Skip to main content

[Cerpen]: "Demonomania" karya Ken Hanggara



(Dimuat di Radar Mojokerto, Minggu, 1 November 2015)

1/
Mobil stop di pelataran mini market. Dari balik kemudi, otak Mudakir menangkap sinyal jahat. Malam pekat. Bulan tak muncul. Ia curiga segerombolan setan melingkupi benda malam itu dengan tabir neraka, lalu dengan licik sembunyi di atap bangunan. Nanti, bila mobil ini dipacu pulang, setan-setan numpang di bangku belakang.
Ia bayangkan setan-setan bertanduk. Seandainya komik tidak membuatnya begitu, ia tidak cemas. Tidak, karena tidak bakal ususnya terburai kesabet tanduk setan dan mati. Padahal setan bisa juga rupawan. Kenapa Tuhan membikinnya seram?
Mudakir ragu, tapi tahu pesanan tidak boleh lupa: dua kotak susu ibu hamil, kecap manis, tiga kaleng kornet, sebungkus deterjen, dan beberapa batang sabun mandi. Tadi istri telepon, minta dibelikan beberapa keperluan rumah tangga.

Akhirnya turun juga, setelah lima menit geming. "Semoga, semoga tidak ada setan di situ." Mudakir berdoa dan melongok atap mini market.
Malam pekat seperti mau hujan. Begitu kaki memijak tanah, angin berembus. Ia mulas dan pengen berak. Ia kira itu tiupan setan-setan di atap bangunan. Kumpulan makhluk tak kasat mata yang sengaja menggodanya.
"Tolong jangan kali ini! Saya mohon!"
Tentu tidak ada waktu berak. Lagi pula tidak ada ponten atau sekadar sungai kecil buat buang hajat. Oh, Mudakir enggan memikirkan ia menyelinap diam-diam ke bawah jembatan kecil, memelorot celananya, lalu mengejan sampai tinja dalam perutnya hilang semua. Tidak, itu tidak akan pernah terjadi.
Menahan mulas, ia bergerak. Baiklah, cuma angin kok. Siul-siul sejenak... ah, tidak bisa. Betapa sumbang. Ia bungkam dan jalan. Cetak-cetok tapak sepatunya serupa anjing siluman membuntut. Balik badan, tidak ada apa-apa. Oke, oke, semoga tidak ada seekor pun anjing siluman, ia kembali berdoa. Dari jalan, jadi setengah lari. Toleh kanan, toleh kiri, jalan mundur persis badut. Sial! Mudakir menyesal turun, meski jarak antara mobil dan pintu mini market tidak terlalu jauh: 10 meter.
"Mestinya parkir dekat pintu," desisnya. Ia merasa tolol. Mungkin perlu pisau. Ia tahu ia bisa mati kalau lengah. Ia harus melindungi diri sebaik mungkin. Ingat kasus pembunuhan Mister X bulan lalu. Di selokan besar dekat gang, di sebelah suatu gereja, ditemukan mayat hitam busuk di sela gunungan sampah. Perutnya terburai dan ususnya dirubung semut.
Orang-orang yang bakal ke gereja gempar. Seisi gang heboh dan Mudakir menelan ludah berkali-kali. Ia tahu sesuatu yang jahat bekerja. Di suatu tempat entah di mana. Di suatu tempat tak terjangkau. Dan ia percaya sewaktu-waktu itu menimpanya.
Seperti malam ini. Sepi sekali. Kalau ia mati, alangkah buruk nasib si bayi. Lalu, sambil mendorong pintu mini market, ia membatin, "Semoga bayiku lahir selamat pada waktunya nanti. Dan dia tahu seganteng apa bapaknya."
Sayangnya upaya itu tidak berhasil menenangkan. Ia merasa, sekelebat, sebelum pintu otomatis itu menutup, sesuatu masuk mengekor. Angin? Oh, Mudakir percaya itu bukan angin. Itu setan. Sebagaimana dulu sepupunya bilang, bahwa setan dan malaikat bisa tembus tembok. Ya ampun, apalagi cuma celah sebuah pintu!
Otak Mudakir melempar sinyal darurat dan ia menggigil. AC mini market bikin tak tahan. Kalau punya lampu di jidat—penanda sinyal takut—pastilah kasir dan seorang pramuniaga yang tugas malam melonjak kaget. Tetapi sinyal di kepala Mudakir hanya bisa ia tangkap seorang. Tidak oleh orang lain, tidak juga oleh sang istri.
Istrinya kadang sebal. Tapi karena cinta, ya dibiarkan saja. Lama-lama jadi biasa. Sekali waktu Mudakir bangun malam-malam dan minta tidur di-kempit ketiak istrinya. Istrinya dengan senang hati menuruti, meski belum mandi dan keringatnya bau. Di lain malam, pernah juga mau tidur di dalam daster perempuan itu.
"Lha, kamu ini jorok, Pap! Katanya ngantuk, kok minta yang aneh-aneh!"
Mudakir mengiba seperti anak kecil, yang terpaksa membuat istri lagi-lagi nurut. Ia paham Mudakir aneh. Sejak pacaran sering ketakutan tidak jelas di waktu khusus. Seperti penyakit, yang bisa kumat dalam masa tertentu.
Menyisir lorong di sela rak-rak, Mudakir menyambar pisau dapur. Sekali lagi toleh kanan-toleh kiri. Siapa tahu setan itu, yang masuk mengekornya ke sini, spontan pamer diri. Biar kutusuk dan mampus, batinnya. Tapi tidak lihat apa-apa. Pisau itu selama lima belas detik mengacung di udara. Pisau yang tidak masuk daftar belanja. Pisau pelindung. Buat keselamatan, berapa pun bolehlah bayar. Ia pun cepat-cepat mengambil belanjaan pesanan.
Kepada kasir yang menunduk, Mudakir coba basa-basi. Bilang betapa sepi malam ini dan apakah di gudang belakang ada toilet?
"Ada kok, Pak. Mau pipis?" jawab si kasir masih menunduk.
"Eh, enggak. Cuma nanya."
Mudakir meringis dan tidak bisa menutup rasa takutnya. Ia tidak tahu, boleh saja di toilet nanti ada setan pembunuh. Saat jongkok dan mengejan, setan jahat keluar dari lubang WC dan menerkamnya dari bawah. Sungguh mengerikan. Ia tidak langsung mati, selain kejang-kejang dulu, mengerang dulu, lalu kehabisan darah. Saat ia sekarat, setan itu nangkring di pundaknya dan ketawa, menunggu calon ayah benar-benar mampus.
Si kasir membaca rasa takut costumer-nya. Ia bilang ia mau antarkan seandainya Mudakir tidak tahan pipis—sambil masih dalam posisi menunduk. Jemari lincahnya tekan sana-tekan sini tuts keyboard, sebelah tangan lain mengarahkan beberapa barang pada scanner bar code. Bunyi tiit-tiit beruntun dari mesin dengan nyala merah redup itu berasa bisikan setan di kuping.
"Di situ kau rupanya?"
Si kasir mendongak dan Mudakir ngompol. Kasir bermata bolong. Bajingan, kau! Mudakir melempar kasir itu dengan wafer penunda lapar—yang tergeletak tidak jauh dari hadapan sang kasir—lalu lari lintang pukang meninggalkan mini market.
Mudakir menangis tersedu-sedu. Dan, sambil membuka pintu mobilnya, ia seolah berkata langsung pada istri, "Besok aja Mama beli di pasar. Sendiri, gak usah nyuruh saya. Huhuhu!"
Alangkah mengerikan kasir tadi. Tak bermata. Coba, kalau tidak sekadar mulutnya saja yang menganga lebar secara tidak wajar, tetapi juga matanya yang melotot sadis, barangkali Mudakir sudah tak selamat. Berhubung cuma mulut yang menganga, sedang mata hilang entah ke mana, Mudakir masih selamat.
Buru-buru hidupkan mesin. Grrrmmm... Sial! Grrrmmm... Tidak nyala!
Si pramuniaga, yang dari tadi tidak di dekat meja kasir, berlari menjemput Mudakir. "Oh, jangan. Saya mohon jangan bunuh!"
Tapi orang itu malah mendekat dan membawa sebilah pisau yang tadi batal dibeli.
Untunglah, mobil menyala dan Mudakir lega. Ia tahu firasatnya tidak salah; sinyal itu kuat malam ini. Dari sejak menatap langit malam pekat di pelataran parkir, ia tahu malam ini sesuatu datang mengancam. Sekelompok setan mengincar darahnya. Dan, ah, ia ingat! Bukankah setan-setan biasa numpang di bangku belakang?
Sejenak suasana mobil senyap. Laju stabil, masih di atas 80 km/jam. Tapi perasaan Mudakir tidak keruan. Ia gentar untuk sekadar melirik spion tengah. Siapa tahu, di situ, di kursi belakang itu, duduk tiga ekor setan dengan wajah berdarah-darah, tersenyum, lalu mengangkat tiga sloki whiskey tanda bersulang, "Selamat datang, Om, di neraka!"
Benar-benar sial!
Mudakir kacau. Ia tidak mau mati di mobilnya. Ia kudu pulang dan memastikan istrinya yang hamil selamat. Ia juga harus bunuh—atau paling tidak melukai—beberapa setan sekaligus malam ini, sekalipun tak ada yang numpang di mobilnya. Melukai lebih gampang dari membunuh, 'kan? Ia butuh menegaskan bahwa dirinya tidak selemah ini, yang disentil sana, sentil sini, persis biji karambol. Ia lelaki sejati dan bisa melawan para setan yang mengganggu.
Dengan segenap keberanian, Mudakir menoleh ke belakang. Oh! Tidak ada setan. Tapi, ya, tentu. Setan bisa juga tidak menampakkan diri. Tak mau dibodohi, ia berhenti di depan gereja, tidak jauh dari gang rumah. Lalu pulang jalan kaki.
Dalam perjalanan, pikiran Mudakir terus bicara, "Ayo, siapa berani, boleh maju." Tapi malam bergelut sepi. Angin membelai wajah berkeringat dan Mudakir sadar kalau ia kelepasan berak di celana—sewaktu memacu gas mobil dengan kencang.
Ya ampun! Ia lalu jalan terkangkang persis bocah baru disunat, dan menangis. Alangkah konyol. Setan-setan biadab harus diberi pelajaran. Ia ambil sebatang bambu dari pagar rumah tua. Dan berlari sampai ia benar-benar melihat pintu rumahnya.

2/
Sudah saya duga. Urusan belanja jadi kacau. Tak tahu apa yang bikin suami saya kumat lagi. Ingin saya bilang, "Oalah, Papa, Papa, lagian kamu kenapa sih, sok-sokan nonton film setan lagi? Gak kapok sama penyakitmu?"
Tapi, sudahlah. Kasihan juga suami saya. Dia kerja menafkahi saya dan calon bayi saya. Barangkali ada teman kantor yang suka ngerjain, sehingga Mas Mudakir lagi-lagi pulang dalam keadaan kacau setelah terpaksa nonton film setan. Dan, jika saat seperti ini tiba, saya sendiri pun juga harus siap.
Seperti malam ini. Saya di sini, dia di situ. Saya di teras, dia di halaman. Sudah biasa suami tidak mau langsung masuk kalau lagi kumat. Biasanya semilir angin bikin hidung saya menghirup aroma toilet. Lho, Papa berak lagi? Mau saya bilang gitu, tapi percuma. Toh, nanti-nanti, kalau sudah tidak kumat, suami saya pasti cerita:
"Sumpah, Ma! Saya lihat kamu itu wajahnya kayak Medusa! Rambut banyak ular dan matamu itu... sekali lagi... matamu, Ma, memancarkan cahaya hijau menakutkan. Wah, untung Medusa itu buru-buru masuk kamarmu. Barangkali takut saya ambilin batu. Tapi karena itu saya gak bisa tidur. Lha wong kamar kita dikunci. Brengsek itu setan. Saya jadi duduk di sofa sambil jaga-jaga. Siapa tahu masih ada setan yang belum saya pukul."
Kalau sudah begitu, saya manggut-manggut saja. [ ]

* Catatan: demonomania adalah kelainan jiwa yang percaya dirinya diusik/diikuti oleh setan atau roh jahat pada waktu tertentu.
Gempol, 29 Oktober 2015
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Juara 2 kategori bahasa Indonesia di ASEAN Young Writer Award 2014 dan 4 besar Siwa Nataraja Award 2015 kategori cerpen. Menjabat UNSA Ambassador 2015.

Comments

  1. Endingnya tak terduga, aku kira dia diikuti setan beneran. Oalah dalah. Good job mas :0

    ReplyDelete
  2. Baru tahu juga istilah ini. Aih, ke mana saja aku selama itu?

    ReplyDelete

Post a Comment

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri