Skip to main content

[Cerpen]: "Calon Serigala" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Bromo edisi Minggu, 5 Agustus 2018)
 
    Mudakir menyuruhku berbaring di meja dapur. Ia lipat bagian bawah kausku untuk melihat permukaan perutku. Basah dan gatal. Tetapi Mudakir bilang, tidak ada masalah. Bangkai anjing yang kusimpan dalam perut malam ini kelak akan keluar dalam wujud serigala.
    "Boleh jadi dia langsung lapar. Tetapi, bisa juga tidak seketika lapar dan mencari induknya. Jika itu yang terjadi, buat dia mengira kamu induknya," kata Mudakir.
    "Kalau lapar?"
    "Beri makan!"
    Mudakir menjelaskan beberapa peraturan. Pertama, ia tidak mau orang lain tahu dalam perutku bersemayam anjing mati, yang kelak jika keluar menjadi seekor serigala. Termasuk anak istriku. Biar dunia tak tahu. Rahasia segala-galanya. Kedua, ia tidak mau aku protes kalau serigala itu nanti memangsa seluruh keluargaku.
    "Pengorbanan nomor satu. Lain-lain di belakang," tutupnya.
    Mudakir pamit. Ia meminta uang sepuluh ribu yang tergeletak di meja dapur untuk dibawanya pulang. Kukatakan ia boleh mengambil uang itu, meski bukan punyaku. Aku tahu istriku pasti meninggalkannya entah karena lupa atau apa. Itu bukan masalah.
    Begitulah. Mudakir pergi dan sejak itu kami tidak bertemu lagi.
    Esoknya aku sakit dan ingin berak, tetapi tidak bisa. Istriku mencoba memberiku jamu agar kotoran dalam usus besar keluar semua, tapi tetap tidak manjur. Aku menolak ketika ia akan membawaku ke dokter. Aku tahu ini semua pasti pengaruh bangkai anjing dalam perutku, yang kelak suatu hari nanti akan berubah jadi serigala.
    Aku sendiri tidak terlalu bodoh mengikuti saran Mudakir. Serigala itu, katanya, tak meleset jika patuh padamu. Ia selalu mengikuti aroma yang ingin kau bunuh. Jika suatu kali kau benci seorang kepala desa, serigala itu memakannya. Jika di hari lain kau benci mantan pacar istrimu, tentu orang sial itulah yang serigalamu mangsa.
    Calon serigala dalam tubuhku, kata Mudakir, dapat kuberi nama. Tapi ia hanya ikut kehendakku setelah cukup umur, yakni sekitar empat puluh hari. Kurang dari itu, tidak ada yang bisa menjamin apakah orang tidak bersalah tidak luput dari sasaran.
    Mudakir sendiri mendapat ilmu ini dari ayahnya, yang mendapat dari sang kakek. Ilmu turun temurun yang tak bisa Mudakir turunkan karena ia menderita lemah syahwat. Ia tidak bisa mempunyai keturunan setelah dibuat terkapar oleh jagoan desa dalam suatu turnamen silat gaya bebas. Maka, ia harus memilih: antara mati membawa ilmu itu atau mewariskannya ke orang yang tepat.
    Aku ingat hari itu ketika kuambil keputusan aku harus membunuh seseorang, di waktu sama Mudakir memilih jalan. Ia ingin hidup demi membuat perhitungan dengan tangan manusianya, kepada jagoan yang dulu membuatnya tidak bisa memacari wanita.
    "Sekarang ilmuku kau bawa. Gunakan sebaik mungkin untuk masalah-masalahmu. Dan jangan kau wariskan ke sembarangan orang jika kelak kau tak punya anak lelaki." Begitulah Mudakir berpesan.
    Aku tahu aku tidak mungkin sembarangan mewariskan. Jika kelak anakku mati dan aku tak memiliki keturunan, barangkali mati lebih baik. Aku sendiri tahu apa yang akan terjadi, tetapi memutuskan diam. Istri dan anakku tak tahu, sesuai pesan Mudakir sejak awal. Ia mewanti-wantiku.
    Dalam pertemuan-pertemuan kami di warung kopi, di sudut paling gelap dan tidak diperhatikan orang, Mudakir membisikiku mantra yang harus kulafal di malam-malam tertentu untuk mengundang seekor anjing bernasib malang.
    "Kau harus membunuh anjing itu dengan usahamu sendiri. Setelah anjing itu mati, kau boleh memakannya dengan cara yang paling tak masuk akal." Mudakir pun tak lupa menjelaskan bagaimana nanti kumasukkan bangkai anjing ke dalam perutku.
    Aku tidak percaya mendengar itu, tetapi Mudakir tidak bercanda.
    "Kau tinggal memilih, Wan. Harga diri atau rasa jijik?"
    Pada akhirnya, aku memilih rasa jijik. Aku merasa seharusnya ini tidak terlalu jijik. Apa yang mendasari niatku justru lebih menjijikkan dan itu hanya membuatku tampak seperti pecundang.
    Jika aku memilih merelakan ilmu antik itu dibawa Mudakir ke orang lain, aku menelan dua kali kesialan: harga diriku diinjak-injak dan aku berasa menelan bangkaiku sendiri.
    Maka, di malam yang ditentukan, di malam terakhir setelah beberapa malam kami mencari tempat sepi untuk meditasi, sementara aku melafal mantra yang Mudakir beri, aku merasa jiwaku sudah setengah matang. Badanku panas dan lidahku terasa kering. Mudakir mengajakku ke tepi sungai dan bersembunyi. Seekor anjing muncul dan ia tak mencium keberadaan kami berkat mantra itu. Dengan batako, kutumbangkan anjing itu sekali serangan. Ia kejang-kejang sebelum diam tak bergerak. Mudakir tertawa, tetapi aku merasa sedih melihat kepala anjing itu pecah akibat batako yang kujatuhkan tepat di atasnya.
    Tanpa membuang waktu, kami memotong-motong daging anjing itu dan Mudakir menyantapnya tanpa merasa jijik, sekalipun daging itu mentah. Di potongan keduapuluh, aku tidak boleh menelan satu pun daging, kecuali membedah sedikit kulit perutku untuk menyimpan potongan keduapuluh itu di sana.
    "Kau yakin, Wan?"
    "Apa yang membuatku harus yakin?"
    Mudakir menghela napas panjang. Ia bertutur soal istriku yang berkali-kali bilang sakit, tapi sebenarnya ia baru saja bersenang-senang di kamarku dengan lelaki gila yang tak lain adalah tetanggaku sendiri. Aku tak pernah mendapat apa yang kumau dan tentu Mudakir tahu itu. Ia sudah menjaga serigala dewasa yang patuh padanya selama empat puluh dua tahun, dan dari binatang gaib itu, ia memahami urusan rumah tanggaku.
    Aku sakit hati mengingat betapa lugunya wajah istriku ketika mengucap ia sedang sakit, seperti ada sesuatu yang tidak beres. Seperti dibuat-buat. Dan aku justru merasa rendah ketika yang menyadarkanku justru Mudakir, dukun kampung yang tidak pernah dianggap, karena tempat ini penuh dengan orang-orang religius.
    Aku mengangguk.
    Aku bergetar saat Mudakir mengusap-usap perutku dan dengan lincah membelah daging di bagian itu sepanjang sepuluh senti. Darah mengucur deras dan aku tak merasa sakit. Mudakir dengan cepat pula menyimpan daging anjing malang tadi dan menjahit lukaku sampai rapi.
    Kembali ke rumahku, di dapur, lewat tengah malam, Mudakir menyuruhku untuk berbaring di meja dan memastikan apakah jahitannya sudah benar. Ia memberiku perban dan membebat luka itu dengan lebih baik.
    "Ingat, Wan," katanya setelah meraih uang sepuluh ribu di meja dapur. "Semua ini demi harga diri. Jangan sampai suatu hari serigalamu menuruti hawa nafsu."
    Aku mengangguk dan temanku pergi ditelan malam. [ ]
    Gempol, 20 April-22 Juli 2018

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Penerbit Basabasi, 2017) dan novel Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri