Skip to main content

[Cerpen]: "Neraka di Kota Kami" karya Ken Hanggara



(Dimuat di Lombok Post, Minggu, 29 November 2015)

Setan-setan bermain balon di dasar neraka. Suatu kali, bila kau ke kota kami dan tersesat—atau katakan saja: terperosok—ke bawah sebuah jembatan, maka pada saat itu kau tiba di neraka yang dimaksud.
Setan-setan itu berbagai rupa. Seandainya saja kau percaya, bila kau manusia suci dan tak mungkin Tuhan membiarkanmu jatuh ke situ, ketahuilah bahwa setan ada dua macam: setan rupawan dan buruk rupa.
Di dasar neraka, setan-setan segala rupa berkumpul di suatu ruang. Tak ada tembok, kecuali sekat-sekat yang dibuat dari potongan benda tipis serupa tripleks, serta ada yang sekadar kain lusuh disampir ke batang-batang pepohonan yang terbakar, lantas menjadi serupa arang. Semua sekat membentuk bilik-bilik.

"Apa yang setan-setan lakukan di dasar neraka?" tanyamu.
"Setan-setan senang berpesta."
"Bukankah neraka tempat penyiksaan?"
"Neraka di kota kami berbeda."
Begitulah. Ini bila kau percaya saja. Dasar neraka itu amat sangat pekat dan gelap; tidak ada sepercik pun cahaya kecuali yang lahir dari nyala api. Jangan tanya matahari. Tak ada benda itu di neraka. Mungkin Tuhan menggodam matahari di suatu tempat, lalu dengan murka menebar serpihan tubuh api matahari ke neraka sehingga yang tertinggal hanya panas yang amat sangat.
Setan-setan terbuat dari api. Tak mudah dilukai bila, misalnya, kau tantang duel. Satu lawan satu, setara satu lawan enam atau satu lawan sepuluh. Kau tidak langsung mati, tetapi lebih dulu disiksa dengan model siksaan purba: diikat dengan posisi kepala ke bawah, mulut dilakban, dan sebilah gergaji dipakai buat menggesek celah di ujung anusmu, menggesek serupa pemain biola ke depan belakang, ke depan belakang, terus menerus, hingga kau menjerit-jerit seperti babi di penjagalan dan tubuhmu terbelah dua.
Setan-setan yang suka pesta dan main balon ini juga tidak gampang mati bila kau bakar. Coba saja kalau tak percaya; kau bisa datang ke kota kami dan menyesatkan diri, atau sekalian memerosokkan diri ke lubang di dasar sebuah jembatan, sehingga kau tiba di dasar neraka. Kemudian kau siram mereka dengan bensin dan kau lempari sebatang korek api menyala. Percayalah, bukan mereka yang mati, justru kau yang mati, karena belum sempat api melahap tubuh para setan, api berpindah haluan mengejarmu, serupa hantu Banaspati, serupa rudal pengejar target, serupa magnet berkutub 'U' sedang di jidatmu ada huruf 'S'.
Bukan menakut-nakuti. Sekadar info saja. Mengenai setan-setan itu, tidak ada yang tahu dari mana mereka berasal. Mungkin luar kota, mungkin suatu daerah yang para penduduknya terbelakang dan tidak mengenal Tuhan, mungkin pulau tak bertuan yang mana hukum rimba masih berlaku, atau mungkin dari luar angkasa.
Tapi menurutku setan-setan tidak serumit itu. Orang terlalu banyak berteori tetapi nol bukti. Aku percaya mereka justru menyeruak dari dasar neraka, sebuah lahan dengan kontur tanah persis wajah bulan, penuh lubang dan geronjal dan kering. Lubang-lubang itu, yang mirip kawah gunung itu, menyiul hawa panas dari perut bumi yang tidak lain biang neraka di kota kami.
Aku sendiri tidak memiliki bukti akan dugaanku soal asal muasal setan-setan. Tapi, apa pentingnya? 'Kan kubilang, orang suka berteori tapi nol bukti? Meski demikian, aku percaya kelak kudapatkan bukti yang kucari sehingga teorikulah yang diakui. Ini bukan karena aku berharap tenar. Semata karena aku paham, benar-benar paham, bagaimana setan-setan itu hidup.
Tapi, sekali lagi, itu semua berlaku kalau kau percaya. Kau boleh tak percaya dan anggap saja aku seorang pembual sinting yang cari-cari sensasi, cari-cari perhatian agar media nasional meliputku sebagai saksi hidup suatu neraka di bawah sebuah jembatan. Sehingga dengan demikian, aku diwawancara di mana-mana dan aku mendapat uang dalam jumlah besar.
Itu bukan urusanku.
Percaya atau tidak, toh kaulah yang menjalani. Tetapi, kukira di kota-kota lain pun, neraka semacam ini ada. Hanya saja, tidak semua menyadari.
Bila ada waktu, mampirlah ke kota kami. Datang ke jembatan itu. Nanti kutulis alamatnya. Di situ ada nomor teleponku juga. Aku siap memandu. Kita akan sama-sama berdiri di atas jembatan dan melongok ke bawah. Kau tidak sanggup memandang segala di sana sekadar dengan mata telanjang. Matamu harus memakai alat bantu. Jadi, catat ini baik-baik: bawa dua buah teropong untuk kita—kalau kau jadi datang.
Apa untungnya?
Paling tidak kau tahu di situ, di bawah jembatan itu, ada neraka tempat setan-setan main balon. Setiap dini hari, persis pukul 03.30, balon-balon di tempat pesta dilepas dan mereka melayang di udara pekat nan gelap. Terus melayang hingga satu dua nyangkut di tiang jembatan, lalu sebagian masih melayang memenuhi langit di atas jembatan.
Pada saat itu, setelah balon-balon hilang di kejauhan bintang, pesta usai dan para setan pulang. Jangan tanyakan di mana rumah setan-setan. Kau tak akan percaya bagian ini, sungguh, betapapun keras aku meyakinkan.
Kau akan menganggapku sinting atau kurang ajar, bila kubilang wanita yang dulu melahirkanku ternyata juga ikut di pesta itu dan melepas balon-balon ke angkasa. Itulah kenapa kubilang aku paham asal muasal para setan di neraka ini.
Gempol, 14-11-15
KEN HANGGARA lahir 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Juara 2 kategori bahasa Indonesia di ASEAN Young Writer Award 2014.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri