh ke jurang terdalam, yang lain pun menyusul. Tidak lama setelah kasus ini membuat banyak penggemar Ali Sumarlin mengutuk idola mereka sendiri, dan bahkan mendatangi rumahnya untuk menghancurkan segala benda yang ada di sana, Ayah mengalami koma. Sekira sebulan setelahnya, beliau meninggal.
    Sejak itu saya enggan memantau berita terkait Ali Sumarlin, dan lagi pula soal itu juga lama-lama akan terkubur dengan sendirinya. Sumar Mesem pun hilang dari dunia sepakbola. Tak ada lagi yang membicarakannya. Tak ada lagi yang mencari beritanya.
    Suatu hari, puluhan tahun kemudian, saya pindah ke rumah baru di luar kota untuk menjalani hari tua bersama istri. Ada satu tetangga yang mengurung diri dari lingkungan. Saya pun lalu tahu betapa dia dulu adalah Sumar Mesem. Tentu saya tidak menunjukkan simpati, tapi sebulan usai kami pindahan, dia ditemukan mati gantung diri. Orang-orang paham apa yang dia perbuat di masa mudanya, tetapi mereka tetap datang dan mengurus jenazahnya yang kurus. Saya tidak turun tangan, meski ikut datang. Saya bahkan ikut menimbun tanah di kuburnya. Persis sebelum pergi, saya terkenang wajah Ayah yang tak pernah berhenti berharap agar sepakbola Indonesia maju di tangan anak-anak muda berbakat.
    Tak terasa air mata saya pun menetes. []

    Gempol, 4-4-2018

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karyanya terbit di berbagai media. Bukunya terbarunya Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017) dan novel Negeri yang Diilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri