Skip to main content

Posts

Showing posts from 2015

Bahagia ala Mahmud dan Joni

Suatu ketika saya pernah menyewa rumah bersama beberapa kawan di kawasan Jaksel. Kami memberlakukan sistem patungan. Ketika itu kami pikir cara ini lebih hemat ketimbang per orang sewa kamar kost masing-masing. Di kawasan itu, rata-rata per kamar dibandrol 500 ribu per bulan (tahun 2010). Bagi kami yang hidup di tanah orang, jauh dari keluarga, jumlah itu lumayan besar. Maka ketimbang menyewa kamar, lebih baik sewa rumah sederhana saja, seharga 600 ribu per bulan, untuk berlima. Rumah itu cukup nyaman dan layak, meski dekat dengan kebun. Tentu saja, selain fasilitas air bersih dan listrik gratis, kami juga bebas memancing lele di depan. Di rumah inilah saya kenal seorang perantau asli Minang, sebut saja Mahmud (bukan nama sebenarnya). Dia tidak tinggal di rumah ini, tetapi sekali waktu mampir, sekadar membawakan nasi kotak dari lokasi shooting yang ia bawa untuk sahabatnya, yang tinggal serumah dengan saya. Tetapi kadang-kadang Mahmud juga kemari untuk ngobrol dengan saya.

[Cerpen]: "Biar Tidak Masuk Neraka" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: dedent2.rssing.com (Dimuat di Radar Banyuwangi, Minggu, 27 Desember 2015) Wajah itu tidak asing. Seperti terbenam di kepala saya, dulu, beberapa tahun silam. Hanya saja, saya tidak terlalu yakin. Maka saya duduk saja, sambil menyesap kopi, atau sesekali meladeni omongan Japri, teman saya—soal politik ibu kota tak berguna—serta tentu saja, mencuri pandang ke seberang. Pagi baru datang. Matahari menepis wajah itu. Beberapa mobil mulai melintas dan saya terlindung dari tingkah pola mengamati. Sebatang sigaret terselip di bibir. Sekejap terseret ke masa lalu, suatu masa ketika sering kali hati kembang kempis melihat tubuh seorang gadis. Dia, wajah itu, tak sadar sepasang mata saya meng- copy setiap detailnya ke dalam otak. Mencari pembeda dari masa lalu. "Korek?" Japri menyodorkan pemantik. "Hmm."

[Cerpen]: "Maria ke Pantai" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Analisa Medan, Minggu, 27 Desember 2015) 1/ Dari sini, kapal-kapal mengapung; mereka datang dan pergi begitu saja tanpa kata. Setiap hari, sepanjang tahun, sejak beribu-ribu tahun lalu. Seperti saya dulu yang tanpa kata. Saya pernah hidup di tubuh lelaki gagah. Itu dulu, memang. Kini, di tubuh baru, saya hanya bisa menunggu dalam bisu dan mati. Maria kekasih paling setia. Dia tidak pergi ke mana-mana, kecuali ke desa dekat pantai untuk melihat anak-anak kecil. Pagi hari ia duduk-duduk di teras sebuah sekolah dan tersenyum seorang diri, sementara anak-anak belajar dalam kelas dengan suara yang teramat nyaring: alphabet, berhitung, pelajaran moral, dan lain-lain. Maria hanya akan membayangkan anak-anak itu menjadi miliknya. Tentu saja, tanpa perlu membaur, atau sekadar jadi perhatian seisi sekolah, apalagi menculik mereka. Maria tidak sekejam itu.

[Cerpen]: "Bukan Saidjah" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Harian Umum Koran Padang, Sabtu, 26 Desember 2015) Tersebutlah pemuda bernama Saidjah. Aku tahu, namaku tidak seburuk atau seaneh itu. Laki-laki bernama Saidjah? Apa yang kau pikirkan tentang laki-laki muda semacam itu? Dia sejak kecil sudah saling mencinta dengan Adinda. Kalau aku, baru mengenal cinta saat dewasa. Baik, baik ... aku tidak akan membandingkan Saidjah denganku. Mereka—Saidjah dan Adinda—sama-sama tinggal di desa pada zaman penjajahan. Saat itu pejabat Belanda dan bangsawan pribumi suka sewenang-wenang. Singkat cerita, kerbau milik Saidjah, harta paling berharga keluarganya, dirampas pejabat culas. Lalu bapaknya sakit jiwa dan meninggal. Ibunya juga meninggal karena sedih.

[Cerpen]: "Maria Pergi ke Hutan" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Suara NTB, Sabtu, 26 Desember 2015) Maria lama-lama bosan mengerjakan tugasnya: mendorong saya di ayunan. Saya bilang, "Dasar gendut pemalas. Mendorong begitu apa susahnya?" Dia marah dan janji tidak mau ketemu saya lagi. Setelah membanting piring, dia benar-benar pergi. Saya tidak yakin Maria pergi lebih dari tiga jam. Biasanya, kalau dia marah, paling sembunyi ke hutan di belakang rumah. Kalau hari sudah tenggelam, dia pasti balik dan menangis dan minta maaf tidak akan menentang lagi. Pada saat itu, penampilan Maria sangat compang-camping.

Pencapaian Tahun Ini dan Resolusi Tahun 2016

Tahun ini tahun paling beda. Suatu ketika, Januari 2015 lalu, saya tak pernah membayangkan akan terjadi lompatan kedua, setelah sejak setahun lebih sebelumnya (sejak medio 2012) saya menikmati berjuang di satu arena. Sejak awal saya lebih sering mengirimkan tulisan saya (kebanyakan cerpen) untuk dilombakan. Mengirim ke media tentu saja saya coba, namun tak sesering untuk lomba. Sebagian naskah yang dilombakan itu mendapat juara atau nominasi, namun sebagian gagal. Itu wajar dan saya semakin mantap memegang tuas gas agar ke depan apa yang saya lakukan kelak membuahkan hasil yang lebih nyata. Tidak apa walau kecil-kecil dulu. Namanya juga berproses. Begitulah saya menikmati proses itu. Sampai Januari 2015, saya tetap sama semangat dan motivasinya, meski mendapat hadiah-hadiah yang lumayan membuat orangtua tidak lagi menganggap kegiatan menulis saya cuma main-main, apalagi ikut-ikutan. Saya tidak pernah suka ikut-ikutan dari dulu. Contohnya saja, belasan tahun lalu, ketika saya m

Pak Ipin dan Kebetulan yang Ajaib

Suatu hari beberapa tahun yang lalu, di salah satu lokasi shooting sinetron dan FTV yang biasa disebut Persari, saya kenal seorang bapak-bapak. Beliau humoris dan kocak, walaupun wajahnya persis orang Jepang yang galaknya minta ampun. Saya tidak tahu kapan pastinya dan bagaimana bertemu beliau, sampai suatu hari bersama seorang kawan yang wajahnya mengingatkan saya pada pemain sepak bola Jerman, Oliver Khan, saya main ke salah satu sudut Persari untuk ikut shooting dan mulai akrab dengan bapak-bapak itu. Beliau biasa saya panggil Pak Ipin dan sejak itu sering saya ajak bercanda. Tapi tentu saja, karena beliau mungkin sepantaran ayah saya, candaan-candaan saya pun ada batasnya. Saya menghormati beliau, meski saya lihat beberapa teman membuat candaan seolah Pak Ipin ini teman sebayanya.

[Cerpen]: "Para Perasuk" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Suara Merdeka, Minggu, 13 Desember 2015) Mohon maaf, cerpen ini sengaja dihapus karena dimasukkan ke dalam buku terbaru saya yang berjudul Museum Anomali . Buku tersebut berupa kumpulan cerpen bertema horror kontemporer. Jika ingin membaca cerpen ini, yang juga akan dihimpun bersama cerpen-cerpen lainnya (baik yang sudah terbit atau belum dipublikasikan sama sekali), se gera pesan buku tersebut. Harga 49 ribu belum termasuk ongkos kirim Terima kasih. :)  Untuk pemesanan Museum Anomali, bi sa klik Tentang Penulis

[Cerpen]: "Terlarang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Banjarmasin Post, Minggu, 13 Desember 2015) "Apa yang kamu katakan, seandainya saya pergi malam ini?" Pertanyaan itu tiba-tiba terucap begitu saja dari bibirnya. Angin berembus tenang. Tidak serupa diriku, yang gugup dan mencoba lari dari kenyataan. Dari sini, kerlip belasan lampu di kejauhan tampak seperti tak acuh, namun mengintip. Suatu sikap khas penggunjing. Seolah-olah titik-titik putih itu adalah berpasang mata yang siap merekam apa yang kami bicarakan, untuk kemudian disebar menganut arah semilir di pantai tempat kami bertemu. Andai aku berubah, misalnya, bukan lagi sebagai diriku yang sekarang. Bukankah waktu bisa mengubah segalanya? Tanpa menagih jawab, ia raih korek dari saku jaketnya. Sepintas melirik, kendati tanpa penerangan cukup, karena kami memilih tempat remang, aku tahu jaket itu masih berarti. "Masih kamu pakai?" Cuma itu yang kuucap.

[Cerpen]: "Mugeni Ingin Menjadi Malaikat" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Mojokerto, Minggu, 13 Desember 2015)   1/ Mugeni, dengan wajah merah membara, berlari-lari dan satu tangannya menunjuk langit. Ia sebenarnya sangat lelah. Kelopak matanya pun berair. Tapi, demi cintanya, apa pun dilakukan. Pertama, ia menjadi malaikat. Kedua, di sisi lain ia juga setan. Ketiga, ia tidak percaya Tuhan melihat kehadirannya. "Dasar sinting!" cibir orang-orang di depan warung, di sepanjang jalan tempat Mugeni berlarian. Dapat saya dengar itu dari sini. Saya melaporkan tidak jauh dari TKP (Tempat Kejadian Perkara), bahwa Mugeni, lelaki bujang lapuk, usia empat puluh sembilan, tidak punya rumah, nekat mengajukan lamaran pada seorang kembang desa, tetapi ditolak dan harus melakukan suatu syarat. Sarmila gadis itu, baru sembilan belas tahun. Masih segar dan wangi. Menurut informasi yang saya dapat dari penjual jambu kluthuk , Sarmila ini cantik persis bintang iklan sabun mandi. Atau, malah lebih dari itu. "Lho, Mas, kalau belum perna

[Cerpen]: "Romansa Mugeni" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 13 Desember 2015) Tidak ada yang lebih tragis ketimbang kisah cinta Mugeni. Bertahun-tahun ia coba merayu pujaan hatinya, tetapi bukan cinta yang didapat, melainkan diam. Adakah yang lebih tragis ketimbang sikap diam, bahkan sekalipun Anda ditolak perempuan berkulit buaya? Mugeni memang keras kepala, tetapi kebanyakan menyebutnya gila, kecuali saya. Saya sebut Mugeni setia, sehingga saya juga dianggap gila. "Orang gila kok Anda bela," kata warga. Tapi di sini kita tidak bicara soal saya, melainkan Mugeni. Jadi, biarpun saya dianggap gila oleh mereka, silakan saja. Toh segala bentuk peristiwa, bahkan yang paling celaka di desa itu, tidak mengubah apa yang sudah Mugeni janjikan.

[Cerpen]: "Bidadari Tersesat" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Solopos, Minggu, 6 Desember 2015)     Rambut gadis itu panjang, lebat, dan hitam. Jatuh menjuntai, menutup punggung yang ramping. Sesekali berkibar ke kiri kanan, namun tak liar, sekadar bergoyang pelan seakan mengundangku melihat lebih lama. Pada saat itu, seandainya kau berada di sini, duduk bersisian denganku, kau akan menghirup aroma kesturi yang magis dan ganjil, seakan datang dari surga, membelai wajahmu manja dan membuaimu sampai tak sadar gelap merayap di sekitar mejamu. Dan, tentu saja, kau bangun saat malam menempel bulan di langit. Alangkah dingin saat itu, tapi tak seorang pun membangunkanmu!     Soal penilaian itu—maksudku, punggung yang ramping itu—terbit dari pandangan kira-kira satu menit yang lalu, sebelum ia di bawah pohon kelapa berdiri kaku menatap barat. Ia memang sempat menoleh utara, seolah mencari kawan; barangkali ia membikin janji, entahlah. Tetapi, karena kawan yang dinanti tak jua tiba (mungkin saja, 'kan?), ia putus asa dan memutuskan

[Cerpen]: "Neraka di Kota Kami" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Lombok Post, Minggu, 29 November 2015) Setan-setan bermain balon di dasar neraka. Suatu kali, bila kau ke kota kami dan tersesat—atau katakan saja: terperosok —ke bawah sebuah jembatan, maka pada saat itu kau tiba di neraka yang dimaksud. Setan-setan itu berbagai rupa. Seandainya saja kau percaya, bila kau manusia suci dan tak mungkin Tuhan membiarkanmu jatuh ke situ, ketahuilah bahwa setan ada dua macam: setan rupawan dan buruk rupa. Di dasar neraka, setan-setan segala rupa berkumpul di suatu ruang. Tak ada tembok, kecuali sekat-sekat yang dibuat dari potongan benda tipis serupa tripleks, serta ada yang sekadar kain lusuh disampir ke batang-batang pepohonan yang terbakar, lantas menjadi serupa arang. Semua sekat membentuk bilik-bilik.

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Dosa-dosa di Kotak Kado & Istri yang Membenci Suami" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Mojokerto, Minggu, 22 November 2015) 1/ Perempuan dari Masa Lalu Pesta pora semalam kurang cukup. Kau mesti tambah durasi tiga hingga empat jam, baru tuan rumah disebut mapan. Soal remeh temeh dijejalkan oleh Tuhan ke dalam otak manusia-manusia dangkal di sini, dan itu 24 jam non stop —setiap hari, nyaris sepanjang tahun—maka hal-hal duniawi layak naik kelas dari sekadar ngebir di sudut-sudut gang hingga mengundang maskot mahal dari kelab-kelab malam ibu kota. Kau tidak menduga kehadiranku. Analisa situasi membuatmu gusar, kurasa. Itulah gunanya lidahmu. Gusar mendorong pangkal berkontraksi, lantas cekatan beradaptasi dalam lincah gemulai memulai sapa, "Lama tak jumpa!" Ya , jawabku pendek. Aku paham sulitnya tinggal di kota. Kau pun paham betapa meluap dosa-dosa yang digelontorkan iblis melalui berbagai cara. Dari tahun ke tahun stok dosa menumpuk dan sulit dikalkulasi. Suatu waktu kita duduk di loteng rumahku, minum-minum, bercumbu, lalu m

[Cerpen]: "Bukan Klise!" karya Ken Hanggara

Lukisan " Unsaved Memory" by Andrei Varga (Dimuat di Metro Riau, Minggu, 22 November 2015) Kita tak bisa salahkan siapa jatuh cinta kepada siapa. Itu mutlak, hak tiap manusia. Tapi, jika cinta hanya untuk orang waras, apakah mungkin kisah ini klise? Aku mengenalnya di jalan ... ah, bukan, sebut saja di sebuah tempat. Akan lebih universal jika 'tempat' kubawa-bawa daripada 'jalan'. Karena jalan adalah klise dari begitu banyak kisah cinta manusia. Ya, aku mengenalnya di suatu tempat. Anggaplah begitu. Kalau ada yang bertanya tempat apa itu, aku akan memulai penjelasanku dari masa lalu. Bersabarlah! Dulu aku pendiam, penurut, pintar, dan segala kepribadian bocah yang membuat bangga orangtua. Tapi tidak selamanya yang 'baik' mendapat tempat di mata orang. Itu menyedihkan bagi anak-anak sepantaranku. Kalau orangtua menyebutku anak harapan masa depan, maka teman-teman menyebutku banci!

[Cerpen]: "Demonomania" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Mojokerto, Minggu, 1 November 2015) 1/ Mobil stop di pelataran mini market . Dari balik kemudi, otak Mudakir menangkap sinyal jahat. Malam pekat. Bulan tak muncul. Ia curiga segerombolan setan melingkupi benda malam itu dengan tabir neraka, lalu dengan licik sembunyi di atap bangunan. Nanti, bila mobil ini dipacu pulang, setan-setan numpang di bangku belakang. Ia bayangkan setan-setan bertanduk. Seandainya komik tidak membuatnya begitu, ia tidak cemas. Tidak, karena tidak bakal ususnya terburai kesabet tanduk setan dan mati. Padahal setan bisa juga rupawan. Kenapa Tuhan membikinnya seram? Mudakir ragu, tapi tahu pesanan tidak boleh lupa: dua kotak susu ibu hamil, kecap manis, tiga kaleng kornet, sebungkus deterjen, dan beberapa batang sabun mandi. Tadi istri telepon, minta dibelikan beberapa keperluan rumah tangga.

[Cerpen]: "Pezikir Jembatan" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Republika, Minggu, 1 November 2015) Duduk di jembatan penyeberangan, kakek itu bersikap bagai pertapa; tak bergeser, tak bicara, tenang, terpejam, dan terus berzikir. Kemeja dan sarung lusuhnya, yang berlubang di banyak bagian, mengingatkanku pada almarhum Bapak di kampung. Dulu Bapak sering bersila seperti itu, duduk tenang, tak bicara, mata terus terpejam, dan bibir tak henti zikir. Bedanya, almarhum Bapak tidak melakukan di jembatan penyeberangan, jadi tontonan orang, apalagi dengan sebuah mangkuk seng yang terus gemerincing di depan kaki. Ya, kakek itu pengemis yang sering kulihat sewaktu menyeberang jembatan ini. Sejak sebulan lalu aku menjajal rute baru, mencari hal-hal baru yang menyenangkan sepanjang mengamen di ibu kota. Maka aku tak tahu sejak kapan kakek itu duduk di sana, tak bergeser, berzikir dengan suara lembut dan pelan, hingga membuat pengguna jembatan penyeberangan iba dan memberinya sedikit uang.

[Cerpen]: "Seekor Anjing di Tengah Kota dan Wanita yang Tidak Punya Siapa-siapa" karya Ken Hanggara

Ilustrasi karya Picasso   (Dimuat di pasanggrahan(dot)com, pada Rabu, 28 Oktober 2015) Pagi ini seekor anjing—atau patung berbentuk anjing—berdiri tepat di depan mini market yang baru dibangun di tengah kota. Subuh baru lewat. Jalan sepi. Aku tidak berani lewat, karena tidak yakin itu anjing betulan atau patung. Mungkin anjing betulan, atau mungkin patung karena tenang dan pendiam untuk ukuran seekor binatang dengan kebiasaan lidah menjulur-julur. Tapi aku perlu pastikan kalau tidak mau celaka karena tidak sabaran meneliti suatu hal demi keselamatan diriku. Jadi kusapa anjing—atau patung mirip anjing itu—dengan lantang, "Hei, Anjing?" Tidak ada jawaban. Tentu saja, walau dia anjing betulan, yang hidup dan bisa menjulurkan lidah dengan ritme teratur, toh seekor anjing tidak mungkin menguasai bahasa manusia, kecuali dalam buku-buku dongeng. Aku melangkah lebih dekat. Dalam jarak kira-kira sepuluh meter, aku belum tahu apa dia cuma patung sehingga aku bisa le

[Cerpen]: "Tukang Dongeng" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Koran Merapi Pembaruan, Minggu, 25 Oktober 2015) Lelaki tua itu—kami biasa memanggil beliau Tuan Kantung—mengisahkan suatu legenda yang akrab di kuping. Seolah pada suatu masa yang lama, jauh sebelum kami lahir, Tuhan mengutus para malaikat masuk ke rahim ibu kami dan membisikkan sebuah cerita pada janin bakal bayi agar kelak jadi orang berguna. Anehnya, sebuah cerita, sebagaimana berita di koran, tidak sanggup membenam abadi di ingatan. Entahlah bagaimana bisa begitu. Kadang-kadang legenda itu menoreh kesan kepahlawanan. Di lain waktu, mengandung ide pemberontakan. Tapi, di kesempatan lain, bisa jadi kisah paling romantik. Tergantung suasana hati kami saat itu. Betapapun kami mudah melupakan berita di koran, tidak seaneh saat legenda bercabang ke banyak tujuan sehingga ingatan dan imajinasi kami berantakan. Bukankah cerita, atau legenda, atau katakanlah dongeng sekalipun, bentuknya akan selalu sama dari waktu ke waktu? "Kukira seberharga apa pun cerita,

[Cerpen]: "Titipan Setan" karya Ken Hanggara

  (Dimuat di Radar Mojokerto, Minggu, 18 Oktober 2015) Sebagaimana biasa, anak itu lahap menghabiskan jatahnya. Tak tanggung-tanggung, dua piring nasi goreng plus belasan tusuk sate ayam, masuk ke perut yang buncit. Di akhir ritual—tepatnya jadwal wajib di akhir hari: makan malam—satu tangan gempal mencari gelas besar, sementara satu lainnya memungut tusuk gigi untuk menghela serat daging yang nyangkut di sela gusi. "Lain waktu Ibu perlu inovasi!" ucapnya saat ditatapnya teh yang mengisi penuh gelasnya. Teh hangat. Ia bukan protes karena yang hendak diminum adalah teh basi atau bekas tadi pagi yang kupanaskan biar tak kentara basi. Ia ingin, setiap kuberi minum, yang didapat bukan itu-itu saja.

[Cerpen]: "Peri-peri Hutan" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Padang Ekspres, Minggu, 18 Oktober 2015) Nenek orang paling kusayang. Tiap malam kami mengobrol di kamar; aku rebah di paha wanita renta itu, sementara ia berkisah. Dongeng yang bisa membuat kesedihanku hilang."Moga kamu tidak lagi sedih, ya," bisik Nenek sesudah mengantarku ke alam tidur. Ia tahu, setiap dongeng yang dibawakan padaku bisa mengusir kesedihan, namun esok itu bakal kembali; rasa sakit itu, kepedihan itu, pertanyaan itu. Aku yakin Nenek tahu, tapi entah kenapa ia selalu diam. Suatu hari kuusulkan lebih baik kami pergi ke tempat jauh, agar tidak ada sedih. Kami berdua saja, tanpa Ibu, tanpa orang lain. Aku harap tak ada yang tahu hingga kami bisa membuat nama baru di sana, lalu hidup bahagia selamanya. "Nenek sudah tua dan tidak punya uang, Nak." "Kita bisa cari uang. Aku bisa kerja, Nek." "Kamu masih kecil." "Di jalan banyak anak kecil kerja!"

[Cerpen]: "Kepada Iwami di Garis Depan" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Suara Karya, Sabtu, 17 Oktober 2015) Kepada Yang Tercinta, Iwami di garis depan... Bagaimana kabarmu, Sayang? Kuharap kondisi Kanoya tidak buruk—tentu kau membantahnya. Aku tahu kedekatan kita tidak akan lebih dari yang sudah-sudah (aku tak menyesali takdir di masa kritis ini). Jadi sepatutnya kupastikan kondisi pangkalan tempatmu lebih baik dari sebelumnya. Selepas menutut ilmu, sebuah tugas dan kewajiban penting menunggumu. Aku tak percaya dan berharap ini mimpi saja. Tak bisa kubayangkan kau berseragam persis mereka yang di Formosa itu. Aku melihat beritanya. Meski sesudahnya mereka bilang kau bukan direkrut untuk serangan khusus, aku percaya kaulah bakal sejarah penting dalam silsilah keluarga. Kaulah cerita yang kukenang nanti, bersama anak cucuku, yang hanya kau kenal dari kuil dekat rumah—dan mereka mengenalmu sebagai legenda. Indahkah itu?

Sehari Iseng Jadi Penonton Bayaran

Ini kejadian tahun 2010. Suatu pagi saya iseng mengikuti seorang teman, tetangga kost saya di Jakarta, untuk pergi ke Bekasi demi sebuah pekerjaan harian yang seru. Apa itu? "Penonton bayaran," jawabnya tanpa basa-basi. Ketika itu, jujur saja, saya baru tahu bahwa acara talkshow di TV kebanyakan--menurut teman saya--disetting sedemikian rupa dengan banyak penonton yang ternyata dibayar. Uniknya, teman saya ini seperti sudah menjadikannya pekerjaan sampingan. "Yang penting halal," bisiknya malu-malu, setelah saya tatap beberapa detik dengan ekspresi senyum campur heran. Dia menyuruh saya memakai pakaian kantor karena talkshow "langganan"-nya ini adalah acara serius yang membahas masalah sosial dan kemanusiaan, di salah satu televisi lokal. Saya iyakan saja. Kebetulan sedang tidak ada acara di kostan dan itu hari libur. Baiklah, saya ikut. Kami naik taksi dari Cilandak. Saya tidak terlalu memperhatikan jalan, karena

Bang Jo dan Ponsel Berisi Puisi-puisi Pertama

Ini cerita saat kehilangan puisi-puisi awal saya, yang disimpan di ponsel karena saat itu belum punya laptop. Ketika itu bisa dibilang saya 'nomaden' di Jakarta. Suatu kali saya merasa betah di satu tempat dan memutuskan tinggal di sana lebih lama. Di tempat baru ini saya kenal seorang lelaki. Usianya kira-kira sepuluh tahun lebih tua dari saya, tapi gayanya menyamai saya yang waktu itu belum 19 tahun. Di kompleks kostan ini rata-rata penghuninya seumuran saya dan semua pekerja keras. Tak jauh dari tempat kost ada studio besar tempat produksi sinetron dan FTV, dan sesekali layar lebar. Dia--sebut saja Bang Jo (bukan nama sebenarnya)--sudah malang melintang di dunia hiburan sejak 1998, begitulah ia mengaku. Saya percaya saja karena dia terlihat jujur dan sangat terbuka, serta tentu saja teman ngobrol yang asyik. Namun ketika itu Bang Jo sedang terpuruk. Ia sepi job dan terlunta-lunta berkat suatu masalah dengan keluarga yang tidak bisa ia ungkapkan, juga masala

Teman Baik Tak Harus Selalu Sering Bertatap Muka

Dengar salah satu lagunya Ari Lasso di ponsel, tiba-tiba ingat seorang teman lama. File lagu ini dulu saya minta darinya di teras sebuah kamar kost di Cibubur. Kalau dihitung, seumur hidup kami hanya bertemu langsung--bertatap muka maksudnya--tak lebih dari sepuluh kali. Hidup di perantauan, mengejar mimpi, jauh dari keluarga, membuat kami cepat dekat, meski usia terpaut jauh. Pergi ke tempat casting sama-sama, berbagi makanan di tempat shooting, bahkan melawan tindakan jahat seseorang kami juga pernah. Jumlah pertemuan yang terbilang singkat untuk berbagai hal luar biasa, ya? Beberapa bulan berikutnya kami tak lagi bertemu. Saya dengar ia repot mengurus usaha bandengnya di Blitar. Saya tidak lagi mendengar kabarnya sampai waktu mengantar saya ke tempat baru dengan cerita-cerita baru yang tak kalah mengesankan.

[Cerpen]: "Tentang Janji dan Kado Salah Alamat" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Metro Riau, Minggu, 11 Oktober 2015) Janji itu merupa kado kecil. Kau membungkusnya dengan rapi, diberi kertas motif beruang Teddy berbagai kostum, warna dasar pink, dibaluti pita biru tua, dan terakhir, di satu sudut kubus, sebuah kertas karton wangi ukuran 5 x 10 cm digantung, bertuliskan: Buat yang terkasih, Asmara. Kadang-kadang kau berpikir dirimu adalah Teddy, beruang lucu yang amat kusukai. Kau selancar ke suatu pantai dengan tanpa kaus. Kau daki gunung dengan sarung tangan dan ransel. Kau pelesir ke luar negeri dan menatap tempat-tempat baru seperti menatap kekasih. Kau memesona dan mobilitasmu tak diragukan. Itu terjadi andai kau benar Teddy-ku.

[Cerpen]: "Doa si Gila" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Bromo, Minggu, 11 Oktober 2015) Aroma ketiak ibu-ibu sampai ke hidungku. Kukira aku harus bilang, "Anda butuh sabun mandi!" Aku sudah akan menyerbunya, usai balik badan, sebelum kusadari ada yang salah. Ibu-ibu itu, yang sedari mula aku memilih baju bekas di trotoar sudah mengoceh sana-sini soal suami yang tak pulang, juga anak-anak yang tak tahu diuntung, ternyata tidak sewaras yang kupikir. Mundur selangkah, dua langkah, tiga langkah... Haruskah kuhitung? Aku mundur hingga jarak kami aman buatku tidak menghirup aroma memuakkan itu. Bau badan ibu-ibu yang tidak bisa dikenali sebagai bau manusia waras. Pantaslah ocehannya tanpa batas. Tak terbayang betapa orang menganggapku super sinting andai keburu melabraknya tanpa melihat penampilan itu lebih dulu. Amit-amit jabang bayi!

Cerpen:"Wajah-Wajah Gundu" karya Ken Hanggara

"Wajah-Wajah Gundu" Ilustrasi cerpen "Wajah-Wajah Gundu" oleh Ken Hanggara (Dimuat di Solopos edisi Minggu, 11 Oktober 2015)   Ibu membukakan pintu belakang. Wajahnya yang penuh keriput itu menatapku tajam, seolah pertanda aku adalah sesuatu yang tidak patut ia pertahankan. "Lihat adikmu Yanti! Berapa kali kuperingatkan? Jangan sekali-kali berbuat macam-macam jika masih ingin menemuinya!" Akhirnya kudengar juga suaranya, suara yang dulu sewaktu aku kecil selalu memberi kenyamanan. Ya, dulu kami merasa nyaman meski pertanyaan-pertanyaan selalu tak menemui jawab. Pagi itu, di suatu hari yang lampau, tak ada asap mengalir di atap rumah. Benda kelabu yang melayang di udara dan menebar aroma sedap. Asap itu kurindukan setiap kali bangun tidur. Jika memasak, Ibu menyihirku sampai pada tahap tertentu, di mana aku tidak sanggup menolak permintaannya untuk melahap yang telah ia upayakan, meski perutku telah kenyang. "Buat apa aku masak kalau t

Cerpen: "Lelaki Puisi" karya Ken Hanggara

"Lelaki Puisi" Ilustrasi cerpen "Lelaki Puisi" oleh Ken Hanggara   (Dimuat di Metro Riau, Minggu, 4 Oktober 2015) Sejak minggu kedua kepergianmu, aku sering menelan kertas-kertas itu. Tidak ada yang bisa kulakukan selain mengubur kenangan tentang kita sendiri. Dan itu hanya bisa kulakukan dengan menelannya habis. Apa kau kira aku kenyang? Tidak. Aku tidak kenyang, malah mual dan harus dibawa ke dokter. Ketika kukatakan selama dua minggu ini aku sering diam-diam menelan kertas-kertas itu, dokter kira aku sudah gila. Ia kira, andai aku sulit melupakanmu, ada baiknya kalau kubakar saja kertas itu. Kau tahu apa jawabanku? "Andalah yang gila, Dok. Mana mungkin saya bakar puisi-puisi itu? Itu artinya saya tidak menghargai jerih payah kekasih saya." "Tapi sekarang, 'kan, dia bukan pacarmu?" "Iya, memang sudah bukan pacar saya. Tapi jujur, Dok, saya masih cinta. Sebagian hati saya menyuruh menghapus, sementara sebagian lain me

Cerpen: "Sang Model" karya Ken Hanggara

"Sang Model" Ilustrasi cerpen "Sang Model" oleh Ken Hanggara   (Dimuat di tamanfiksi.com, edisi 05, September 2015) Begitu Sanjaya berkemas pulang, Marlina—model yang sempat naik daun sepuluh tahun lalu, yang tenggelam, tak lagi muncul karena masalah narkoba—menarik lembut lengannya. Mata mereka beradu beberapa detik, dan berhenti karena ingat mereka tidak bisa bertemu lama di luar jam kerja. Sanjaya, atau biasa dipanggil San, atau cukup dengan Jay saja, beringsut dan mengambil perlengkapannya yang jatuh berguling di lantai semenit lalu. "Apa kamu datang lagi?" Wanita itu bertanya setengah cemas, tapi lebih terkesan pasrah. Tahun-tahun yang gemilang telah pudar. Barangkali tidak akan bisa kembali, meski ia berharap bisa memancing satu-dua kenangan lama menjadi suatu hal yang real . "Entah." San menjawab pendek. "Tidak bisa tidak. Aku belum dapat salinannya." Marlina tersenyum dan melirik penuh arti, menyimpulkan sendi