Skip to main content

[Cerpen]: "Mudakir dan Sejarahnya yang Tak Akurat" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Mojokerto edisi 7 Oktober 2018)
 
    Mudakir memacu motornya bagai kesetanan. Orang-orang di jalan bergelimpangan setelah dengan brutal dia tendangi satu per satu. Ya, orang-orang itu adalah pengendara motor lain di jalan raya. Tentu saja di antara mereka ada yang pingsan, ada yang bangun lalu memaki-maki, dan bahkan ada yang tidak sempat menyadari kalau mereka sedang menggelinding di aspal, sebab terlebih dulu tubuh mereka disambut kendaraan lain dari belakang.
    Aku tadinya tidak tahu penyebabnya. Aku hanya sedang makan rawon di suatu warung, lalu orang-orang berteriak dan kudengar umpatan salah satu korban Mudakir. Aku keluar bersama orang-orang lain yang kemudian memadati trotoar dengan saling pandang dan bertanya, "Apa yang membuat lelaki bujang lapuk itu begitu?"

    Sebenarnya sudah bertahun-tahun orang menganggap Mudakir tidak waras. Hanya saja, dia bekerja seperti orang-orang lain. Dia juga bersosialisasi sebagaimana yang aku serta setiap orang lakukan. Dia bahkan gabung ke sebuah komunitas pencinta sastra di luar kota.
    Bagiku, Mudakir tidak seperti yang orang-orang katakan, tetapi sebagian besar orang percaya Mudakir tidak waras. Itu karena dia sering melamun dan menggumam di waktu-waktu tertentu ketika tidak ada apa pun yang dikerjakan.
    "Wah, lagi kumat dia," celetuk seseorang di sampingku.
    "Jangan-jangan patah hati?"
    "Mungkin."
    "Bisa jadi."
    "Pasti."
    "Atau jangan-jangan sudah tidak tahan lagi. Mungkin sebentar lagi dia benar-benar masuk rumah sakit jiwa."
    Aku tidak lagi mendengar kata-kata setiap orang di sekitarku, karena kemudian aku malah membayar nasi rawon yang belum sempat kuhabiskan dan memutuskan mengejar motor Mudakir. Karena motor Mudakir melaju kencang, aku harus ngebut.
    Sepanjang jalan itu kudapati banyak sekali pemandangan orang berbaring di jalan dan setiap tubuh yang berbaring itu dikerumuni sekelompok kecil orang. Jika biasanya di jalanan kita melihat korban kecelakaan dirubung oleh banyak orang, maka pada saat ini, keadaannya lain. Pada saat ini, jumlah penonton dengan kamera di tangan masing- masing terbagi untuk sekian banyak spot. Pastinya pemandangan ini cukup membuatku heran. Atas dasar apa Mudakir bisa sampai senekat ini?

    Aku tak percaya Mudakir berpotensi menjadi sinting suatu hari nanti, karena kami berteman cukup akrab. Jadi, aku tahu Mudakir seperti apa. Dia memang suka melamun dan lamunannya itu kadang-kadang membuatnya tidak fokus ketika diajak berbicara; ia bisa berada di suatu tempat yang jauh dari fisiknya ketika diajak bicara entah soal apa, sehingga jawaban yang keluar dari mulutnya sering tidak cocok.
    Lamunan Mudakir tidak jarang membuatnya terperosok ke selokan ketika sedang enak berjalan kaki atau menabrak pohon atau kucing atau ayam atau sepeda motor atau mobil yang parkir, atau pernah kejadian ia tidak sengaja menabrak seorang gadis SMA dan sampai berbulan-bulan Mudakir jadi bahan gosip orang-orang bermulut busuk. Dia dianggap mesum.
    Menurutku, Mudakir memang suka kepikiran akan banyak hal dan inilah yang tak membuatnya jadi orang yang asyik diajak bergaul. Banyak yang mengatakan tentang itu, tetapi aku tidak masalah. Aku memahami keaslian Mudakir. Barangkali dia memang banyak kepikiran karena kehidupannya tidak semudah yang orang-orang bayangkan.
    Sementara memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang jadi penyebab si Mudakir bertingkah edan pagi itu, aku terus menambah laju motorku sambil meliuk ke kanan dan ke kiri, karena menghindari kelompok-kelompok kecil orang-orang berkamera di tengah jalan, yang menolong atau cuma merekam siapa pun yang ditendangi oleh Mudakir.
    Di antara orang-orang ini, tidak sedikit yang bisa bangkit dan ikut mengejar motor Mudakir, sehingga pagi itu, jalan raya yang biasa digunakan secara wajar oleh warga di sekitar sini, menjadi bagaikan arena balap dengan korban-korban tabrak lari yang jatuh bergelimpangan.
    Di antara motor-motor yang melaju di belalang Mudakir (termasuk motorku juga), kulihat tidak ada kendaraan lain seperti mobil atau truk. Mobil-mobil yang lebih bagus dan kinclong memilih menepi demi cari aman. Ada juga mobil-mobil rombeng yang tak ingin ketinggalan ambil bagian, tetapi mobil mereka kalah kencang sehingga tertinggal jauh di belakang.
    Pada akhirnya, setelah sekitar sepuluh menit ngebut, setelah kami semua yang lagi mengejar Mudakir mencapai jalan raya yang diapit persawahan luas, jarak yang harus kami tempuh tinggal beberapa ratus meter. Motor Mudakir mulai tak stabil dan sesekali oleng ke kanan atau ke kiri, dan sesekali bahkan ban depan motor yang dia kendarai itu terangkat ke atas.
    Aku tidak tahu bagaimana nanti nasib Mudakir jika sampai orang-orang yang ada di sekitarku ini, yang ikut mengejarnya, yang sebagian besar adalah mereka yang kena tendangan brutal Mudakir hingga bergelimpangan di jalan raya, dapat menangkapnya? Apa mereka langsung menghajarnya sampai babak belur dan kehilangan seluruh gigi- geliginya? Apa mereka menendanginya sampai mati? Apa mereka bakal membakarnya bersama motornya sampai nyawanya tidak tertolong?

    Aku berusaha menjadi yang terdepan di antara para pengejar, dengan maksud agar bisa mengajak bicara Mudakir terlebih dulu tentang apa yang jadi latar belakang dia menggila. Mungkin kami tidak bisa bicara banyak seperti di saat sedang berada di suatu meja dengan dua gelas kopi dan beberapa camilan, tetapi aku bisa menanyakan satu hal secara singkat kepadanya soal kenapa dia begini? Mungkin sesudah itu Mudakir akan membuat semua menjadi jelas.
    Bisa jadi dia hanya pusing oleh suatu masalah, dan itu bisa membuat orang-orang yang kadung terbakar emosi, yang mengejarnya bersamaku ini, dapat teredam dan tidak menghajar Mudakir sampai terluka atau mampus. Lelaki lajang yang tua itu hanya akan dibawa ke kantor polisi dan urusan menjadi lebih aman bagi semua orang. Tak ada main hakim. Tak ada lagi yang terluka dan celaka sebagaimana yang Mudakir sebabkan.
    Hanya saja, belum sampai kususul motor Mudakir, tiba-tiba saja motornya belok ke tepi jalan dan melintasi tanah bergeronjal sehingga dari belakang sini, dapat kulihat dia bersama motornya tampak melompat-lompat bagaikan kuda bersama sang majikan. Tak berapa lama, motor Mudakir menabrak gerobak yang terparkir dan tubuhnya yang kurus kering pun melayang setinggi beberapa meter, melesat ke depan, lalu jatuh entah pada bagian tanah atau aspal, serta dengan posisi yang entah bagaimana.
    Kami tahu Mudakir langsung tewas setelah menemukan tubuhnya berbaring dalam posisi tengkurap dengan leher yang patah. Maka, orang-orang yang tadinya emosi tidak mungkin berbuat apa-apa lagi terhadap dirinya. Mereka hanya berdiri dan mengumpat dan sebagian lagi ada yang menelepon entah siapa. Aku memeriksa tubuh teman lamaku ini dan menyadari dia tidak membawa apa-apa.
    Tak lama setelahnya warga sekitar TKP pun bergerumbul di situ, dan tentu petugas kepolisian juga datang. Aku hanya melihat-lihat saja dan mendengar berbagai spekulasi bermunculan di antara orang-orang yang menonton, yang sebagian dari mereka memang tahu dan kenal Mudakir sebagai tetangga, tetapi tidak benar-benar mengenalnya, karena tetap menganggapnya sinting.
    "Wah, ini sih orang gila, Pak. Memang dari dulu tidak pernah bikin onar, dan tidak tahu kenapa baru kali ini," kata seseorang.
    "Saya tahunya Mudakir memang kurang waras. Banyak yang setuju dan saya kira memang betul, Pak," kata yang lain.
    Kira-kira setengah jam kemudian aku pergi dari situ tanpa mendapat informasi soal penyebab tingkah nekat Mudakir. Aku tidak bisa berpikir dengan tenang dan mulai ikut menganggap bahwa dia mungkin memang gila. Tak ada orang waras yang menendangi para pemotor lain di jalan seperti itu.
    Beberapa hari kemudian, seorang perempuan datang ke rumahku dan berkata ingin mencari Mudakir. Aku tidak tahu siapa dia dan bingung. Jika dia mencari si Mudakir, kenapa harus pergi ke rumahku?
    "Lho, saya kira ini rumah Mudakir? Dia bilang rumahnya nomor 34, lho."
    "Bukan. Saya teman Mudakir. Rumahnya ada di pojok gang ini. Yang ada kandang ayamnya."
    "Wah, kalau begitu saya ke sana dulu."
    "Dia sudah meninggal."
    Wanita itu tampak kaget. Beberapa detik dia seperti terbengong dan melamunkan sesuatu. Lalu menangis. Aku tidak tahu siapa wanita ini, tetapi dia menangis di halaman rumahku setelah tahu kabar kematian seorang teman lama yang mati dengan cara paling aneh yang dapat kupikirkan.
    Setelah kuajak masuk dan kubiarkan dirinya tenang, baru dia bercerita kalau dia ini pacar Mudakir. Mereka tidak bisa menikah karena orang tua si pacar tidak memberinya izin. Entah Mudakir yang terlalu tualah baginya, atau cuma buruh pabrik dan penyair tanpa masa depanlah, dan lain sebagainya. Yang membuat wanita itu menangis adalah: dia baru saja kabur dari rumah untuk mengajak Mudakir kawin lari. Dia nekat begitu, karena telanjur cinta pada si penyair. Hanya saja, Mudakir lebih dulu mati. Mati dengan cara yang membuatnya dikenang sebagai lelaki tidak waras, meski sebetulnya tidak. [ ]
   
    Gempol, 29 Januari - 11 Juli 2018

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya berjudul Museum Anomali (Unsa Press, 2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017), dan Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri