Skip to main content

[Cerpen]: "Megalomania" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Mojokerto, Minggu, 9 Desember 2018)
 
    Lelaki berbaju polisi menghentikanku. Aku baru keluar dari WC umum. Ia bilang, "Mari ikut saya!"
    Kukatakan bahwa aku tadi ketiduran di terminal dan sekarang harus pulang. Sudah jam dua belas malam dan langit kini gerimis. Ia tidak peduli dan mengeluarkan sepucuk revolver.
    "Pokoknya Anda harus ikut!"
    Demi terhindar dari kesulitan, aku patuh. Kuikuti polisi itu, yang berkepala botak, dan di puncak kepalanya ada tahi lalat begitu besar. Aku melangkah dan melirik bagian itu, karena aku lebih tinggi darinya. Polisi itu sadar kelakuanku dan bilang, "Jika masih mau hidup, sebaiknya jangan berpikir mencoblos tahi lalat saya!"
    Kalimat itu begitu jelas, tapi kurasa kepalaku sedang pusing. Aku baru bangun dari tidur dan belum sepenuhnya sadar selain mengingat bahwa aku harus pulang sekarang juga, jadi kupikir barangkali ada yang salah di otakku. Kutanyakan apa yang barusan si polisi katakan.
    "Jangan berpikir mencoblos tahi lalat saya! Anda tuli?!" jawab polisi itu jengkel.
    Aku tidak tahu kenapa ada peringatan seaneh itu. Jika saja ia katakan agar aku tak berpikir yang aneh-aneh tentang tahi lalatnya, misalnya menjadikannya tumpuan sepatu, itu masih dapat kuterima. Kepala adalah tempat mahkota dan tidak pantas sepatu siapa pun bertengger di sana. Tapi, mencoblos tahi lalat?

    Ingin kutanyakan apakah polisi ini waras atau apakah ia hanya seorang yang gila dan menderita waham megalomania, sehingga meski bukan polisi ia mengaku polisi dan menodong-nodongkan revolver kepada seseorang yang baru keluar dari WC umum?
    Atas dasar pikiran itu, kuberanikan diri bertanya, sesuatu yang harusnya sejak awal kusadari, apakah ia punya surat perintah untuk ini? Polisi itu berhenti dan balik badan. Ia kembali mengulurkan tangan lengkap dengan revolver-nya ke arah jidatku.
    "Jangan banyak bacot. Pokoknya, saya bilang Anda ikut, dan Anda ikut. Paham?!"
    "Saya tidak salah, dan semua orang biasanya boleh ketiduran."
    "Bukan soal itu. Ayo, jalan! Jangan mbacot saja. Anda tahu Anda sudah membuang banyak waktu saya?!"
    Polisi itu menyuruhku berjalan di depan, setelah tadinya kami berjalan bersisian. Ia sepertinya sadar aku tidak mau sepenuhnya dikontrol, tetapi aku hanyalah orang yang tidak tahu apa-apa tentang senjata, dan aku juga tidak menguasai ilmu pencak silat. Aku juga tak mungkin menipunya dengan bersilat lidah, sebab aku bukan orang yang pintar bicara. Segala tentangku jelas kalah jika dibandingkan dengan si polisi ini. Hanya tinggi badanku yang unggul. Tapi, dalam kondisi begini, itu tidak berguna.
    Setelah beberapa jauh kami melangkah, kesadaranku sepenuhnya kembali dan aku mulai kelaparan. Aku ingat, lebih 24 jam aku tidak menelan makanan, karena perasaan depresi yang kurasakan akibat tekanan orang-orang kantor. Aku pikir, polisi itu paham jika kubilang baik-baik bahwa kami butuh mampir ke mini market atau apalah, agar aku bisa beli sepotong roti di sana.
    "Anda tidak butuh makan," kata polisi itu kaku.
    "Saya lapar!"
    Polisi itu tidak peduli dan menyuruhku masuk ke mobilnya. Aku tidak tahu kenapa polisi berkepala botak dengan tahi lalat yang begitu besar ini memarkir mobilnya begitu jauh dari WC tempat kami ketemu. Ia bisa saja parkir di sembarang tempat, sebab ia polisi dan tidak mungkin terkena tilang karena parkir sembarangan. Ia polisi dan bebas mau berbuat apa.
    Polisi itu menatapku geram, karena aku tidak juga masuk, malah melihat kondisi di sekitar mobilnya yang penuh dengan tumpukan sampah dan beberapa ekor tikus sedang berpesta di sana. Setelah aku masuk, kuperhatikan polisi itu tidak juga masuk ke bangku kemudi, melainkan mengusir tikus-tikus yang kini merambat naik ke atas mobilnya. Ia berusaha cukup lama sampai aku merasa bosan dan membuka pintu belakang.
    "Tetap di dalam! Atau Anda saya tembak!" katanya seraya mengacungkan revolver.
    Aku benci dibeginikan, seolah aku makhluk paling berdosa yang sangat berbahaya di dunia. Seolah aku sudah berbuat kejahatan tingkat internasional dan berhak dihukum suntik mati atau disiksa dengan cara-cara yang tak lazim sampai mati.
    Tetapi, karena posisiku pasti kalah, kubiarkan polisi itu menyuruhku masuk dengan cara kasar. Kira-kira lima belas menit kemudian ia selesai mengusir para tikus dan mulai membawa mobilnya menjauh dari area tersebut. Polisi ini bilang, sudah lama ia menanti hari ini, hari di saat ia datang menjemputku. Aku tidak tahu salahku apa. Aku mungkin pernah berbohong dan meniduri istri temanku atas dasar suka sama suka, tapi aku tidak pernah berbuat hal-hal selain itu yang melanggar hukum.
    Polisi itu tertawa mendengar keluhanku. Ia bilang, "Kesalahan Anda terlalu banyak dan Anda jadi buta dalam memahami mana yang benar dan mana yang salah. Lebih baik mulut Anda ditutup, atau mau saya ambilkan kawat dan saya jahit mulut yang tidak tahu aturan?!"
    Polisi itu mengoceh sambil terus menyetir dan sesekali melirik ke belakang melalui kaca spion. Aku hanya mengangkat bahu tak berdaya.
    Demikianlah, aku memasrahkan diri dibawa polisi tanpa tahu apa salahku. Mobil melaju meninggalkan kota dan sampai di tempat yang begitu jauh. Kurasa sudah empat jam kami di dalam mobil dan tidak berhenti sama sekali. Polisi botak itu terus memacu gas, melalui jalan-jalan yang asing bagiku, dan perutku yang lapar kini berubah menjadi semacam serigala yang menghuni lambung manusia.
    "Saya mohon, hentikan sebentar dan kita cari makan. Saya lapar dan lambung saya bermasalah," kataku.
    Polisi itu menatapku dan akhirnya mobil berhenti di depan sebuah toko makanan. Aku tak pernah tahu ada toko makanan seperti itu. Bentuknya seperti warung tradisional di Jepang, yang menjual daging ikan mentah kesukaan anak muda. Di sana juga tersedia daging ikan mentah, tetapi aku enggan makan itu. Aku hanya minta seiris roti atau apa pun yang berbau Indonesia, dan tentu saja matang.
    Pemilik warung, yang berwajah sendu dan keriput, mengangguk lemah. Ia kembali beberapa menit kemudian dari dalam dengan membawa mangkuk berisi rawon dan nasi hangat. Polisi aneh itu, yang duduk di sampingku, menyuruhku makan kurang dari satu menit, sebab kami harus datang tepat waktu.
    "Saya bukan buaya yang memakan mangsanya cukup dengan sekali caplok, tetapi demi Bapak Polisi yang saya segani dan hormati, saya harus menjadi kuda nil, sekalipun mulut saya kecil!" kataku dengan jengkel.
    Kurang dari semenit, aku selesai. Polisi itu membayar makananku dan meminta si penjaga warung tradisional Jepang tersebut untuk tutup mulut dan tidak bersaksi pernah melihat kami berdua mampir makan di situ. Si pemilik warung yang sudah tua berkedip dan meringis sehingga barisan giginya yang hitam keropos kelihatan.
    Mobil polisi itu kembali kutumpangi, tetapi kini aku disuruh duduk di sisi bangku kemudi. Polisi itu mengaku ingin kami berbicara santai saja, sebab dia bosan bertugas seharian dengan urat leher super-tegang.
    "Lagian," kataku, "Anda sendiri yang membikin tegang suasana."
    Polisi itu menyuruhku diam. Ia tidak minta aku bicara banyak, tetapi ia hanya mau kudengarkan curahan hatinya sebagai seorang polisi. Ia bercerita bahwa selama menjadi polisi, ia tidak pernah melihat orang setabah dan sebodoh aku. Tapi ia bersyukur karena hal itu memudahkan tugasnya.
    "Dahulu pernah ada orang yang brengsek. Orang itu keras kepala dan menantang saya duel seperti di film koboi. Saya pakai revolver dan dia bawa bazooka. Bayangkan, apa yang bisa saya perbuat? Pada akhirnya saya menang. Saya tidak perlu cerita dengan cara apa saya bisa menang. Pokoknya orang itu berhasil saya kalahkan."
    Polisi aneh itu terus bercerita hal-hal gila dan tak masuk akal, dan aku cuma diam manggut-manggut, sambil memikirkan ke mana sebenarnya arah tujuan kami? Mobil ini tidak jelas dibawa ke mana dan si polisi sepertinya membelokkan kendaraannya semau- mau hati. Lagi pula jarak yang kami tempuh terlalu jauh bagi sebuah mobil polisi untuk membawa penjahat. Aku rasa ia mungkin bukan polisi, dan barangkali ia memang orang gila dengan waham megalomania.
    Sebelum kupastikan kebenaran dugaanku, ternyata dia selesai bercerita dan mobil pun berhenti di depan sebuah gedung kosong. Polisi itu kembali menjadi segalak tadi; ia menyuruh-nyuruhku dengan revolver yang tiada henti diarahkan ke jidatku. Aku kesal dan berpikir tentang tahi lalatnya, yang ada di puncak kepala botaknya, yang konon tak boleh dicoblos jika aku masih ingin hidup.
    Ucapan aneh itu telanjur kuresapi dan membuatku membayangkan kemungkinan lain: aku menang dan akulah yang mengontrol keadaan. Jika kepala polisi ini kucoblos, ia mati, lalu seseorang lain, yang juga polisi, memburuku untuk balas dendam. Mungkin begitu maksudnya 'kalau masih ingin hidup'. Aku tidak tahu.
    Karena tidak ada cara lain untuk kabur, dengan tangan yang tidak diborgol, kuraba saku bajuku. Di sana terdapat sebatang pulpen. Pulpen itu kuambil dan segera kucoblos tahi lalat si polisi botak dengan begitu keras. Tentu kutunggu sampai ia lengah dan tidak menodongkan revolver kepadaku.
    Polisi itu mengejang-ngejang dengan lubang di kepalanya dan aku merasa menang. Aku baru sadar ia tidak mengeluarkan darah setelah tubuh gempal itu diam kaku tidak bergerak. Kuperiksa lubang itu. Cairan hitam pekat keluar dari sana dan baunya sangat busuk. Aku tidak betah dan muntah-muntah.
    Seseorang dari gedung kosong tersebut muncul membawa tongkat bisbol sambil misuh-misuh, "Siapa yang membunuh suamiku? Setan kamu, ya! Jangan kabur, ya!"
    Ia sudah tua, mungkin usia 60-an tahun, dengan daster kedodoran dan wajah serupa karet dibakar. Aku sungguh tidak tahu siapa sepasang suami istri ini sebenarnya, tetapi yang jelas, aku harus kabur secepat mungkin agar ia tidak membalas kematian suaminya dengan tongkat bisbol. Aku tidak mau besok ditemukan mati dengan kepala berdarah, di depan sebuah gedung tua yang entah milik siapa. [ ]

    Gempol, 2017-2018

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya Museum Anomali (Unsa Press, 2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (Basabasi, 2018).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri