Skip to main content

[Cerpen]: "Tukang Dongeng" karya Ken Hanggara



(Dimuat di Koran Merapi Pembaruan, Minggu, 25 Oktober 2015)

Lelaki tua itu—kami biasa memanggil beliau Tuan Kantung—mengisahkan suatu legenda yang akrab di kuping. Seolah pada suatu masa yang lama, jauh sebelum kami lahir, Tuhan mengutus para malaikat masuk ke rahim ibu kami dan membisikkan sebuah cerita pada janin bakal bayi agar kelak jadi orang berguna.
Anehnya, sebuah cerita, sebagaimana berita di koran, tidak sanggup membenam abadi di ingatan. Entahlah bagaimana bisa begitu. Kadang-kadang legenda itu menoreh kesan kepahlawanan. Di lain waktu, mengandung ide pemberontakan. Tapi, di kesempatan lain, bisa jadi kisah paling romantik. Tergantung suasana hati kami saat itu.
Betapapun kami mudah melupakan berita di koran, tidak seaneh saat legenda bercabang ke banyak tujuan sehingga ingatan dan imajinasi kami berantakan. Bukankah cerita, atau legenda, atau katakanlah dongeng sekalipun, bentuknya akan selalu sama dari waktu ke waktu?
"Kukira seberharga apa pun cerita, jika terus berubah-ubah, tidak bisa dibukukan. Buatku itu amat disayangkan!" cetus seorang teman.

Kami sesama teman bermain sering berdebat, bahkan nyaris baku hantam demi mempertahankan kesimpulan pribadi dari legenda yang dibawakan Tuan Kantung. Kami tidak pernah saling tinju sebelum beliau benar-benar pergi dari balai-balai di ujung gang, tempat kami beristirahat selepas main layang-layang. Kami tidak pernah saling bantah, karena kharisma tukang cerita ini melebihi kharisma orang terhormat sedesa, sehingga kami pun sungkan. Entah kenapa, kami tidak tahu.
Kata ibu kami, Tuan Kantung mendongeng sejak dulu. Wajah beliau tidak banyak berubah selain bertambah sedikit demi sedikit kerut di wajah setiap tahunnya. Secara keseluruhan, beliau sama: senyum bersahaja, tatap mata tajam, rahang keras, dahi lumayan lebar. Yang membuat kami heran, ternyata bapak ibu kami dulu semasa kecil juga sering mendengar dongeng dari bibir Tuan Kantung.
"Dongengnya selalu soal sungai siluman. Tidak pernah lain-lain," kata ibuku. "Tapi, kalian jangan salah. Tuan Kantung pintar berimprovisasi sesuai perkembangan zaman dan mood. Ia bebas mengubah bagian-bagian legenda itu yang dia tidak sukai."
"Tapi, Bu, setahuku Tuan Kantung pernah mengubah semua unsur intrinsik cerita legendanya. Tidak peduli opening, tidak peduli pertengahan, tidak juga peduli ending! Bahkan konflik pun pernah dirombak total. Semua diotak-atik sesuka beliau!"
"Yah, begitulah. Namanya juga tukang cerita. Bebas berkreasi, tidak mau di bawah tekanan, tidak mau diintervensi. Memang seharusnya begitulah dunia memperlakukan tukang cerita, meskipun ia bilang mau ditekan atau diatur-atur. Lubuk hati tidak bisa berbohong, Nak."
Kami mengangguk.
Sewaktu kami tanyakan pada bapak ibu kami apakah beliau semua pernah dengar legenda itu di tempat lain, mereka jawab tidak. Kami juga tidak. Mereka sepakat bahwa Tuan Kantung-lah pengarang legenda yang bermanfaat bagi anak-anak, sebuah legenda tentang sungai siluman yang bisa berubah kapan saja, tapi seakan-akan lekat di ingatan. Seakan Tuhan memahat replika dongeng di otak kami, dan Tuan Kantung—lewat segala keistimewaannya—mengetahui yang tersimpan di kepala anak-anak. Dengan demikian, beliau bisa mengubah setiap bagian cerita tanpa membuat kami jenuh. Suatu hal yang ganjil.
Kami manggut-manggut atas penjelasan soal Tuan Kantung. Beliau disebut begitu karena kantung kemejanya selalu tebal. Kami menduga isinya uang, tapi beliau jarang sekali kelihatan membeli makan. Atau jangan-jangan kantung tersebut berisi sepotong roti tawar yang dibelinya di tempat lain? Kami tak tahu pula. Beliau tidur di masjid atau pos kamling. Tidak punya sanak famili di sini. Berkeliling dari satu dusun ke dusun lain dengan baju yang itu-itu saja, serta gumpalan sarung sebagai tas tempat ia membawa berbagai benda berharga miliknya.
Suatu waktu kami memutuskan kantung tersebut berisi cadangan kata-kata, semacam kamus Bahasa Indonesia edisi saku, yang bisa dibawa ke mana pun, sehingga tidak pernah kerepotan mengotak-atik jalan cerita legenda karangannya. Maka siapa pun yang mendengarnya bercerita akan selalu berdecak kagum. Tapi, sungguh, kami tidak pernah benar-benar bisa memastikan isi kantung itu.
Yang jelas, Tuan Kantung selalu datang tanpa diundang, Persis slogan jelangkung pula, beliau pergi tidak menunggu kami selesai melongo takjub; sebuah ending kadang sulit kami cerna, atau kadang membuat kami menangis. Lelaki tua yang tampak lusuh dan menjelang mati itu sanggup bermain kata-kata dengan begitu lihai!
Tuan Kantung biasa datang di kala kepala kami jenuh oleh pekerjaan rumah yang numpuk. Tanpa diminta, beliau muncul begitu saja dan berkisah suatu legenda. Kami tidak bosan, meski ceritanya diulang-ulang. Kami tidak pernah meminta beliau berkisah soal lain. Kami tahu, jikalau Tuan Kantung—dengan kemeja lusuh dan kopiah beludru khasnya—mulai berdiri dan menunjuk-nunjuk udara, itu artinya sebuah pembelokan akan terjadi. Inilah bagian yang kami tunggu-tunggu!
"... di tepi sungai yang dijaga siluman itu, sebuah pondok berdiri!" Tuan Kantung bergetar bibirnya. Sorot matanya menajam. Keringat bertonjolan di wajah. Sontak kami ikut berdiri. Mengejutkan! Sebuah pondok? Komponen baru dalam legenda! Padahal dulu-dulu kami tidak pernah diberitahu di tepi sungai itu ada sebuah pondok.
"Saya tahu ini agak tidak sportif," jeda Tuan Kantung dalam senyum tulusnya. Ia mendadak berhenti bercerita kalau menyadari kami juga berhenti memasang wajah sok tahu karena hendak menebak-nebak kelanjutan alur—yang sayangnya gagal, sebab ada komponen baru dalam cerita, sesuatu yang rentan mengubah ending, bahkan sebagian konflik.
"Tidak, tidak. Teruskan saja, Tuan!" Kami menyahut antusias.
Setahu kami tepi sungai dalam dongeng atau legenda yang biasa beliau bawakan itu dihuni kumpulan naga siluman. Atau pernah juga dibangun sebuah sekolah prajurit di sana—yang terpaksa tutup karena sungai tersebut pernah dikutuk sehingga dihuni beberapa jenis siluman berbahaya. Kami juga pernah dengar Tuan Kantung bersumpah bahwa tepi sungai di legenda itu dijaga oleh seorang wali, hamba Allah SWT yang amat taat.
Sebagaimana biasa, Tuan Kantung mengerti permainan kata-kata beliau sanggup menyita kami, memasung kami secara gaib sehingga tak pergi barang seinci pun demi mendengar kelanjutan cerita. Di saat-saat seperti ini, setelah memberi sedikit pengertian agar kami bersabar (karena girang oleh kemungkinan cabang baru dalam cerita), Tuan Kantung dengan takzim bersimpuh di tanah, memandang langit dengan tatapan sayu, tidak lagi penuh emosi, tetapi pasrah.
"Betapa malang nasib penghuni pondok itu! Kalian tahu siapa mereka?"
Kami menggeleng serempak.
"Mereka adalah anak cucu para siluman naga yang membangkang!"
Oh, kami melayang-layang!
Sejak kapan naga itu kawin?
***
Senja ini, belasan tahun kemudian, legenda karya Tuan Kantung kembali melayang. Yang paling berkesan bagiku ketika di tepi sungai tersebut didirikan pasar malam. Ya Tuhan! Bagaimana mungkin orang setua beliau berimajinasi segila itu? Tapi ini terjadi. Tuan Kantung tahu minat kami pada suatu periode, misalnya ketika itu terpusat pada permainan tong setan—sebuah atraksi oleh para pemotor ahli yang berputar-putar dalam suatu drum raksasa tanpa jatuh bertubrukan. Maka beliau buatlah unsur baru berkenaan dengan tong setan: pasar malam.
Dulu selepas ashar kami sering bolos mengaji karena Tuan Kantung mampir ke balai-balai, membawakan improvisasi cerita sungai siluman naga, sehingga dapat jadi alasan yang tepat untuk membolos; kami beralibi pada orangtua bahwa cerita tukang dongeng ini bermanfaat bagi anak-anak, sama bermanfaatnya dengan mengaji. Hehe.
Apa manfaatnya? Tidak perlu dijelaskan, karena sesiapa saja yang waras, pasti tahu. Pesan tersirat yang membuat anak-anak seperti kami ini belajar. Kadang Tuan Kantung menyisipkan pesan patriotik pada akhir legenda dengan kematian naga utama akibat membela sungai itu dari kerakusan pengusaha kota yang mau membangun pabrik. Kadang ada unsur pemberontakan ketika dewa-dewa di khayangan bersikap jahat, sehingga para naga terpaksa memberontak demi kebaikan kondisi bumi beserta seisinya. Di lain waktu, kami juga belajar soal asmara, meski sulit membayangkan bagaimana mungkin siluman naga menikah dengan salah seorang murid di sekolah prajurit itu?
Sayangnya, senja yang indah justru membuat kami termangu. Sebuah senja di masa depan, atau sebutlah masa kini. Masa depan dan masa kini, bagi Tuan Kantung yang tua dan misteri, tidak ada bedanya. Tidak kami duga, Tuan Kantung—yang sampai kami dewasa tidak pernah secuil pun mengenalkan sejarah pribadi, atau berkisah soal dirinya meski dalam balutan fiktif—meninggal dalam sujud asharnya. Sebuah kepergian yang tiba-tiba. Sebuah kepergian yang kami tidak ingini.
Ketika mengurus jenazahnya, barulah kami tahu isi kantung yang selalu tebal. Ternyata pigura mungil berisi foto seorang wanita beserta anak kecil. Kira-kira anak itu umurnya empat tahun ketika foto itu diambil. Di sudut frame, ada angka 1953. Foto tua yang lusuh, tapi terjaga. Tidak sobek atau rapuh, sebab Tuan Kantung membungkusnya dengan plastik.
Aku yang menerima foto itu dari tangan seorang teman, seketika bergeming usai membalik lembar kenangan. Sebaris kalimat tertulis terang dan dalam. Menusuk hati, mengusik alam pikir. Sedalam apa pun cintaku pada legendanya, tidak ada yang lebih dalam ketimbang sosok pencerita itu sendiri.
Beginilah kalimat itu ditulis:
Semoga kalian baik tanpa aku. Hidup matiku hanya untuk bercerita. Kurelakan kau pergi, menikah dengan karibku, menjadi keluarga pengusaha, bukan tukang cerita, yang miskin dan sering lapar. Orang tidak percaya pada legenda. Orang lebih percaya pada hal pasti, meski belum tentu bahagia. Kuharap kau paham. Aku di sini, bahagia dengan ceritaku...
Salam cinta selalu.

Gempol, 8 Sept '15

KEN HANGGARA lahir 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, dan esai. Peraih ASEAN Young Writer Award 2014 (juara 2) dan 4 besar Siwa Nataraja Award 2015. Menjabat UNSA Ambassador 2015.

Comments

  1. salut dengan Ken Hanggara, setiap pekan ada cerpennya dimuat di media

    ReplyDelete
  2. Ken semakin melaju... Sangat senang..

    ReplyDelete
  3. Pas sekali ceritanya. Pada hari kemarin seorang seniman pendongeng meninggal. Tapi ceritanya masih tetap ada di antara kita.

    ReplyDelete

Post a Comment

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri