Skip to main content

[Cerpen]: "Mugeni Ingin Menjadi Malaikat" karya Ken Hanggara


(Dimuat di Radar Mojokerto, Minggu, 13 Desember 2015) 

1/
Mugeni, dengan wajah merah membara, berlari-lari dan satu tangannya menunjuk langit. Ia sebenarnya sangat lelah. Kelopak matanya pun berair. Tapi, demi cintanya, apa pun dilakukan. Pertama, ia menjadi malaikat. Kedua, di sisi lain ia juga setan. Ketiga, ia tidak percaya Tuhan melihat kehadirannya. "Dasar sinting!" cibir orang-orang di depan warung, di sepanjang jalan tempat Mugeni berlarian. Dapat saya dengar itu dari sini.
Saya melaporkan tidak jauh dari TKP (Tempat Kejadian Perkara), bahwa Mugeni, lelaki bujang lapuk, usia empat puluh sembilan, tidak punya rumah, nekat mengajukan lamaran pada seorang kembang desa, tetapi ditolak dan harus melakukan suatu syarat.
Sarmila gadis itu, baru sembilan belas tahun. Masih segar dan wangi. Menurut informasi yang saya dapat dari penjual jambu kluthuk, Sarmila ini cantik persis bintang iklan sabun mandi. Atau, malah lebih dari itu. "Lho, Mas, kalau belum pernah tahu bentuk dan rupa bidadari, tinggal lihat gadis itu saja," bisik penjual jambu itu.
"Jadi, Sarmila itu...?"
"Ya, ya. Dia gadis biasa, tetapi kecantikannya sepadan bidadari!"
Wah, Anda sekalian para pemirsa, pasti tidak sabar dan ingin tahu bagaimana rupa Sarmila, 'kan? Mohon maaf saya tidak bisa mengabulkan permintaan itu. Bukan karena saya tidak kuat menahan pesona keindahan si gadis bidadari, melainkan itu tidak lagi menarik dibahas. Bosan saya. Di mana-mana, perempuan manis bakal disukai siapa saja, toh? Beda dengan lelaki bajul buntung, pastilah dibenci orang.

Mugeni, si lelaki yang berlari ke timur pada suatu pagi, lebih bisa dijual di TV maupun koran karena wajahnya kasar bersisik persis bajul. Dari tempat saya berdiri, ia kelihatan sangat malang: kaus oblong tidak pernah dicuci, celana kargo bolong-bolong, plus separuh kepala mengelabu oleh uban.
Entah karena kebetulan atau memang sengaja dibikin begitu oleh Tuhan, jalanan ini kelihatannya lurus-lurus saja. Kalau bepergian dari timur ke barat, atau sebaliknya, Anda tidak perlu belok kanan-belok kiri, serong kanan-serong kiri; cukup tancap gas, lurus, Anda sampai tujuan dengan selamat. Asal tidak nabrak.
Demikianlah sedikit gambaran TKP. Semoga bisa bikin Anda di rumah paham maksud saya ketika saya katakan bahwa di sepanjang jalan, entah di warung-warung, entah di parkiran mini market, entah di pos-pos polisi, entah di menara masjid maupun gereja, atau bahkan dari suatu bilik kecil di tepi kali yang biasa disebut jamban, semua terlihat sama; tidak ada yang tidak tahu aksi Mugeni.
Kenapa ia berlari?
Mugeni ingin menjadi malaikat. Demi Sarmila, ia rela tidak tidur selama beberapa hari, karena yakin malaikat yang tidak bernafsu memang tidak pernah tidur. Tapi, yah, kita semua tahu ada kontradiksi. Kalau malaikat tidak bernafsu, kenapa ngebet kawin?
Sudah dua tahun Mugeni mencari cara mendekati Sarmila, tapi gadis manis persis bidadari itu muda dan cantik dan digilai para pemuda. Ibarat kata, pungguk merindukan bulan, Mugeni tidak tahu harus apa; ia terlalu tua dan ia tidak layak tempur menghadang sepasukan pangeran muda nan gagah perkasa di sekeliling Sarmila.
Namun nasib buruk tidak selalu berlaku. Setan-setan berbisik pada Mugeni di suatu malam dan mengabarkan mantra penjerat hati perempuan. Saya tahu ini dari informan yang minta dirahasiakan namanya. Malam itu ia ke rumah Sarmila. Di dekat sumur, ia pasang syarat-syarat dari dukun di gunung antah berantah dan mulai membaca mantra. Klise. Tapi esoknya orangtua Sarmila benar-benar linglung dan mendesak anaknya agar kawin dengan laki-laki pertama yang datang melamar hari itu.
"Saya tidak paham, sungguh," kata seorang warga yang juga minta namanya tidak saya sebut, "kok bisa bapak ibunya Sarmila tega menyorongkan gadis manis itu ke mulut bajul buntung?!"
Itu tidak menjelaskan hal lain selain guna-guna.
Namun, sebagaimana kita tahu, Sarmila itu bidadari dan biasanya seekor bidadari tidak mempan didukunkan. Maka ia tolak lamaran Mugeni. Si ibu meraung-raung, "Aku mati saja! Aku mati!" Si anak takut. Bapaknya juga mulai stress dan bolos bekerja di kantor kecamatan dan mulai melantur, "Aku kawin saja! Aku kawin!"
Demi keberlangsungan hidup keluarganya, Sarmila mengajukan syarat pada Mugeni: "Kalau Mas bisa tangkap matahari, nanti saya mau jadi istrimu."
Memang dasar Mugeni sinting, ia sanggupi saja. Dengan girang, empat hari lalu, ia mulai beraksi. Demi Sarmila, apa sih yang tidak? Ia berlari dari ujung barat ke timur bila pagi merekah. Dan lari ke arah sebaliknya jika menjelang hari merebah.
Orang-orang berdecak kagum atau mencibir atau tertawa, dan setiap orang tahu Mugeni tidak bakal bisa sampai kiamat. Tapi lelaki yang lagi kasmaran itu cuek. Ia lari saja dan di kepalanya cuma ada satu nama: Sarmila. Ia makan empat hari empat malam dari kebaikan orang-orang di pinggir jalan.

2/
Saya masih di sini, di TKP, melaporkan secara live kepada Anda sekalian pemirsa di rumah, bahwa pejuang cinta kita yang edan belum bisa menangkap matahari. Tentu saja—demi wawancara dan tayangan yang perfect—sesekali saya perlu mengiringi lari Mugeni. Dengan duduk di pick up, segala ucapan Mugeni yang ngos-ngosan akibat lari beberapa hari, bisa sampai ke telinga Anda.
"Apa yang Saudara Mugeni harapkan bila matahari berhasil Saudara tangkap?"
"Saya... hosh... mau... hosh... kawin!"
"Anda bernapas dengan baterai tenaga surya, ya? By the way, kalau benar matahari bisa Saudara tangkap, tidak takut dipenjara?"
"No!"
"Edan. Padahal polisi bisa marah. Tapi apalah artinya penjara, bukan? Saya dengar Saudara pakai guna-guna, kenapa tidak sekalian ke Sarmila? Kenapa orangtuanya? 'Kan kalau begini, Saudara yang repot?"
"Tidak! Hosh, hosh... Saya 'kan malaikat!"
"Malaikat atau goblok? Hehe. Saya kira Saudara salah taruh syarat dari dukun. Betul?"
"..."
Bila Mugeni tidak mau bicara, saya hentikan wawancara. Tapi saya masih di sini, di jalan lurus yang membelah bagian utara dan selatan suatu kota, dan para warga makin berjibun memenuhi jalan demi melihat Mugeni.
Menangkap matahari memang suatu hal sinting, apalagi demi alasan mengawini bidadari. Sekalipun Sarmila terbukti manusia, yang bisa kencing dan berak selayaknya kita, meski iasangat cantik dan seksi, aksi Mugeni benar-benar melahirkan sebuah sensasi.
Tidak hanya saya yang meliput. Beberapa rekan wartawan dan seluruh sudut kota, bahkan dunia, juga ikut. Berita tersebar bagai virus mematikan. Di suatu kota ada orang terinspirasi aksi Mugeni, sehingga ingin menangkap bulan. Di Hollywood, seorang produser mau mengangkat ini ke layar lebar, karena ingat dulu pernah merana ditolak cinta dan lalu balas dendam pada Seno Gumira Ajidarma, cerpenis Indonesia yang bikin dia cemburu karena tidak bisa menggunting senja seperti kartu pos; produser itu pikir, kalau dulu dia bisa menggunting senja, atau sekalian matahari, barangkali pacarnya nyerah. Masih soal sensasi, beberapa novelis tanah air berebut mendapat hak cipta dan bekerjasama dengan Mugeni sehingga kisah ini bisa diterbitkan dalam bentuk buku.
Namun demikian, orang-orang warung, tukang parkir di mini market, para personel polisi di pos jaga, muazin dan pastor, atau orang-orang yang tidak punya WC pribadi, tak bisa dipadankan pola pikirnya. Beberapa menikmati tontonan Mugeni dan sebagian menganggap ini gila. Ibu Sarmila harus dipasung biar tidak bunuh diri dan si bapak berkali-kali mau dikebiri kalau memaksa kawin lagi. Guna-guna laknat, kata Pak RT yang hobi ngaji. Tapi, Sarmila merasa idenya ampuh. Suatu hari Mugeni biarlah mati saat mengejar matahari. Dan ibu bapaknya bakal sembuh.
Mugeni tidak selalu lari ke depan, karena matahari juga tidur. Bila malam tiba dan matahari diselimuti bumi, ia berputar-putar di tempat terakhir melihat matahari, sampai esok benda langit itu muncul kembali.
Dalam empat hari, 24 jam non-stop, ia berlari. Subuh Mugeni berangkat dari titik barat. Penjual bubur ayam dan sayur-mayur bergerombol. Ibu-ibu berbaris di situ. Mau nonton sekalian belanja. Pukul 05.15, matahari muncul dan Mugeni berlari dengan iringan kata-kata puji dan ledekan.
Ia berlari tiada lelah. Mugeni mengurangi laju karena kadang matahari terkesan ngeledek. Saya—dan pastinya Anda pemirsa di rumah—tahu kalau matahari pada pukul sepuluh mulai menjawil puncak kepala kita. Tapi orang gila pikir matahari meledeknya. Tawa penjual jambu kluthuk dan beberapa pemilik warung meledak. Katanya, lebih baik saya dan rekan-rekan wartawan pulang daripada ketularan gila. Tapi ini menghasilkan, Pak, Bu, kata kami. Begitulah kami bertahan demi uang.
Saya catat setiap detail dari mulai keberangkatan hingga akhir hari. Sekitar pukul sepuluh hingga sebelas siang, Mugeni lari-lari pendek dan sesekali melompat. Ia benar- benar stop berlari tengah hari. Di situ berkumpul penjual es oyen, es campur, bakso, dan jajanan. Anak-anak pulang sekolah berkumpul. Para pegawai negeri juga kumpul. Para tukang becak tidak mau kalah. Pokoknya semua kumpul demi nonton si penangkap matahari.
Mugeni loncat-loncat di tempat sampai persis jam dua siang. Kali itu ia mulai balik badan dan lari ke barat. Lajunya bertambah dari jam ke jam. Persis sebelum maghrib, ia balik ke tempat asal saat berangkat tadi dan mulai berputar-putar, membentuk lingkaran sambil makan makanan pemberian orang di sepanjang jalan. Di kesempatan ini pula ia berak dan kencing.
Saya melaporkan tidak jauh dari TKP (Tempat Kejadian Perkara), bahwa Mugeni, lelaki bujang lapuk, usia empat puluh sembilan, tidak punya rumah, nekat mengajukan lamaran pada Sarmila yang usianya selisih tiga puluh tahun, tetapi ditolak dan harus melakukan suatu syarat.
Mugeni punya daya jual, meski ia mulai lelah dan mungkin mati dua atau tiga hari lagi. Ia sejarah karena akan mati dengan cara dramatis, lucu, sekaligus sinting. Lihatlah, matanya berair dan merah. Tapi ia berlari demi menangkap matahari. Sesuatu yang tidak bisa ditangkap. Sesuatu yang oleh Tuhan sengaja di-setting sedemikian rupa. Barangkali biar dunia dan seisinya tak selalu berisi orang-orang gila. [ ]
Gempol, 29 November 2015

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Juara 2 kategori bahasa Indonesia di ASEAN Young Writer Award 2014.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri