Skip to main content

[Cerpen]: "Bocah Udang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Bromo edisi Minggu, 24 Juni 2018)
 
    Aku tinggal di kota ini sebatang kara sejak belasan tahun lalu. Waktu itu aku tidak tahu harus pergi ke mana lagi usai kebakaran membakar habis rumah orang tuaku serta seluruh anggota keluargaku. Aku masih terlalu labil. Barangkali jika tidak bertemu Tuan Markoni, aku sudah jadi gila. Aku yang berjalan sempoyongan setelah kabur dari polisi yang membantuku, ditemukan olehnya berbaring melingkar di dasar selokan. Aku ingat apa yang selalu Tuan Markoni katakan jika kami bertemu dalam berbagai acara sosial di berbagai kota besar: "Ini dia bocah udang yang membantuku hidup!"
    Tentu yang dia maksud adalah bahwa sampai sejauh itu dirinya belum mempunyai seorang pun anak kandung. Istrinya yang pertama telah meninggal jauh sebelum kami dipertemukan, sedangkan istri kedua yang mendampingi hingga hari tuanya menderita kemandulan. Itulah kenapa Tuan Markoni menganggapku anak sendiri yang menurutnya membuatnya tetap waras selama tahun-tahun susahku itu.
    Tahun-tahun susah itu mengendap di kepalaku sebagai gulungan film tua yang tak pernah jenuh kuputar lagi dan lagi. Aku diangkat dari dasar selokan dalam keadaan bau, tidak terlalu waras, membenci Tuhan, dan bertekad menghabisi diri sendiri secepat yang kubisa. Namun, keberadaan Tuan Markoni dan istri keduanya membuatku tidak dapat mewujudkan niat untuk bunuh diri. Aku malah semakin dekat dengan Tuhan setelah dua bulan hidup bersama mereka.
    Dan, demikianlah, hidupku pun terus berlanjut.
    Tuan Markoni merawatku beberapa tahun dan menyekolahkanku di sekolah swasta terbaik di kotanya. Setelah lulus, aku mendapat beasiswa untuk kuliah dan tidak lagi mau merepotkannya. Waktu itu aku benar-benar rela pada masa lalu meski belum terlalu lama kebakaran mengerikan tersebut berlalu. Aku masih bisa menghirup aroma daging terbakar saudara-saudaraku di suatu kamar malam itu; aku pun masih dapat mendengar jerit ibuku yang terjebak di dapur, tetapi itu semua tidak membuatku hilang kewarasan. Aku sering mengambil waktu liburan untuk pulang ke kota asalku dan menjenguk para saudara serta orang tua kandungku di batu nisan mereka masing-masing.
    Lulus kuliah, aku mendapat pekerjaan yang bagus sebagai editor di sebuah majalah politik ternama. Aku mengenal semakin banyak orang dari berbagai kalangan, tetapi itu tetap tidak menghapus kenyataan bahwa aku adalah lelaki yang sebatang kara. Sering kali diam-diam aku merasa sepi dan jika demikian, aku memutuskan untuk menelepon Tuan Markoni.
    Tuan Markoni, ayah angkat yang baik dan sakit-sakitan itu, tergolong orang yang disegani di bidang pendidikan dan politik, sehingga di acara-acara sosial yang sering kuhadiri karena majalahku memiliki sebuah yayasan untuk anak-anak jalanan agar dapat terus bersekolah, kami kerap bertemu secara tak sengaja, dan dalam kesempatan macam itulah, beliau menyapaku sebagai "bocah udang", karena dahulu dia melihatku di suatu malam, untuk pertama kalinya, dalam posisi tidur melingkar.
    "Trenggiling juga melingkar, tetapi aku lebih senang menyebutnya bocah udang. Ia begitu kurus dan ringkih, tetapi berperan besar dalam kelanjutan hidupku." Begitu Tuan Markoni selalu memujiku.
    Aku hanya dapat mengatakan pada setiap orang yang mengenalnya, bahwa justru dirinyalah yang membuat hidupku kembali. Aku kembali dekat dengan Tuhan dan bisa menerima masa lalu sebaik menerima kenyataan-kenyataan sederhana yang Tuhan beri. Aku sering merasa tidak nyaman lantaran memikirkan tidak tinggal bersama ayah serta ibu angkatku. Belasan tahun aku sibuk kuliah dan hingga kini menggeluti pekerjaan di sebuah majalah raksasa dengan posisi penting, kian menyulitkanku untuk dapat pindah ke rumah di mana dulu Tuan Markoni pertama kali memangkuku.
    Namun, itu bukanlah masalah besar bagi beliau. Ayah angkatku itu malah berkata, "Sebaiknya kamu fokus pada hidupmu. Masa depanmu masih panjang. Carilah teman dan berbahagialah di sana. Kami yang tua ini jangan dirisaukan."
    Aku tahu yang dimaksud dalam obrolan begini adalah tentang aku yang baiknya segera menikah ketimbang terus menerus membujang. Aku tidak tahu harus menjawab apa, karena dulu saat malam-malam susahku berlangsung, saat rol film di mana adegan- adegan kebakaran itu diputar dalam kepalaku yang nyaris kosong, aku bersumpah tidak akan menikah sampai kapan pun. Aku bersumpah tidak akan memiliki seorang pun anak, karena tahu bagaimana rasanya kehilangan orang tua.
    Bagaimana jika kelak anak-anakku bernasib malang sepertiku? Bagaimana nanti jika aku mati bahkan sebelum mereka belajar dari kerasnya hidup? Aku tidak tahu apa ada Tuan Markoni lain di luar sana, yang masih muda dan kuat dan dapat menjaga serta merawat anak-anakku jika aku mati nanti? Aku tidak terlalu yakin. Sejak itulah sumpah ini kujaga dalam dada; aku tak pernah benar-benar menganggap serius para gadis yang memberikan tanda-tanda menyukai diriku dan aku sendiri tak pernah memberi harapan pada siapa pun. Hidupku benar-benar sendiri selama belasan tahun.
    Sumpah itu bertahan sekian lama sampai suatu hari kudengar kabar Tuan Markoni sakit keras. Aku baru tahu kondisinya yang sedang koma begitu tiba di rumah sakit. Ibu angkatku cuma bisa menangis tanpa menuturkan kronologis kejadian bagaimana orang- orang menemukan tubuh ayah angkatku tergeletak di tepi jalan saat membuang sesuatu di luar rumahnya.
    Ketika ibu angkatku sudah bisa tenang, barulah dia dapat bicara dan yang pertama kali disebut-sebutnya adalah calon istriku yang begitu lama dirindukan oleh suaminya. Katanya, "Setiap malam dia berdoa pada Tuhan. Dia selalu berdoa agar kelak anaknya satu-satunya, si bocah udang, menemukan tambatan hatinya. Dia berdoa agar kelak bisa menggendong cucu-cucunya sendiri."
    Hatiku berasa remuk mendengar itu. Kekacauan ini tidak kutunjukkan pada ibuku, karena aku segera pamit dengan alasan ingin mencari udara segar di luar. Dalam setiap langkahku menyusuri lorong rumah sakit menuju ke halaman parkir, air mataku menetes satu per satu.
    Di bawah sinar rembulan malam itu, aku bersumpah akan mencabut sumpah lama itu. Aku berjanji akan membawakan calon istriku untuknya, meski entah kapan dan entah bagaimana. Tentu saja aku juga berdoa supaya Tuhan sedia memberi kesempatan kedua agar malaikat penolongku, Tuan Markoni yang baik itu, dapat sadar dari komanya dan tersenyum karena hadirnya anak-anakku. [ ]
 
  Gempol, 4 Juni 2018

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya Museum Anomali (Unsa Press, 2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017), dan novel Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri