Skip to main content

[Cerpen]: "Kencan Terakhir" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Minggu Pagi edisi, 31 Agustus 2018)

   Pada hari terakhir itu kami sepakat untuk kencan sehari penuh. Dimulai dari subuh hingga malam hari, kami memikirkan tempat mana saja yang dituju. Aku tahu ini aneh, tetapi Maria tak mempersoalkan apa pun.
    Barangkali saja kami bakal bosan dan berharap hari itu berakhir lebih cepat. Atau bisa saja malah ketagihan, sehingga esoknya kami harap kami tidak pernah putus seperti ini.
    Namun, Maria menetapkan hari ini benar-benar hari yang terakhir. Kami tidak bisa lagi bersama, karena perjodohan yang dirancang keluarganya dirasa lebih baik daripada terus bersamaku. Aku memang terlalu banyak janji pada Maria, tapi tidak juga kupenuhi janji tentang aku yang akan menikahinya suatu hari nanti itu. Maria lama-lama bosan, dan akhirnya cintanya kepadaku luntur. Aku dianggap tidak berkomitmen, dan ia sangat kecewa.
    Maka, di kencan terakhir kami, kubawa segala benda pemberiannya, dan kubilang pada Maria supaya dia menyimpannya atau membuang saja semua benda itu daripada menjamur di apartemenku.
    "Kamu tidak ingin kenang-kenangan?"
    "Aku ingin saja menyimpan segala hal tentangmu, tetapi kamu sudah pasti bukan lagi milikku mulai besok dan seterusnya, dan kurasa tidak akan ada manfaatnya barang- barang pemberianmu itu. Kamu boleh membuang barang-barang pemberianku kok, dan itu tidak membuatku tersinggung," jawabku dengan berusaha untuk tidak terbawa emosi, padahal mataku terasa panas.
    Syukurlah Maria tidak mengungkit tentang itu lagi dan mobil kami pun membawa kami keluar batas kota, meninggalkan segala halangan yang membuat kami terpisah. Di suatu pom bensin yang tidak terlalu jauh dari perbatasan kota, kami berhenti dan Maria berkata, "Kita sarapan dulu. Kamu belum makan sejak kemarin, kan?"
    Aku mengangguk pendek, dan memang benar inilah yang biasa dia lakukan di saat kami belum terpikir untuk berpisah; mengingatkanku untuk sarapan dan segala macam.
    Pada saat itu jam sudah hampir menunjuk pukul enam, tetapi tubuhku terasa sangat lelah, dan kuputuskan untuk menuruti saja permintaan-permintaan Maria seperti sarapan di suatu tempat atau bahkan mampir untuk sekadar mandi di suatu hotel. Tetapi, kurasa itu tidak mungkin. Kami bukannya bepergian lebih dari sehari, jadi tidak ada acara pergi ke hotel dan kurasa kami hanya mungkin mandi kalau mampir ke rumah seseorang yang kami kenal.
    "Kita tidak kenal siapa pun di kota yang bakalan kita tuju," kataku setelah beberapa saat.
    Maria cuma menggumam pendek dengan tetap menyetir mobilnya. Dia lalu bilang bahwa di dekat-dekat sini sebenarnya ada rumah seorang sahabat, tetapi kami tidak akan mampir. Kami tidak akan merepotkan siapa pun dan juga tidak akan membiarkan semua orang di seluruh dunia tahu bahwa kami sedang melakukan kencan terakhir sebelum dia resmi menjadi pasangan orang lain di esok hari.
    Aku setuju saja dan berpikir bahwa perjalanan ini hanya diketahui oleh kami dan Tuhan saja. Orang tua Maria belum menyadari anak gadis mereka hilang di suatu subuh bersama mobil milik sang ayah. Mereka baru akan sadar nanti, di jam-jam orang sibuk, sekitar jam 9 atau 10 pagi (atau bisa juga lebih awal), bahwa anak mereka tidak ada di kamar dan salah satu mobil di garasi ternyata raib.
    Pikiran tentang itu kusimpan dan kuputar sendiri di kepalaku, sementara Maria tak tahu dan tetap fokus pada kemudinya.
    Kami berhenti di depot kecil yang tidak terlalu bagus pemandangannya. Aku tidak pernah menyentuh kawasan ini, bahkan meski cukup sering bermotor ketika kami masih awal-awal berpacaran dulu. Kami tahu jalan yang barusan Maria ambil benar-benar menuju ke kawasan yang baru bagi kami dan ini memang sesuai rencana.
    Ada sebuah bukit di ujung kota sebelah yang lumayan indah, dan kami pikir ke sanalah kami bisa menghabiskan hari terakhir. Tentu saja tidak hanya bukit itu yang kami tuju. Beberapa tempat tujuan, seperti padang rumput dan satu atau dua taman, yang kami bisa lihat secara jelas suasananya dari Google Maps, akan kami sambangi sebagai bagian dari perjalanan sehari terakhir.
    Di depot itu aku tidak bisa memilih menu yang benar-benar bagus untuk perutku yang tidak makan sejak kemarin pagi. Badanku terasa agak kurang sehat dan barangkali Maria tahu itu. Jelas, ia tahu itu. Ia hafal bagaimana ketika orang yang bakalan menjadi mantan kekasihnya ini mulai tidak sehat dan semacamnya. Ia membiarkanku duduk saja dan akhirnya memilihkan makanan yang tepat untuk perutku, yakni berupa sup hangat. Ia bilang aku tidak dapat makan banyak sekaligus, tetapi perjalanan sehari kami cukup panjang dan kami tidak sedang diburu waktu.
    Kira-kira satu jam kemudian, setelah makan sambil mengobrol tentang apa pun, di depan depot terjadi sebuah kecelakaan. Aku dan Maria berjalan ke sana, bergabung juga bersama beberapa gerombolan orang yang menonton kondisi TKP. Sebuah tubuh kurus tergeletak di tepi jalan dengan kepala mengucurkan banyak darah. Aku tidak tahu pasti apakah orang itu masih hidup atau tidak, tetapi kondisi fisikku yang kurang sehat, membuatku tak tahan dan ingin muntah.
    "Sebaiknya kita pergi," kataku.
    "Ide bagus."
    Maria berlari ke depot untuk membayar sarapan kami dan mengambil tasnya yang tersampir di sandaran kursi. Aku menunggunya di bawah pohon, yang cukup aman dari penglihatan ke korban kecelakaan. Orang-orang di TKP ribut bertanya soal polisi dan surat izin mengemudi seorang bocah. Aku baru tahu betapa insiden barusan disebabkan oleh seorang bocah yang mencoba-coba mobil ayahnya.
    Entah apa yang berikutnya terjadi, aku tidak peduli karena ingin segera pergi dari sini. Maria melewati beberapa orang yang terus bertambah di tepi jalan sembari sesekali memencet klakson. Akhirnya kami lepas dari kerumunan itu setelah beberapa detik tak dapat melaju, karena orang-orang terlalu sibuk memperhatikan kondisi korban pemotor yang tergeletak. Aku hanya bisa melihat motornya yang hancur dan tidak ingin melihat kepala orang itu yang hancur sebagian.
    Ketika kami benar-benar melaju, kusampaikan pada Maria apa yang terjadi di sana barusan. Dia hanya tersenyum pendek, karena tahu dirinya juga pencuri seperti si bocah, tetapi dia bilang, "Aku punya SIM dan kamu tahu itu."
    "Yah, kamu bisa menyetir dan tidak diragukan," kataku.
    "Lalu?"
    Aku berpikir bahwa mungkinkah kami berdua pergi tanpa pamit begini ini dapat membuat orang-orang mengira kami sedang kawin lari? Dan dari situ keluarga Maria pun tidak dapat menerima dan berdoa yang tidak-tidak untukku agar mendapat kesialan atau apa, sehingga nanti kami juga akan celaka sebagaimana bocah pencuri mobil ayah kandungnya tadi?
    Tentu pikiran ini hanyalah ketakutan tanpa dasar, sehingga tidak akan kusampaikan ke Maria, karena itu hanya akan membuatku terlihat konyol di matanya. Aku tidak mau mengukirkan kesan tidak baik di hari terakhir kami kencan, meski mungkin sudah tidak terhitung lagi hal-hal pada diriku yang membuatnya kecewa.
    Maka, kualihkan pikiran ke topik lain dan mengajak Maria mengobrol soal itu. Aku bawa kembali ke hadapan kami ingatan tentang festival sastra yang pernah kami ikuti, lalu kunjungan-kunjungan kami ke beberapa kota karena menghadiri acara sastra. Kami memang saling mengenal di bidang ini; aku dan Maria sama-sama prosais, yang cukup produktif. Orang-orang mengenal kami karena seringnya nama kami muncul di daftar pemenang berbagai kompetisi sastra bergengsi, juga di media-media yang menayangkan karya sastra setiap akhir pekan.
    Maria cukup senang dengan topik ini dan teringat akan sesuatu. Dia ingin memberi sebuah buku koleksinya untukku, karena dari beberapa minggu lalu aku ingin membaca sebuah buku, tetapi belum juga kesampaian. Maria memiliki buku itu sehingga dia pun berniat meminjamkannya padaku.
    "Coba ambil sendiri di situ," katanya, seraya menyorongkan tasnya yang terletak di dash board padaku.
    Maria sibuk menyetir dan aku tidak heran dengan gesture ini. Tetapi memeriksa isi tas Maria (yang biasa kulakukan atas izinnya selama aku dan dia masih pacaran), terasa seperti mengobok-obok masa lalu yang seharusnya sudah lama kutinggalkan. Aku agak tak nyaman, namun konsentrasiku tertata dan aku tidak menemukan buku yang dia maksud. Bahkan, aku nyaris tak menemukan apa-apa, karena tas tersebut hanya berisi beberapa gumpal keras koran dan empat atau lima bongkah batu.
    Aku tidak akan sempat berpikir betapa Maria berubah menjadi agak sinting karena harus berpisah denganku, karena begitu kukatakan isi tas tersebut padanya, ia hentikan mobilnya secara mendadak dan berteriak panik. Ia rebut tas itu dariku dan menyumpah- nyumpah pada entah siapa yang tadi telah mengerjai kami di depot.
    "Kupikir pelayan-pelayan depot busuk tadi pelakunya! Dasar biadab!"
    Aku coba menenangkan Maria dan kukatakan bahwa bisa jadi orang-orang lain di depot yang mencuri isi tasnya. Itu bukan mustahil, karena beberapa orang juga makan di situ. Maria tidak peduli dan terus mengoceh, tetapi segera saja kukatakan bahwa urusan kencan hari ini biar kutangani sepenuhnya. Di dompetku ada uang untuk kami berdua pergi sampai nanti malam.
    "Tapi, bagaimana kamu bisa makan setelah itu?"
    "Gampang. Aku bisa menulis setiap hari, dan dari situ aku bisa mendapat uang."
    Maria hanya menunduk sedih dan melanjutkan perjalanan kami. Tapi entah kenapa aku mengira ini bukan perjalanan terakhir kami, sebab setelah beberapa kilo berlalu, dia bilang, "Aku benci harus mengatakan ini. Sebenarnya aku tak pernah setuju perjodohan dengan alasan apa pun."
    Itu hanya bisa berarti satu hal: bahwa tidak ada hari terakhir kecuali salah satu dari kami harus mati. Benarkah begitu? Aku tidak bisa bertanya apa-apa, karena tubuhku ini lelah, dan kubiarkan Maria menyetir ke mana pun ia mau. [ ]
   
    Gempol, 2018

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya Museum Anomali (Unsa, 2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017), dan novel Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri