Skip to main content

[Cerpen]: "Rahasia di Lantai 4" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Mojokerto, Minggu, 18 Februari 2018)
 
    Aku pindah ke hotel ini dua hari lalu setelah diusir istriku yang curiga bahwa aku telah selingkuh. Sebenarnya aku tidak selingkuh, tetapi aku terpaksa pergi dari rumah dan menyelesaikan masalah kami dengan baik-baik tanpa ribut. Jadi, kupikir, menginap di luar rumah adalah solusi terbaik. Istriku tidak akan bisa berhenti mengomel saat dia sedang kalap.
    Hanya saja, sejak check-in sampai detik ini aku belum bisa tidur. Ada yang aneh di salah satu kamar pada lantai teratas, yang berada persis di atas kamarku. Tiap malam di jam tertentu kudengar keributan di sana. Seakan-akan diadakan semacam pesta dan para penghuni kamar itu bebas berlompatan ke sana kemari. Seakan-akan mereka tidak tahu bahwa siapa pun yang menginap di hotel ini juga butuh istirahat.
    Pada awalnya, tentu aku tidak terganggu dan berpikir, bahwa kebetulan saja diriku check-in ke hotel ini di saat yang bersamaan dengan diadakannya pesta mereka. Tetapi, sampai pagi berikutnya, setelah aku pergi mencari sarapan dan kembali ke kamar, orang -orang itu tetap tidak berhenti berpesta.
    Aku memang tidak mendengar ada suara musik di sekitar kamar itu, karena lantai yang membatasiku dengan kamar tersebut terlalu tebal, sehingga yang kudengar hanya gebukan beberapa kaki yang tampaknya dengan sengaja melompat terus menerus, dan dari sinilah aku menyimpulkan orang-orang itu mungkin berpesta.
    "Anda tidak boleh memastikan apakah mereka berpesta atau bukan, jika tidak tahu ada suara musik atau tidak," kata seseorang yang meminta izin padaku untuk duduk di meja yang kutempati saat makan malam tiba. Orang itu bertanya-tanya perihal wajahku yang lelah dan kusut.
    "Saya memang tidak mendengarnya, tetapi saya yakin mereka melompat-lompat," kataku.
    Aku tidak terlalu sering bersosialisasi, tetapi karena orang itu terus berbicara dan memancing obrolan, terpaksa kutanggapi sampai makananku habis. Begitu selesai, dia memberiku kartu nama dengan alasan siapa tahu suatu hari aku butuh jasanya mendekor ruangan.
    "Itulah satu-satunya pekerjaan saya sejak puluhan tahun lalu," katanya.
    Setelah memberinya kartu namaku juga, yang sebenarnya sudah tidak berlaku, aku kembali ke kamar dan berbaring di tempat tidur sambil terus mengamati lampu kamarku yang terlihat sedikit bergetaran akibat lompatan orang-orang di kamar atas.
    Tentu saja aku telah bertanya pada manager hotel empat lantai ini, tetapi dia cuma memberiku jawaban yang tak memuaskan. Posisi kamar di tiap lantai tidak selalu sejajar dan dia sendiri tidak dapat memastikan kegaduhan itu datang dari kamar nomor berapa. Di lantai empat sendiri hanya satu ruang yang kosong, yang berisi barang-barang punya pemilik hotel; itu pun posisinya terlalu jauh kalau aku ingin menyejajarkannya dengan posisi kamarku yang di lantai tiga.
    "Saya bahkan tidak dapat menemukan denah bangunan ini, sebab asal Anda tahu, hotel ini bangunan yang tua. Kemungkinan kamar di atas kamar Anda antara nomor 41, 42, atau 43," kata orang itu.
    "Bagaimana saya bisa menemui tamu ketiga kamar itu? Saya butuh tidur. Mereka seakan-akan tidak tahu tata krama."
    Sayangnya, manager hotel tidak memberiku informasi karena data tamu tak boleh dibocorkan ke siapa pun. Tetapi, dia memberiku saran agar lebih banyak menjalin relasi dengan para tamu dari lantai empat. Siapa tahu, aku dapat menemukan siapa si pembuat kegaduhan. Sebenarnya aku bisa saja pergi dari sini dan memilih menginap di hotel lain, tapi aku telanjur membayar penuh untuk menginap selama tujuh hari, karena selama itu pula aku kira aku bisa membangun kembali jalan damai dengan istriku yang sudah salah paham.
    Aku sudah tidak punya uang, karena baru saja dipecat oleh perusahaan, yang tentu belum sempat didengar oleh istriku. Ditimpa masalah ganda seperti ini membuatku tak sanggup pergi selain ke hotel mana pun yang murah, padahal aku masih ada beberapa kerabat atau teman dekat yang tinggal di kota sebelah. Aku hanya tidak mau harga diri sebagai lelaki runtuh di mata orang-orang yang selama ini mengenalku sebagai pejuang sejati.
    Demi membuat hidupku setidaknya sedikit tenang dengan dapat tidur nyenyak di hotel ini, aku ikuti saran manager tadi dan mulai berbicara dengan satu-dua orang di saat sarapan atau makan malam. Pada hari ketiga, saat kepalaku nyaris pecah gara-gara tidak tidur sama sekali, orang yang memberiku kartu nama tempo hari bilang, bahwa dia sedang memulai semacam pesta.
    "Kalau tidak salah, Anda membuka pesta sepanjang waktu selama 24 jam non-stop, ya? Anda tinggal di kamar mana?" tanyaku dengan sinis.
    "Maksudnya? Saya baru saja akan membuka pesta, sebab anak saya akan berulang tahun, dan saya mengundang juga istri yang sudah saya ceraikan empat tahun lalu agar pesta kami bakalan seru," katanya.
    Kutanyakan kepadanya apa tujuan mengundang penghuni hotel ini ke pesta ulang tahun anaknya, padahal dia tidak benar-benar mengenal siapa aku dan aku sendiri yakin bukan hanya aku saja yang diundang. Apa tujuannya? Bukankah akan jadi aneh pesta itu didatangi oleh orang-orang asing di hotel macam ini? Apa juga tujuan dia menginap di sini?
    Mendengar pertanyaanku yang bertubi-tubi, pria aneh itu mohon diri setelah secara gamblang memintaku untuk mengembalikan kartu namanya, dan juga memberikan lagi kartu nama yang kemarin kuberikan kepadanya. Setelah kami berpisah, seseorang yang ada di dekatku berbisik, "Orang itu gila, Pak. Harap maklum."
    Aku pun mendengar penjelasan pelayan hotel yang bicara tentang si lelaki gila di kamar nomor 41, yang kehilangan istri dan anaknya dalam suatu insiden penembakan oleh seorang maniak empat tahun lalu. Pada saat itu, keduanya mati tertembak persis di kepala. Sejak hari itu, dia tidak sanggup tidur di rumah sendiri sehingga di hotel inilah dia tidur dan makan. Karena terlalu kaya, pemilik hotel tidak persoalkan apakah dia gila atau tidak, selama kerabat sekaligus pengacaranya rutin membayar biaya menginap di hotel ini tiap sebulan sekali.
    Sejak mendengar penjelasan itu, aku merasa wajar dengan apa yang terjadi di atas kamarku. Kemungkinan besar pria itulah yang membuat gaduh hampir sepanjang waktu. Aku tidak paham seberapa besar energi yang dia butuhkan untuk membuat agar suara lompatan itu terdengar tiada henti di kupingku, tetapi kuduga ada saatnya dia berhenti, dan itu mungkin saja terjadi secara kebetulan ketika aku ke luar kamar untuk mengisap rokok atau ke bar untuk beli minum.
    Besoknya, seorang tamu di lantai empat check-out dan aku segera menemui sang manager di kantornya supaya dapat memberiku peluang menukar kamarku. Kukatakan aku tidak dapat tidur selama tiga hari terakhir dan sangat butuh tidur. Aku tidak dapat tidur oleh suara gaduh di atas kamar, sekalipun itu cuma berasa bagai gebukan-gebukan drum yang samar.
    "Bagi telinga saya yang tajam, tetap saja suara itu gaduh," kataku.
    Akhirnya, orang itu bersedia menukarkan kamarku dengan kamar kosong yang tak lama ditinggalkan tadi. Kamar itu berada di lantai empat. Pada malam keempat, barulah aku bisa benar-benar tidur.
    Sayangnya, tidurku tidak bisa nyenyak. Aku bermimpi aneh. Aku melihat pria yang kehilangan keluarganya itu membawa koper dan pergi menjauh, lalu di dekatku berdiri seekor monyet berbulu merah. Monyet itu mengikutiku ke mana pun aku pergi. Tidak peduli kuusir dengan cara bagaimanapun, dia tetap mengikutiku. Pergi ke toilet, dia ikut. Pergi ke dalam sumur, dia juga ikut. Aku sangat kesal dan memukul kepala monyel sial itu sampai dia berdarah-darah dan linglung, tapi tetap saja dia mengikutiku ke mana pun aku pergi.
    Begitu terbangun, aku mendapati punggung dan leherku lelah. Aku ingin berbaring saja lebih lama di kamar ini dan memesan sarapan untuk diantar oleh petugas dari dapur. Saat menunggu sarapanku itulah, lagi-lagi kudengar suara gaduh itu.
    Kamar nomor 41 berjarak tiga kamar dari ruanganku kini. Semalam tidak ada suara apa pun, tapi pagi ini mendadak ada. Memang tidak semengganggu sebelumnya, sebab kali ini suaranya lebih samar. Tetapi, aku penasaran dan rasa penasaran ini membuatku bernafsu untuk pergi dan melihat apa yang sebenarnya pria itu lakukan di kamarnya.
    Aku pun mengenakan kemeja dan melangkah ke luar, dan menghadap pintu nomor 41 dengan menajamkan telinga. Tidak terdengar suara apa pun. Aku terus berdiri di situ sampai beberapa detik kemudian kudengar suara pintu digebuk-gebuk. Aku menoleh ke belakang dan melihat kamar nomor 43, yang berada persis di pojok belakang gedung ini, yang juga sekaligus berada persis di lantai teratas. Dari situ ternyata asal-muasal suara ini. Siapa sebenarnya pembuat gaduh itu, jika bukan pria kesepian yang menjadi sinting, yang barusan keluar dari kamar nomor 41 untuk mencari sarapan? Aku tempelkan salah satu telingaku ke daun pintu kamar nomor 43 yang mendadak sunyi setelah pria gila tadi keluar dari kamar nomor 41.
    Dengan penasaran yang makin tak keruan, kudorong pintu nomor 43, yang ternyata tidak dikunci, dan baru kali itulah aku tahu betapa sang pembuat gaduh adalah seekor monyet. Aku lari, sebab dia bukanlah monyet biasa. Aku lari sampai jatuh berguling di anak tangga ke lantai tiga, lalu pingsan setelah melihat monyet itu berdiri tak jauh dari tubuhku.
    Tidak tahu berapa lama aku pingsan, tapi besoknya aku bangun di kamar yang lain dan dengan kondisi tubuh yang jauh lebih bugar. Aku bahkan bisa langsung melompat dengan jarak dua meter dari tempatku berbaring santai. Aku bisa melompat selama yang aku bisa, sebab tempat ini mirip penjara. Jeruji baja mengepungku dari segala penjuru. Dan yang kupikirkan cuma satu: bagaimana agar orang-orang di dekat sini tahu betapa aku sedang dipenjara oleh entah siapa, tanpa pernah berbuat salah? Kuharap tidak lama setelah ini ada yang datang dan membukakan gembok penjara aneh ini untukku. [ ]
   
    Gempol, 8 Desember 2017-13 Februari 2018

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya Museum Anomali (Unsa Press, 2016) dan Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri