Skip to main content

[Cerpen]: "Wajan Tua" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1586/XXX (16-22 Juli 2018)
 
    Bu Meli punya wajan tua. Wajan tersebut awet, bahkan meski dipakai setiap hari. Entah berapa ribu atau mungkin berapa puluh ribu ikan telah meregang nyawa di wajan tersebut selama puluhan tahun.
    Ya, wajan tersebut adalah wajan warisan, turun temurun sejak zaman Jepang belum menjajah Indonesia. Hitung berapa total hari dalam setahun dan kalikan sembilan puluh empat; jumlah tahun yang diperkirakan Bu Meli sejak wajan tersebut dipakai neneknya. Dalam satu hari keluarga Bu Meli menggoreng rata- rata dua ekor ikan.
    "Wah, nggak kehitung kalau sama saya," celetuk Timo, keponakan Bu Meli yang doyan makan berbagai jenis masakan berbahan ikan laut maupun tawar. Hanya karena iseng saja, Agustinus yang juga keponakan Bu Meli, mencoba mencari tahu rekor yang dicapai oleh sebuah wajan.
    Tentu saja, wajan Bu Meli bermutu dan tahan banting. Meski kau ketahui jumlah ikan yang mati di sana sekalipun, tidak akan mengurangi dayanya, karena tidak sekadar ikan saja yang masuk ke situ, tetapi juga apa saja yang perlu digoreng.
    "Memang susah. Kalau kamu mau berpikir sebenarnya bisa," kata Agustinus, yang senang meledek perut Timo. "Tapi Tante Meli suka masak apa saja, tidak hanya ikan. Dan walau berbagai jenis olahan ikan menu wajib, melihat masakan lain yang beliau bikin melalui wajan legendaris itu, alangkah luar biasa apa yang telah sebuah wajan lakukan bagi keluarga kita."
    Timo yang sadar benar bahwa Agustinus adalah mahasiswa sok peneliti, manggut- manggut saja. Ia lebih suka makan, memang. Dan tak peduli entah itu olahan ikan atau bahkan sayur bayam yang hambar baginya. Semua makanan bakal masuk ke perutnya, asal bukan racun.
    Demikianlah. Pujian untuk wajan Bu Meli tidak cuma meluncur dari mulut para keponakan (ketahuilah, Bu Meli tidak punya anak, karena beliau mandul dan suaminya sudah meninggal dua belas tahun lalu), melainkan datang juga dari kerabat, saudara, dan tetangga yang ikut kebagian masakan Bu Meli.
    "Berbagilah pada setiap tetangga yang menghirup masakanmu, karena dalam Islam kita diajarkan begitu," kata Bu Meli selalu. "Tetapi, tidak hanya karena itu saja kita bisa berbagi. Bahkan orang luar yang tak tahu proses terjadinya masakan oleh wajan ini pun, juga bisa kita senangkan dengan makanan."
    Maka jangan heran, banyak sekali orang yang mencintai Bu Meli dan wajannya. Di lingkungan sini, mereka berdua adalah sepasang kekasih abadi, tak lekang oleh waktu, bahkan menjadi serupa dongeng bagi anak-anak yang suka olahan ikan.
    Bu Meli dan wajannya jadi icon kampung sederhana mereka yang disarati ragam manusia berbagai kalangan dengan bermacam agama serta suku. Masakan menyatukan mereka. Si pemilik wajan sesekali mengadakan syukuran. Dengan wajan tua yang kuat, ia memasak berbagai jenis masakan (yang terbanyak tentu olahan ikan, entah dari hasil laut ataupun tambak). Dan semua menikmati.
    Tidak cuma syukuran, tujuh belas Agustusan, atau pengajian semata, di berbagai acara penting lain, Bu Meli siap menurunkan wajannya ke dapur atau meminjamkannya ke siapa saja yang butuh, karena beliau tidak selalu kuat memasak. Usia membuat badan Bu Meli tidak sebugar dulu.
    Begitu besar jasa wajan Bu Meli. Agustinus menghitung, masih dengan keisengan, bahwa jika suatu hari wajan itu hidup, dia akan meninggal seperti ulama yang dicintai umat. Banyak yang bersedih atas kepergiannya dan tidak sedikit yang berharap beliau selalu ada di hati.
    Bukan berlebihan. Di kampung sini, tidak ada wajan sekuat dan setahan lama itu. Semua wajan tak berarti jika dibandingkan dengan wajan Bu Meli yang diturunkan dari ibunya, sebelum dahulu dimiliki oleh sang nenek.
    Tidak ada yang menduga wajan ini bisa rusak suatu hari nanti, karena bahkan jika kau membenturkan kepalamu ke pantat wajan itu, yang sempal adalah kepalamu, bukan si wajan. Maka, apalagi sampai ada yang menduga bakal hilang? Itu wajan terkenal di kampung. Tampilannya memang buruk, tetapi berkualitas dalam soal ketahanan. Secara tidak sadar, isi kepala seseorang boleh jadi cuma wajan besar, hitam, dan perkasa itu, bila ada siapa pun di dekatnya bicara soal wajan. Ciri fisiknya seolah tersimpan sebagai default bagi seluruh wajan di muka bumi, dalam kepala mereka yang pernah mengecap masakan yang diolah di tubuh sang wajan.
    Pendapat Bu Meli mengenai wajannya cuma sependek ini, "Dia cinta terakhirku."
    Orang tidak bertanya dan mafhum. Sejak suaminya tiada, Bu Meli lebih banyak berkutat di dapur dengan bertema si wajan. Memasak apa saja, membuat kejutan dari resep-resep baru yang dia rekayasa dari bahan dasar ikan mentah. Tujuannya tidak lain tidak bukan adalah demi membuat orang lain senang. Tidak hanya keponakan, tidak hanya para saudara dan kerabat, tetapi siapa pun yang pada suatu hari katakanlah sedang lapar.
    Bertemu masakan Bu Meli sama dengan bertemu bidadari. Bertemu wajan itu, adalah bertemu surga dengan air susu yang mengalir di bawahmu.
***
    Hari ini, wajan itu tiba-tiba hilang. Tidak ada yang tahu ke mana perginya wajan itu. Timo gusar; tidak ada lagi masakan lezat. Ia tidak peduli pada kemungkinan sugesti, bahwa pada faktanya semua masakan, selama diolah tangan yang tepat, di wajan mana pun rasanya juga pasti sama lezatnya. Dan karena kebiasaan Timo itu makan dari apa pun yang keluar dari tubuh si wajan tua, ia mendadak lemas dan tidak berselera menelan sarapan.
    "Mending nasinya kamu yang makan," katanya kepada Agustinus, yang ke warung di tepi jalan membeli beberapa bungkus nasi untuk orang serumah. Wajan itu tidak ada dan mereka tidak bisa memasak. Padahal di dapur ada banyak wajan lain, belum pernah dipakai. Mereka telanjur jatuh cinta pada wajan Bu Meli.
    Agustinus tahu masalah ini bisa menjadi besar kalau wajan tersebut tidak bisa ia temukan. Maka ia kumpulkan teman-temannya di depan. Mereka juga tidak suka atas kejadian ini. Mereka bersedia membantu mencari. Wajan itu amat berarti bagi Bu Meli dan warga. Dan kini, karena wajannya tiba-tiba tidak ada di dapur, perempuan malang itu jatuh sakit.
    Agustinus kira pelakunya pasti orang yang suka mengacau dan benci perdamaian. Orang itu pantasnya dikurung di pulau tak bertuan, kata salah seorang bersungut-sungut. Oh, mungkin orang itu adalah orang yang merasa paling benar, sehingga berpikir kalau kerukunan umat beragama—melalui wajan tua bekas zaman Belanda—adalah perbuatan salah dan wajib diberhentikan.
    "Ini bukan soal agama atau problem sosial di negeri kita," kata seseorang yang lain. "Ini hanya soal wajan dan kecintaan kita pada masakan Bu Meli!"
    "Tapi, kalau bukan karena si wajan, kita tidak hidup rukun, 'kan? Buktinya ini. Kita malah debat kusir gara-gara wajan itu tidak ada!"
    Suasana di depan rumah Bu Meli makin gaduh. Anak-anak muda beradu pendapat karena hilangnya wajan tua. Suatu hal yang aneh dan ganjil. Agustinus tahu perdebatan ini tidak mungkin bisa dihentikan, karena mereka sama-sama mencintai wajan, masakan tantenya, juga kerukunan umat beragama. Mereka juga tidak suka membedakan kelas sosial dalam berteman. Tapi, yah, kalau mereka terus menerus berdebat, kapan wajan itu ditemukan?
    Setelah menyadarkan teman-temannya, Agustinus memberi tugas ke setiap orang untuk mencari ke rumah demi rumah. Bukan atas nama saling mencurigai; ini dilakukan demi kepentingan bersama, yakni menemukan wajan Bu Meli.
    "Kalau tidak, kerukunan antar-umat di kampung kita terancam. Anda mau terjadi perang saudara? Anda juga mau, bila ada isu agama di media-media tanah air yang suka lebay itu, hal-hal sepele bisa jadi runyam?"
    Kalimat-kalimat ini meluncur dari mulut para pemuda, dengan harapan, orang yang mencuri, siapa pun dia, entah karena alasan apa pun, menjadi sadar dan meminta maaf dan tentu saja mengembalikan wajan legendaris penyatu umat tersebut.
    Sayangnya, sampai sore, si wajan tidak ketemu. Bu Meli demamnya makin tinggi. Ia dibawa ke rumah sakit oleh keponakannya yang lain—bersama Timo yang mendadak pingsan karena seharian tidak menelan apa-apa.
    Dua minggu kemudian, setelah Bu Meli dan Timo keluar dari rumah sakit, wajan itu tidak berhasil ditemukan. Tidak ada yang tahu siapa yang mencuri dan bagaimana itu diambil dari dapur. Yang terbebani tentunya adalah Bu Meli. Beliau pemilik sah wajan tersebut. Beliau yang paling lama memegang wajan tersebut ketimbang nenek maupun ibunya, sampai di hari terakhir mereka, beliau bahkan masih menyebutkan wajannya itu sebagai cinta terakhir.
    Kini, setelah Bu Meli meninggal, kerukunan antar-umat beragama di kampung itu masih terjaga. Orang-orang berbagi masakan seperti dulu, dari berbagai jenis olahan ikan maupun lain-lain. Suasananya tidak jauh berbeda. Hanya saja, masakan yang tersaji dihasilkan bukan dari wajan tua Bu Meli.
    Dari sini mereka sadar; cinta, persatuan, kedamaian, kebahagiaan, dan rasa saling memiliki, sebenarnya tidak bergantung pada segala sesuatu yang bersifat fisik semata, melainkan perbuatan. Bu Meli beserta wajan tuanya mengajarkan itu dengan baik untuk diturunkan pada anak cucu, melalui dongeng wajan tua dan pemiliknya yang tidak pelit. [ ]

    Gempol, 2016-2018
 
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya Museum Anomali (Unsa Press, 2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017), dan novel Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri