Skip to main content

[Cerpen]: "Seekor Anjing di Tengah Kota dan Wanita yang Tidak Punya Siapa-siapa" karya Ken Hanggara



Ilustrasi karya Picasso

 (Dimuat di pasanggrahan(dot)com, pada Rabu, 28 Oktober 2015)

Pagi ini seekor anjing—atau patung berbentuk anjing—berdiri tepat di depan mini market yang baru dibangun di tengah kota. Subuh baru lewat. Jalan sepi. Aku tidak berani lewat, karena tidak yakin itu anjing betulan atau patung. Mungkin anjing betulan, atau mungkin patung karena tenang dan pendiam untuk ukuran seekor binatang dengan kebiasaan lidah menjulur-julur.
Tapi aku perlu pastikan kalau tidak mau celaka karena tidak sabaran meneliti suatu hal demi keselamatan diriku. Jadi kusapa anjing—atau patung mirip anjing itu—dengan lantang, "Hei, Anjing?"
Tidak ada jawaban. Tentu saja, walau dia anjing betulan, yang hidup dan bisa menjulurkan lidah dengan ritme teratur, toh seekor anjing tidak mungkin menguasai bahasa manusia, kecuali dalam buku-buku dongeng.
Aku melangkah lebih dekat. Dalam jarak kira-kira sepuluh meter, aku belum tahu apa dia cuma patung sehingga aku bisa lewat dengan aman tanpa digigit, atau diterkam, atau lebih buruk: dicabik-cabik dan ditemukan mati mengenaskan setengah jam kemudian oleh karyawan mini market yang datang untuk membuka toko. Setidaknya, kalau anjing itu hidup, sejauh ini tidak menunjukkan gelagat ingin menyerang.

"Bagaimana kalau hidup? Bagaimana kalau anjing itu pintar dan sengaja mengecoh dengan pura-pura menyerupai patung sehingga aku lengah dan tidak takut lewat. Begitu aku melintas, ia menyerangku dan aku celaka. Hih! Amit-amit jabang bayi!"
Aku tahu beberapa anjing amat pintar, bahkan lebih pintar dari manusia, sehingga kukira aku harus waspada. Anjing—atau patung mirip anjing—itu tidak jelas rasnya, jenis kelaminnya, pemiliknya, atau dari mana datangnya. Tahu-tahu di situ, berdiri gagah menghadang jalanku yang biasa pulang pergi kerja melalui jalanan ini.
Pengetahuanku tentang anjing nyaris nol, karena aku bukan penyuka hewan itu, meski tidak bisa dibilang benci—yang kemudian menjadikanku tega membunuh dengan cara sadis seperti orang-orang di Youtube. Sekadar tidak suka saja wajar. Sebagai wanita waras, tak mungkin tega melukai atau membunuh seekor anjing, bahkan meski masih bayi dan tak bisa melawan sekalipun.
Tapi anjing atau patung yang menyerupai seekor anjing bukanlah bayi, melainkan dewasa. Berdiri dengan empat kaki kokoh, sehingga kubayangkan aku tidak akan lolos dari kejarannya. "Semalam tidak ada apa-apa selain tong sampah," kataku sebal. "Tapi anjing—atau patung berbentuk seekor anjing ini—tiba-tiba berdiri gagah menghalangi jalanku. Bagaimana aku berangkat kerja?"
Tak mungkin lewat jalan lain. Karena terjebak oleh pikiran tentang anjing yang tidak jelas ini, aku terlambat jika memutar jalan. Kalau dia hidup, seharusnya anjing itu menoleh, atau paling tidak menjulur-julurkan lidahnya, serta mengedip-ngedipkan mata seperti bayi yang tidak tahu apa-apa. Tapi ia tenang dan pendiam, meskipun bulu-bulu dan ekornya sangat nyata.
Lima belas menit terbuang. Kalau memutar jalan lewat rute lain, sudah pasti aku telat. Bosku bisa marah, lalu memaki-makiku di depan karyawan pabrik lain, dan pada akhirnya aku dipanggil ke kantor untuk dipecat. Bila tidak ingin dipecat, karena umurku hampir kepala empat dan sulit mencari pekerjaan lain, boleh jadi nasib baikku hanya bisa kujaga dengan diam-diam menumpang mobil bosku dan kami pergi ke losmen yang jauh di tepi kota. Meski tidak punya siapa-siapa, aku tetap saja seorang wanita, seorang manusia yang butuh bekerja untuk makan sehingga tidak mati.
Ya Tuhan, kenapa harus ada seekor anjing di tempat ini? Urusan pergi bekerja saja bisa rumit hanya karena anjing terkutuk.
Sebetulnya bukan hal aneh bila kita melihat anjing di depan mini market yang baru sebulan berdiri di tengah sebuah kota. Tapi, anjing bukan hewan familiar di sini, karena tidak ada yang suka. Sebagaimana bila kita menemukan unta di hutan Amazon. Itu tidak mungkin.
Tapi seekor anjing—atau, sekali lagi, patung berbentuk mirip anjing—benar-benar berdiri di situ, tegap menghadap diriku dengan sorot mata kaku, tanpa kedip, dan moncong tertutup tanpa terlihat sejulur pun lidah di sana. Aku bisa saja pura-pura tidak ada sesuatu di sana dan sepinya jalan sehabis subuh ini kulewati dengan damai dan tak acuh seperti biasa, namun bagaimana bila anjing itu hidup?
Ya, ia bisa mencelakaiku. Kalaupun hidup, kubayangkan dia tidak menggangguku karena aku juga tidak mengganggunya, seperti misalnya dengan mengambil sebongkah batu sebagai ancaman. Kubayangkan anjing atau patung berbentuk mirip anjing itu berpikir seperti orang gila, yang tidak peduli kepada kita kalau kita juga tidak peduli padanya. Urusanmu adalah urusanmu, urusanku adalah urusanku; kita sama-sama hidup tapi tidak perlu mengurus urusan orang lain.
Tapi, apa mungkin anjing begitu? Seharusnya, sebagai penakut anjing, aku belajar pengetahuan dasar tentang anjing gila, anjing galak, atau anjing jenius yang bisa pura-pura menyerupai patung. Ilmu-ilmu itu berguna bila situasi semacam ini terjadi.
Betapa bodoh dan ceroboh. Harusnya dulu aku belajar, jadi aku tidak perlu takut melintasi jalan sebagaimana biasa, tidak peduli itu anjing betulan atau patung yang mirip anjing. Aku juga tidak perlu menunggu karyawan mini market untuk menghalau anjing itu. Dan aku tidak perlu jeri membayangkan wajah bosku kalau marah. Matanya melotot dan bau napasnya basi. Kau tidak tahan dan kau merasa sangat kotor seandainya terpaksa menerima tawaran menginap di losmen demi tidak dipecat sehingga hidupmu terus berlanjut.
Kira-kira sampai setengah jam tidak ada seorang pun di jalanan, kecuali aku yang menunggu dengan cemas kapan bisa melewati anjing itu dengan selamat dan sampai di pabrik tanpa terlambat?
Kawasan ini sepi, meskipun ada di tengah kota. Aku jadi benci pada pemilik mini market yang suka membangun toko-tokonya di tempat sepi. Padahal tidak semua pusat kota ramai, terutama kalau kota itu kecil dan tidak menarik wisatawan. Kalau tidak ada mini market ini, barangkali anjing itu tidak berteduh sehingga pagi ini tidak ada kejadian ini. Tetapi karena mini market itu ada, dan halaman parkirnya luas, maka anjing itu mungkin mengira tempat ini adalah taman bermain.
Seorang kakek keluar dari rumah yang berjarak 10 meter dari tempatku berdiri. Ia duduk di teras dan membaca novel. Kuamati dengan cermat judulnya. The Great Gatsby karya Fitzgerald. Aku kira ia cukup pintar, mengingat bahan bacaannya saja berjudul aneh, dengan penulis yang juga bernama aneh. Mungkin ia seorang terpelajar yang tahu seluk beluk anjing. Dan boleh jadi bisa membantu. Aku berharap saja, semoga buku itu berisi tips-tips dasar mengusir binatang buas.
Tapi, kenyataannya aku tidak bisa meminta bantuan karena badannya kurus. Kalau anjing itu hidup, bukan aku yang jadi sasaran, tetapi si kakek yang membuat anjing kelaparan karena tulang ringkihnya menggiurkan. Aku pernah dengar anjing suka tulang dan beberapa kali menonton adegan di film kartun tentang anjing mengunyah tulang. Adegan itu pasti terinspirasi kejadian nyata, karena tidak mungkin tayangan yang dirancang untuk anak-anak sama sekali tidak mendidik, seperti katakanlah mengabarkan kepalsuan fakta tentang anjing yang menggigit tulang belulang, padahal aslinya lebih suka menjilat daging manusia.
Aku bergidik. Aku bisa ditangkap polisi kalau itu terjadi: si kakek tewas berlumuran darah dengan tulang belulang berantakan, karena menolong wanita yang tidak punya siapa-siapa melewati seekor anjing ganas yang amat jenius. Itu jauh lebih buruk ketimbang tidur di losmen busuk yang bantalnya penuh kutu, dengan lelaki bejat yang badannya gendut!
Seandainya kakek itu membaca buku-buku tentang anjing, sehingga paling tidak aku tahu ia punya pengetahuan mumpuni soal anjing, aku tidak berpikir yang aneh-aneh. Sayangnya, aku tidak bisa ambil risiko dengan mencelakakan nyawanya. Kepada anjing yang kubenci saja tidak tega melukai atau membunuh, apalagi kepada manusia. Ingat, aku wanita. Meski tidak punya siapa-siapa, hatiku lembut. Itulah kenapa aku sedih memikirkan diriku terlambat sehingga kamar losmen jadi pilihan terakhir agar aku tidak dipecat.
Ketika seorang karyawan mini market tiba, aku tampak bodoh karena diriku berdiri dengan tampang kacau dan sebelah tangan menggenggam batu.
"Sedang apa, Non?" tanya karyawan itu. Ia tahu ada anjing—atau patung mirip anjing—tidak jauh darinya, tetapi sepertinya ia tidak takut.
"Ada anjing, Bang. Saya tidak bisa lewat."
Karyawan itu menoleh, lalu tersentak melihat anjing yang sedari tadi berdiri diam kaku di situ, tiba-tiba membuka moncong dan menjulur-julurkan lidahnya yang penuh liur.
Si karyawan buru-buru membuka rolling door dan meninggalkanku di jalanan. Agaknya ia sempat mengira anjing itu patung sehingga tidak takut. Tapi anjing itu hidup dan aku bersyukur; setidaknya aku selamat karena tidak terkecoh. Coba kalau aku tadi lewat, boleh jadi si anjing menerkamku dan kini diriku bernasib malang di ruang gawat darurat sebuah rumah sakit, dengan kondisi parah sementara uang tidak ada.
Sampai beberapa lama, cuma kakek itu yang ada di dekat-dekat sini. Benar-benar sial. Menunggu orang lewat membantuku mengatasi anjing—yang bukan patung—amat susah. Kurasa pemilik mini market bodoh. Tempat ini sepi sekali. Aku berdoa semoga ketika dia mengecek tokonya, anjing itu lagi-lagi berdiri di situ dan dengan jenius berhasil mengecohnya. Jauh lebih baik, karena yang digigit dan dicabik-cabik bukanlah wanita sebatang kara berusia nyaris kepala empat dan bingung memikirkan pekerjaan, tetapi orang kaya yang sudah membuat kehidupan seorang buruh jadi amat kacau. [ ]

Gempol, 27 Oktober 2015

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Satu dari dua peraih ASEAN Young Writer Award 2014. Kini menjabat Unsa Ambassador 2015.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri