Skip to main content

[Cerpen]: "Terlarang" karya Ken Hanggara



(Dimuat di Banjarmasin Post, Minggu, 13 Desember 2015)

"Apa yang kamu katakan, seandainya saya pergi malam ini?" Pertanyaan itu tiba-tiba terucap begitu saja dari bibirnya. Angin berembus tenang. Tidak serupa diriku, yang gugup dan mencoba lari dari kenyataan.
Dari sini, kerlip belasan lampu di kejauhan tampak seperti tak acuh, namun mengintip. Suatu sikap khas penggunjing. Seolah-olah titik-titik putih itu adalah berpasang mata yang siap merekam apa yang kami bicarakan, untuk kemudian disebar menganut arah semilir di pantai tempat kami bertemu. Andai aku berubah, misalnya, bukan lagi sebagai diriku yang sekarang. Bukankah waktu bisa mengubah segalanya?
Tanpa menagih jawab, ia raih korek dari saku jaketnya. Sepintas melirik, kendati tanpa penerangan cukup, karena kami memilih tempat remang, aku tahu jaket itu masih berarti. "Masih kamu pakai?" Cuma itu yang kuucap.

Ia menoleh santai, seakan tak ada masalah serius, "Ya." Hanya itu. Seharusnya lebih dari itu. Tetapi hanya itu yang ia ucap soal jaket itu. Sebuah pemberian di masa lalu, yang terwujud dari dua belah tangan halusku.
Entah berapa lama kami diam. Kukira ia sampai di titik jenuh. Dan aku sendiri yang kini terdesak, tak bisa menentukan, tak bisa memilih. Mungkin karena terlalu benam dalam kenangan dan perasaan cinta, nyaris tak kudengar suaranya yang setengah berbisik, "Apa yang kamu pikirkan? Saya pergi dan kita lupakan masa lalu. Bukankah itu baik?"
Aku membetulkan letak tasku, yang sebenarnya tidak bakal hilang, karena di sini tidak ada manusia, tidak ada copet, juga tidak ada saksi atau makhluk hidup, kecuali malaikat dan setan yang menunggu kejadian berikutnya. Bagaimana rupa setan, ya?
"Aku tak tahu!"
Oh, Tuhan! Kenapa tak tahu? Mestinya aku berkata, Tidak. Kamu tidak boleh begitu! Atau: Lupakan omong kosong dan mari kembali bersenang-senang! Tapi aku bisu dan tak bisa berkata lain selain 'tak tahu', karena memang tak tahu bertindak apa, kalau benar dia pergi. Kepalaku mendadak pening.
Dua tahun terakhir kami menjalin suatu hubungan, tanpa seorang pun tahu. Kencan terjadi seminggu sekali setelah diatur dengan demikian cermat. Jam dan lokasi, semua diperhitungkan dengan matang dan rahasia, meski saat berjumpa, sekadar remang lampu dan sepiring nasi sederhana di warung pinggir jalan yang dinikmati.
"Saya kira ini jelas."
"Jelas?!" Suaraku terdengar tegang, kalau tidak bisa disebut marah.
"Sejelas semilir angin ini. Arahnya telah kita tahu bersama, namun kita tetap melawan. Apa daya melawan sesuatu yang jelas? Kau bisa melawan Tuhan?"
"Setan bisa!"
"Tapi setan masuk neraka...."
Mendadak aku ingin menangis. Kedua mataku panas, tapi kutahan. Kendatipun tahu aku menangis, dia toh tak akan peduli. Tak pernah peduli. Bagaimana rasanya menangis? Pertanyaan itu seolah tercetak abadi di manusia model diriku, yang tak sekali pun terlihat punya cobaan hidup. Dia tahu aku tak mungkin sedih, karena dia dekat denganku. Tapi, dia juga tak tahu betapa aku—yang seakan tercipta secara khusus di tangan Tuhan, tanpa kotak air mata di kepala—adalah manusia biasa.
Kemanusiaanku nyaris kubuang, terutama setelah pertemuan demi pertemuan terjadi. Begitulah, tahun-tahun berlalu, kami rahasiakan hubungan ini. Kadang berteman rokok. Kadang tanpa sehelai pun pakaian. Suatu pelarian—atau kebiadaban—orang menyebut, tapi aku tak peduli. Dia sendiri nyatanya muak dengan gagasan membangun rumah tangga.
"Aku cinta kamu," itu kalimat melesak keluar dari bibirku.
"Saya juga. Tapi kita tidak bisa lama-lama."
Aku mendesah. Resah. Lengan kekarnya melepas jaket pemberianku, usai membuang puntung rokok yang nyala, lalu mengenakannya ke punggung kurusku. "Banyak pemuda di luar sana, yang lebih dari layak untukmu," bisiknya lirih, lalu bangkit, meninggalkanku. Seperti tak ingin ketidakmanusiaan bertumbuh abadi di jiwaku. Seperti berharap menjadi setan seorang diri, sepanjang sisa hidupnya. Tanpa aku. Tanpa kekasih rahasia.
Kenapa jadi begini? Semilir angin itu, bisa berubah, 'kan? Begitu juga aku... dan dia. Tapi, adakah kami tidak lagi bersembunyi, sedang aku mengenalnya sejak kecil sebagai paman kandungku? [ ]

Gempol, 19 Sept '15

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai.

Comments

  1. Subhanallah, Bang Ken. sangat seru sekali, bang. terima kasih bang.

    ReplyDelete

Post a Comment

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri