(Dimuat di Koran Tempo edisi 6-7 Oktober 2018)
Seorang lelaki melompati tubuh kereta api saat kendaraan itu melintas dengan amat cepat, tapi tak ada sepercik darah. Tak ada sepotong kepala atau bola mata manusia atau usus atau liver atau lambung atau jantung atau organ vital apa pun yang tergeletak di sepanjang rel, sehingga malam itu situasi di pinggiran kota tetaplah sunyi sebagaimana biasa.
Saya mendengar kabar seseorang telah kabur dari penjara sekitar tiga hari lalu, dan sampai detik ini, polisi belum mendapatkan petunjuk apa pun yang dapat mengantar mereka untuk sekali lagi meringkus bajingan laknat itu.
Dahulu, bertahun-tahun silam, laki-laki pemerkosa yang di suatu malam tertangkap mata seorang pemulung sedang melompat ke tubuh kereta yang melintas namun justru tak mati, membuat hidup seorang perempuan rusak.
Perempuan itu telah lama membangun hidupnya mulai dari nol; tanpa orangtua dan bahkan tanpa orang-orang yang sedia melindunginya. Tubuh gadis itu berbau tak sedap dan orang-orang pada masa itu kuat menduga betapa kelak gadis itu tidak akan pernah tumbuh jadi gadis yang cantik dan disukai banyak lelaki. Setiap hari, dia pergi ke mana pun membawa buku. Dia gemar membaca.
Sayangnya, waktu kerap berkhianat. Waktu membawa rahasia-rahasia Tuhan yang paling aneh. Suatu ketika orang-orang di lingkungan sekitar rumah yatim piatu malang itu terheran-heran melihat perempuan yang telah menjadi perawan matang, yang datang ke kampung mereka untuk bersilaturahmi. Ternyata dia anak yang dulu kerap dipandang sebelah mata.
"Saya bisa begini bukan semata karena usaha saya sendiri. Tuhan dan orang-orang lain juga ikut berperan," begitulah si gadis selalu merendah.
Padahal, prestasinya yang menonjol di sekolahlah yang membuat hati pengusaha tua kaya raya yang tak punya istri atau anak bertekad mengadopsinya dan memberinya pendidikan setinggi mungkin. Sejak hari itu kehidupannya mulai terjamin. Di usia tujuh belas, gadis yang dulunya kecil, gemuk, hitam, dan bau, kini berubah menjadi perawan yang menawan. Pola hidup sehat diterapkan padanya sehingga kini dirinya benar-benar berubah dari sisi penampilan.
Sementara itu, nun jauh di sebuah kota kecil yang busuk, seorang lelaki tak sengaja melihat selebaran berisi janji-janji manis seorang motivator. Dia dengan nekat pergi ke kota sebelah dan mendatangi acara itu, yang ternyata hanya melahirkan kekesalan tak berujung di benaknya. Ia pun pergi dari gedung itu sebelum acara kelar, dan di sanalah pertemuan mereka terjadi; si perempuan yang dulunya dekil dan bau, tetapi kini sangat menawan dan harum, baru selesai menghadiri janji temu bersama beberapa calon rekan bisnisnya di seberang jalan, di sebuah tempat ngopi untuk kalangan anak-anak muda perkotaan, ketika langkahnya yang buru-buru membuatnya secara tak sengaja menabrak lelaki kampungan dari kota kecil yang kumuh.
Mereka bersitatap sejenak dan si lelaki pun berkata bahwa dia akan datang di acara yang ada di gedung tertinggi di area itu. Si perempuan juga berkata sama dan pergilah mereka berdua ke sana.
Bagi saya, cerita ini kadang-kadang bagai semacam naskah drama yang amat jauh dari kata logis. Bagaimana mungkin? Apa yang Tuhan pikirkan saat mereka bertabrakan? Saya benar-benar tidak paham. Saya juga tidak paham bagaimana mungkin perempuan itu tidak menaruh curiga pada lelaki cabul yang diam-diam menganggap kunjungannya ke kota ini harus membawa keuntungan baginya? Jika tak dalam bidang bisnis properti yang amat gelap bagi otaknya, boleh saja yang lain. Tubuh indah gadis itu terngiang tak henti di kepala iblisnya.
Demikianlah. Malam itu adalah malam bencana. Saya tidak bisa cerita detailnya. Ia hanya pulang begitu saja dengan hati remuk redam dan mental yang pecah berserakan dan barangkali tak akan pernah dapat dikembalikan. Saya mati-matian menahan sakit di dada yang sudah lama saya idap, sebuah penyakit dalam yang saya rahasiakan dari siapa pun, termasuk gadis tadi. Tetapi, pada akhirnya mereka pun tahu. Saya tumbang karena tak tahan mendengar kabar pemerkosaan itu.
Berhari-hari saya tidak sadarkan diri, tetapi beberapa orang kepercayaan berhasil menghimpun informasi dan akhirnya polisi bergerak meringkus pelakunya. Gadis itu tidak peduli pada apa pun lagi. Ia hanya menoleh dan menatap mata saya dengan cara yang sulit dijelaskan sebagai cara orang waras, ketika saya bilang, "Sekarang si biadab itu menelan akibatnya."
Beberapa hari kemudian, gadis itu mati gantung diri.
Sampai berbulan-bulan kemudian, saya tidak tenang. Kerap mimpi buruk datang, dan saya berharap saya dapat menjadi mimpi buruk bagi seseorang. Di mimpi itu, saya digantung dengan rantai, tetapi saya masih bisa bernapas, dan hanya tak bisa bergerak atau kabur ke mana pun. Pelakunya tertawa-tawa bersama beberapa ekor iblis di sisinya.
Saya bersumpah bakal memburu lelaki itu sampai dapat. Saya bersumpah, bahkan meski kabar yang tersiar mengatakan betapa dia tidak akan bisa mati karena suatu ilmu hitam yang dipelajarinya sejak lama. Memang begitu yang kemudian dikonfirmasi oleh seorang pemulung. Ia pernah berurusan dengan pria itu, dulu sekali, saat mereka masih muda, dan dia bahkan tidak terluka walau ditebas parang berkali-kali.
"Bahkan kereta yang melintas saja dilompatinya begitu saja. Seperti di film James Bond, Pak!" kata seorang pemulung.
"Anda yakin memang dia orangnya?"
Seorang teman membantu dengan menyodorkan selembar foto lelaki pemerkosa itu. Si pemulung mengangguk yakin. Tidak diragukan lagi. Lokasi itu cukup terang dengan adanya beberapa tiang lampu yang agaknya belum lama dibangun. Tidak ada jejak apa pun. Padahal saya berharap menemukan sebutir mata atau jari tangan seseorang.
Kami pun diam beberapa lama dan membayar pemulung itu dengan sejumlah uang yang membuatnya terlihat girang. Ia berterima kasih empat kali dan sempat berkata jika seluruh informasi tadi sebetulnya diberikan secara ikhlas olehnya tanpa mengharap uang atau apa.
Pemulung itu tentu tidak tahu seberapa penting mendapatkan lelaki bejat yang bisa kabur dari penjara itu untuk saat ini. Dia juga tidak tahu seberapa dalam rasa cinta saya pada gadis yang mati bunuh diri setelah diperkosa oleh lelaki yang pura-pura tidak tahu apa pun saat hadir di acara seminar bisnis beberapa bulan silam. Dia juga tidak tahu apa yang terjadi pada kami saat pertama kali kami bertemu. Pada saat itu, orang-orang panti saling berbisik, tetapi saya tahu, seburuk apa pun gadis itu di mata mereka, dia berhak mendapat masa depan yang layak. Karena itulah saya merawatnya.
Jika ada seseorang yang merusak hidupnya, dengan sayalah dia harus berhadapan. Tak peduli ilmu hitam apa pun yang dia miliki, saya tetap melanjutkan pengejaran yang tak pernah benar-benar berhasil dijalankan aparat berwenang hingga berbulan ke depan.
Seorang lelaki melompati tubuh kereta api saat kendaraan itu melintas dengan amat cepat, tetapi tidak ada sepercik darah. Saya bisa membayangkan adegan gila macam itu. Saya yakin, pada saatnya, lelaki itu akan mati. Ada banyak cara yang dapat saya perbuat. Dengan uang, saya bisa membayar iblis mana pun untuk memberinya pelajaran. Semua hanya soal waktu. [ ]
Gempol, 29 Juni-2 Oktober 2018
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya Museum Anomali (Unsa Press, 2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017), dan novel Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018).