1/
Mobil stop di pelataran mini
market. Dari balik kemudi, otak Mudakir menangkap sinyal jahat. Malam
pekat. Bulan tak muncul. Ia curiga segerombolan setan melingkupi benda malam
itu dengan tabir neraka, lalu dengan licik sembunyi di atap bangunan. Nanti,
bila mobil ini dipacu pulang, setan-setan numpang di bangku belakang.
Ia bayangkan setan-setan
bertanduk. Seandainya komik tidak membuatnya begitu, ia tidak cemas. Tidak,
karena tidak bakal ususnya terburai kesabet tanduk setan dan mati.
Padahal setan bisa juga rupawan. Kenapa Tuhan membikinnya seram?
Mudakir ragu, tapi tahu
pesanan tidak boleh lupa: dua kotak susu ibu hamil, kecap manis, tiga kaleng
kornet, sebungkus deterjen, dan beberapa batang sabun mandi. Tadi istri
telepon, minta dibelikan beberapa keperluan rumah tangga.
Akhirnya turun juga,
setelah lima menit geming. "Semoga, semoga tidak ada setan di situ."
Mudakir berdoa dan melongok atap mini market.
Malam pekat seperti mau
hujan. Begitu kaki memijak tanah, angin berembus. Ia mulas dan pengen berak.
Ia kira itu tiupan setan-setan di atap bangunan. Kumpulan makhluk tak kasat
mata yang sengaja menggodanya.
"Tolong jangan kali
ini! Saya mohon!"
Tentu tidak ada waktu
berak. Lagi pula tidak ada ponten atau sekadar sungai kecil buat buang hajat.
Oh, Mudakir enggan memikirkan ia menyelinap diam-diam ke bawah jembatan kecil,
memelorot celananya, lalu mengejan sampai tinja dalam perutnya hilang semua.
Tidak, itu tidak akan pernah terjadi.
Menahan mulas, ia bergerak.
Baiklah, cuma angin kok. Siul-siul sejenak... ah, tidak bisa. Betapa sumbang.
Ia bungkam dan jalan. Cetak-cetok tapak sepatunya serupa anjing siluman
membuntut. Balik badan, tidak ada apa-apa. Oke, oke, semoga tidak ada seekor pun
anjing siluman, ia kembali berdoa. Dari jalan, jadi setengah lari. Toleh kanan,
toleh kiri, jalan mundur persis badut. Sial! Mudakir menyesal turun, meski
jarak antara mobil dan pintu mini market tidak terlalu jauh: 10 meter.
"Mestinya parkir dekat
pintu," desisnya. Ia merasa tolol. Mungkin perlu pisau. Ia tahu ia bisa
mati kalau lengah. Ia harus melindungi diri sebaik mungkin. Ingat kasus
pembunuhan Mister X bulan lalu. Di selokan besar dekat gang, di sebelah suatu
gereja, ditemukan mayat hitam busuk di sela gunungan sampah. Perutnya terburai
dan ususnya dirubung semut.
Orang-orang yang bakal ke
gereja gempar. Seisi gang heboh dan Mudakir menelan ludah berkali-kali. Ia tahu
sesuatu yang jahat bekerja. Di suatu tempat entah di mana. Di suatu tempat tak
terjangkau. Dan ia percaya sewaktu-waktu itu menimpanya.
Seperti malam ini. Sepi
sekali. Kalau ia mati, alangkah buruk nasib si bayi. Lalu, sambil mendorong
pintu mini market, ia membatin, "Semoga bayiku lahir selamat pada
waktunya nanti. Dan dia tahu seganteng apa bapaknya."
Sayangnya upaya itu tidak
berhasil menenangkan. Ia merasa, sekelebat, sebelum pintu otomatis itu menutup,
sesuatu masuk mengekor. Angin? Oh, Mudakir percaya itu bukan angin. Itu
setan. Sebagaimana dulu sepupunya bilang, bahwa setan dan malaikat bisa
tembus tembok. Ya ampun, apalagi cuma celah sebuah pintu!
Otak Mudakir melempar
sinyal darurat dan ia menggigil. AC mini market bikin tak tahan. Kalau
punya lampu di jidat—penanda sinyal takut—pastilah kasir dan seorang pramuniaga
yang tugas malam melonjak kaget. Tetapi sinyal di kepala Mudakir hanya bisa ia
tangkap seorang. Tidak oleh orang lain, tidak juga oleh sang istri.
Istrinya kadang sebal. Tapi
karena cinta, ya dibiarkan saja. Lama-lama jadi biasa. Sekali waktu Mudakir
bangun malam-malam dan minta tidur di-kempit ketiak istrinya. Istrinya
dengan senang hati menuruti, meski belum mandi dan keringatnya bau. Di lain
malam, pernah juga mau tidur di dalam daster perempuan itu.
"Lha, kamu ini jorok,
Pap! Katanya ngantuk, kok minta yang aneh-aneh!"
Mudakir mengiba seperti
anak kecil, yang terpaksa membuat istri lagi-lagi nurut. Ia paham
Mudakir aneh. Sejak pacaran sering ketakutan tidak jelas di waktu khusus.
Seperti penyakit, yang bisa kumat dalam masa tertentu.
Menyisir lorong di sela
rak-rak, Mudakir menyambar pisau dapur. Sekali lagi toleh kanan-toleh kiri.
Siapa tahu setan itu, yang masuk mengekornya ke sini, spontan pamer diri. Biar
kutusuk dan mampus, batinnya. Tapi tidak lihat apa-apa. Pisau itu selama lima
belas detik mengacung di udara. Pisau yang tidak masuk daftar belanja. Pisau
pelindung. Buat keselamatan, berapa pun bolehlah bayar. Ia pun cepat-cepat
mengambil belanjaan pesanan.
Kepada kasir yang menunduk,
Mudakir coba basa-basi. Bilang betapa sepi malam ini dan apakah di gudang belakang
ada toilet?
"Ada kok, Pak. Mau
pipis?" jawab si kasir masih menunduk.
"Eh, enggak.
Cuma nanya."
Mudakir meringis dan tidak
bisa menutup rasa takutnya. Ia tidak tahu, boleh saja di toilet nanti ada setan
pembunuh. Saat jongkok dan mengejan, setan jahat keluar dari lubang WC dan
menerkamnya dari bawah. Sungguh mengerikan. Ia tidak langsung mati, selain
kejang-kejang dulu, mengerang dulu, lalu kehabisan darah. Saat ia sekarat,
setan itu nangkring di pundaknya dan ketawa, menunggu calon ayah
benar-benar mampus.
Si kasir membaca rasa takut
costumer-nya. Ia bilang ia mau antarkan seandainya Mudakir tidak tahan
pipis—sambil masih dalam posisi menunduk. Jemari lincahnya tekan sana-tekan
sini tuts keyboard, sebelah tangan lain mengarahkan beberapa barang pada
scanner bar code. Bunyi tiit-tiit beruntun dari mesin dengan
nyala merah redup itu berasa bisikan setan di kuping.
"Di situ kau
rupanya?"
Si kasir mendongak dan
Mudakir ngompol. Kasir bermata bolong. Bajingan, kau! Mudakir melempar
kasir itu dengan wafer penunda lapar—yang tergeletak tidak jauh dari hadapan
sang kasir—lalu lari lintang pukang meninggalkan mini market.
Mudakir menangis
tersedu-sedu. Dan, sambil membuka pintu mobilnya, ia seolah berkata langsung
pada istri, "Besok aja Mama beli di pasar. Sendiri, gak usah
nyuruh saya. Huhuhu!"
Alangkah mengerikan kasir
tadi. Tak bermata. Coba, kalau tidak sekadar mulutnya saja yang menganga lebar
secara tidak wajar, tetapi juga matanya yang melotot sadis, barangkali Mudakir
sudah tak selamat. Berhubung cuma mulut yang menganga, sedang mata hilang entah
ke mana, Mudakir masih selamat.
Buru-buru hidupkan mesin. Grrrmmm...
Sial! Grrrmmm... Tidak nyala!
Si pramuniaga, yang dari
tadi tidak di dekat meja kasir, berlari menjemput Mudakir. "Oh, jangan.
Saya mohon jangan bunuh!"
Tapi orang itu malah
mendekat dan membawa sebilah pisau yang tadi batal dibeli.
Untunglah, mobil menyala
dan Mudakir lega. Ia tahu firasatnya tidak salah; sinyal itu kuat malam ini.
Dari sejak menatap langit malam pekat di pelataran parkir, ia tahu malam ini
sesuatu datang mengancam. Sekelompok setan mengincar darahnya. Dan, ah, ia
ingat! Bukankah setan-setan biasa numpang di bangku belakang?
Sejenak suasana mobil
senyap. Laju stabil, masih di atas 80 km/jam. Tapi perasaan Mudakir tidak
keruan. Ia gentar untuk sekadar melirik spion tengah. Siapa tahu, di situ, di
kursi belakang itu, duduk tiga ekor setan dengan wajah berdarah-darah,
tersenyum, lalu mengangkat tiga sloki whiskey tanda bersulang,
"Selamat datang, Om, di neraka!"
Benar-benar sial!
Mudakir kacau. Ia tidak mau
mati di mobilnya. Ia kudu pulang dan memastikan istrinya yang hamil
selamat. Ia juga harus bunuh—atau paling tidak melukai—beberapa setan sekaligus
malam ini, sekalipun tak ada yang numpang di mobilnya. Melukai lebih
gampang dari membunuh, 'kan? Ia butuh menegaskan bahwa dirinya tidak selemah
ini, yang disentil sana, sentil sini, persis biji karambol. Ia lelaki sejati
dan bisa melawan para setan yang mengganggu.
Dengan segenap keberanian,
Mudakir menoleh ke belakang. Oh! Tidak ada setan. Tapi, ya, tentu. Setan bisa
juga tidak menampakkan diri. Tak mau dibodohi, ia berhenti di depan gereja,
tidak jauh dari gang rumah. Lalu pulang jalan kaki.
Dalam perjalanan, pikiran
Mudakir terus bicara, "Ayo, siapa berani, boleh maju." Tapi malam
bergelut sepi. Angin membelai wajah berkeringat dan Mudakir sadar kalau ia
kelepasan berak di celana—sewaktu memacu gas mobil dengan kencang.
Ya ampun! Ia lalu jalan
terkangkang persis bocah baru disunat, dan menangis. Alangkah konyol.
Setan-setan biadab harus diberi pelajaran. Ia ambil sebatang bambu dari pagar
rumah tua. Dan berlari sampai ia benar-benar melihat pintu rumahnya.
2/
Sudah saya duga. Urusan
belanja jadi kacau. Tak tahu apa yang bikin suami saya kumat lagi. Ingin saya
bilang, "Oalah, Papa, Papa, lagian kamu kenapa sih, sok-sokan
nonton film setan lagi? Gak kapok sama penyakitmu?"
Tapi, sudahlah. Kasihan
juga suami saya. Dia kerja menafkahi saya dan calon bayi saya. Barangkali ada
teman kantor yang suka ngerjain, sehingga Mas Mudakir lagi-lagi pulang
dalam keadaan kacau setelah terpaksa nonton film setan. Dan, jika saat seperti
ini tiba, saya sendiri pun juga harus siap.
Seperti malam ini. Saya di
sini, dia di situ. Saya di teras, dia di halaman. Sudah biasa suami tidak mau
langsung masuk kalau lagi kumat. Biasanya semilir angin bikin hidung saya
menghirup aroma toilet. Lho, Papa berak lagi? Mau saya bilang gitu, tapi
percuma. Toh, nanti-nanti, kalau sudah tidak kumat, suami saya pasti cerita:
"Sumpah, Ma! Saya
lihat kamu itu wajahnya kayak Medusa! Rambut banyak ular dan matamu
itu... sekali lagi... matamu, Ma, memancarkan cahaya hijau menakutkan. Wah,
untung Medusa itu buru-buru masuk kamarmu. Barangkali takut saya ambilin
batu. Tapi karena itu saya gak bisa tidur. Lha wong kamar kita
dikunci. Brengsek itu setan. Saya jadi duduk di sofa sambil jaga-jaga. Siapa
tahu masih ada setan yang belum saya pukul."
Kalau sudah begitu, saya
manggut-manggut saja. [ ]
* Catatan: demonomania
adalah kelainan jiwa yang percaya dirinya diusik/diikuti oleh setan atau roh
jahat pada waktu tertentu.
Gempol, 29 Oktober
2015
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi,
cerpen, novel, dan esai. Juara 2 kategori bahasa Indonesia di ASEAN Young
Writer Award 2014 dan 4 besar Siwa Nataraja Award 2015 kategori cerpen.
Menjabat UNSA Ambassador 2015.
Endingnya tak terduga, aku kira dia diikuti setan beneran. Oalah dalah. Good job mas :0
ReplyDeleteBaru tahu juga istilah ini. Aih, ke mana saja aku selama itu?
ReplyDelete