Skip to main content

[Cerpen]: "Bukan Saidjah" karya Ken Hanggara



(Dimuat di Harian Umum Koran Padang, Sabtu, 26 Desember 2015)

Tersebutlah pemuda bernama Saidjah. Aku tahu, namaku tidak seburuk atau seaneh itu. Laki-laki bernama Saidjah? Apa yang kau pikirkan tentang laki-laki muda semacam itu? Dia sejak kecil sudah saling mencinta dengan Adinda. Kalau aku, baru mengenal cinta saat dewasa. Baik, baik ... aku tidak akan membandingkan Saidjah denganku.
Mereka—Saidjah dan Adinda—sama-sama tinggal di desa pada zaman penjajahan. Saat itu pejabat Belanda dan bangsawan pribumi suka sewenang-wenang. Singkat cerita, kerbau milik Saidjah, harta paling berharga keluarganya, dirampas pejabat culas. Lalu bapaknya sakit jiwa dan meninggal. Ibunya juga meninggal karena sedih.

Karena mau lepas dari kesedihan, Saidjah merantau. Sebelum pergi, dia menemui Adinda. Mereka mengikat janji, bahwa dalam tiga tahun setelah ini, mereka ketemu lagi di bawah pohon ketapang tempat mereka membuat janji.
Karena takut tidak bisa menghitung dengan tepat, Saidjah minta Adinda membuat tanda garis setiap kali bulan membentuk lingkaran sempurna. Kalau garis itu mencapai jumlah tiga puluh enam, besoknya, saat matahari terbit, Saidjah sudah di situ dan Adinda harus datang menemui.
Janji yang romantis, ya? Menurutku itu janji yang berani. Kalau aku jadi Saidjah, kemungkinan besar aku yang tidak akan datang. Tapi aku bukan Saidjah. Oke, jangan protes! Aku terlalu terbawa suasana. Maklum, aku benci bualan. Kamu tahu itu.
Ya, kuteruskan.
Tentu saja, karena cerita semacam ini emosional, Adinda menyanggupi pesan Saidjah. Sepanjang perjalanan pemuda itu tersiksa. Tapi dia berjalan dan berjalan. Dia berharap suatu hari nanti menjadi orang sukses dan ketika kembali tiga tahun mendatang, dia bisa menikahi Adinda. Betapa bahagianya. Ya, bahagia versi mereka.
Di kota, Saidjah memperoleh pekerjaan. Dia rajin dan patuh dan membuat bosnya percaya, lalu menganggapnya anak sendiri. Tapi, karena Saidjah punya hati di tempat yang jauh, hati untuk Adinda, tidak sekali pun timbul niat di benaknya untuk menyudahi kelajangan.
Hahaha. Lucu! Bagaimana mungkin laki-laki bisa setolol itu? Apalagi Saidjah kini tumbuh jadi pemuda perkasa, tinggi dan tampan, disukai perawan-perawan. Menurutku, tidak peduli zaman penjajahan atau zaman robot sekalian, kalau sudah berkaitan dengan kota—apalagi perawan—tidak ada yang tidak menyenangkan. Kalau aku jadi dia, sudah kumanfaatkan kelebihanku. Tapi, aku bukan Saidjah, dan dia sendiri bukan aku.
Setelah tabungan Saidjah cukup, bahkan jauh dari bayangannya sebelum berangkat dulu, tepat tiga tahun kurang beberapa hari, ia pamit pada majikannya untuk pulang ke desa. Begitulah. Perjalanan jauh membuat Saidjah tak sabar ketemu Adinda. Pasti gadis itu sudah jauh lebih cantik dan jelas siap ia nikahi di umurnya yang matang. Saidjah percaya janji suci mereka abadi.
Jujur saja, waktu membaca kisah Saidjah di suatu buku, aku mual. Aku tahu, bisa saja Adinda yang cantik—dan di otakku yang katamu kotor—seksi, pasti membuat semua pemuda mau jadi pacarnya. Kalau aku Saidjah, aku sudah lupakan janji itu dan mencari perawan lain yang cantik. Adinda kelewat cantik tapi perawan kota tidak kalah cantik. Sayang sekali. Saidjah bukan aku. Aku juga bukan dia. Dan Saidjah tidak hidup di zaman robot!
Kamu minta aku bercerita kisahku sendiri? Ini aku sedang ke titik di mana ceritaku itu dimulai. Dan untuk memulainya, aku harus cerita dulu tentang Saidjah. Aku tahu, cerita ini kubaca dari tulisan seseorang, sebut saja Max. Aku tahu, aku sendiri bosan kalau harus mengungkit kisah ini.
Sekarang Saidjah sudah sampai di bawah pohon ketapang, sesuai janjinya tiga tahun silam. Kalau perhitungannya tepat, besok pagi Adinda menemuinya. Tapi, sampai matahari terbit, sampai hari siang, Adinda tidak datang. Aku tertawa sesampai di bagian ini, walau tidak bisa menutupi keadaan perutku yang makin mual. Biar tahu rasa Saidjah itu! Apa kubilang? Pasti Adinda sudah nikah sama pemuda lain. Adinda yang cantik, dan (mungkin) seksi itu, pasti sudah menjadi milik orang lain.
Saidjah mencari kekasihnya itu di kampung. Di sana dia menelan kenyataan bahwa rumah Adinda sudah tidak ada alias hancur. Dari keterangan para warga, Adinda dan keluarga kabur ke luar pulau, karena takut bahaya mereka terima dari pejabat-pejabat jahat. Tak tahu apa sebabnya, aku lupa. Intinya, mereka sudah berada di tempat yang jauh.
Apa kamu kira Saidjah kehilangan perasaannya? Tadinya kupikir begitu. Tapi aku heran ketika tahu pemuda ini memutuskan mencari Adinda di pulau tersebut. Tidak, tidak, ini terlalu panjang. Kalau aku teruskan, kamu akan bosan.
Baik, kusingkat saja ceritanya. Saidjah sampai di pulau itu. Dia bergabung dengan para pemberontak yang melawan pemerintah Hindia Belanda. Dan, pada satu malam, ia mencari-cari sesuatu di reruntuhan rumah yang sudah dibakar. Di sana, dia menemukan jasad Adinda dalam keadaan mengerikan. Jujur saja. Aku tak tahu maksud penulis cerita Saidjah ini; kenapa membuatnya sedemikian rupa? Klise! Maksudku, kenapa tidak dari dulu mati? Kenapa harus saat Saidjah sudah susah payah mencarinya ke tempat jauh?
Ini tidak adil bagi Saidjah, tapi dia bukan aku, jadi aku tidak perlu bersimpati. Dan walau kemudian pemuda itu maju tak gentar mempertaruhkan nyawa di depan penjajah sampai mati, aku juga tidak bersimpati. Apa ini sejenis Romeo-Juliet, yang mati satu, lalu yang lain juga pengen mati? Konyol. Jarak jauh membuatku tidak yakin, apakah benar ada pemuda macam Saidjah di muka bumi ini?
Aku bukan Saidjah, dan aku realistis. Ketika tahu tidak mungkin bertemu dengan 'dia', maka aku tahu yang harus kulakukan. Aku tahu, tidak ada yang akan tahu apa yang kuperbuat—tentunya selain kamu, karena sekarang aku sudah mulai bercerita padamu.
Kamu mau tahu asal-usul cerita Saidjah[1]? Nanti saja, kupinjamkan bukunya. Aku lupa terakhir menaruh buku itu di mana.
Bicara soal ceritaku dengan cerita Saidjah, ada satu persamaan, walau kamu sadar sepanjang bercerita tadi aku sering membantah. Ya, ya, kamu pasti tahu, aku dan pacarku, Mila, tinggal berjauhan. Haha, tentu. Kalau tidak, mana mungkin kita bertemu malam ini?
Dengar, ya. Aku minta jangan ketawa apalagi membandingkanku dengan Saidjah bodoh itu, bahwa sebetulnya aku juga sempat membuat janji dengan Mila. Ya, sebuah janji, tapi bukan di bawah pohon ketapang, melainkan di dalam mobil mewah kami. Ya, ya, aku tahu, maksudku mobil mewahnya! Di sana kami berjanji tidak akan selingkuh selama menjalin cinta jarak jauh.
Kamu sudah menyanggupi tidak akan tertawa, bukan?!
Baik, kulanjutkan.
Paling tidak, ketika mengucap janji itu, keadaanku dan keadaan Saidjah jelas jauh beda. Dia bocah, bisa dibilang masih ingusan. Walau umurnya remaja, tapi pada masa itu banyak orang bodoh, apalagi yang percaya cinta jarak jauh. Jadi aku menganggapnya 'bocah'. Kamu tahu sendiri aku sudah dewasa. Janji itu kubuat tepatnya tiga bulan yang lalu. Ya, bulan, bukan tahun. Kamu tahu ada lebih banyak perbedaanku dengan Saidjah ketimbang kesamaan.
Dan, kalau boleh kutambahkan satu lagi perbedaan dan kuharap kamu tidak akan bosan dengan mendengar kata 'perbedaan' lagi, selain 'jauh' tadi—bahwa janjiku dan Mila simpel. Selain tidak selingkuh, kami janji setelah kembali dari 'perpisahan' beberapa bulan ini, kami menikah. Tunggu dulu, jangan sela kata-kataku! Maksudku, kami menikah bukan atas dasar cinta seperti Saidjah dan Adinda yang seksi tadi, tapi lebih kepada nama baikku.
Kamu paham? Tidak? Ya, Tuhan, di zaman secanggih ini, dengan dandanan seperti ini, wajah cantik, tubuh seksi, dan kulit semulus—entah kusebut semulus apa— bagaimana kamu tidak tahu kemajuan sudah membawa manusia kuno macam Saidjah menjadi tertawaan manusia modern seperti kita?
Kujelaskan padamu, sedikit saja. Semoga kamu paham dan tidak banyak tanya. Aku dan Mila sudah tujuh bulan pacaran, atau bisa dibilang empat bulan sebelum janji itu dibuat. Kamu tahu keadaanku saat itu; kuliah, kost, tidak ada pekerjaan, dan aku mengutuki hidupku. Aku butuh uang dan aku harus memanfaatkan Mila, anak orang kaya itu.
Kamu bilang aku kejam? Bahkan perempuan macam kamu bisa bilang seperti itu? Aku tidak menyalahkanmu. Tiap orang berhak berpendapat dan menilai. Dan aku bisa menilaiku dengan angka seratus karena dengan mudah kusulap Mila jadi mesin abadiku.
Kalau Saidjah menyimpan hati untuk Adinda, aku cukup membawa hati Mila untuk kujual! Aku tidak menjadikan dia kesenangan untuk banyak orang. Tidak. Mila hanya milikku, tapi aku bisa memiliki orang lain. Itulah kenapa kusebut menjual hatinya. Hahaha.
Sah orang bilang aku kurang ajar, tapi Mila sudah membawa calon anakku. Aku bukan Saidjah, karena tidak ada kemungkinan orang lain mau padanya.
Tenang saja. Aku tidak akan menjadikanmu Mila, apalagi Adinda. Kamu, ya kamu. Walau aku bukan Saidjah, aku tidak kalah tampan. Dan tentunya lebih perkasa. Sudah, cukup ceritanya. Jangan lagi tanya-tanya. Tahu begini, buat apa sewa kamar?! [ ]
Gempol, 2014 - 2015
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai.

[1] Saidjah adalah cerita fiksi karangan tokoh Max Havelaar dalam buku yang berjudul sama; "Max Havelaar" karya Multatuli.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri