Skip to main content

[Cerpen]: "Maria ke Pantai" karya Ken Hanggara



(Dimuat di Analisa Medan, Minggu, 27 Desember 2015)

1/
Dari sini, kapal-kapal mengapung; mereka datang dan pergi begitu saja tanpa kata. Setiap hari, sepanjang tahun, sejak beribu-ribu tahun lalu. Seperti saya dulu yang tanpa kata. Saya pernah hidup di tubuh lelaki gagah. Itu dulu, memang. Kini, di tubuh baru, saya hanya bisa menunggu dalam bisu dan mati.
Maria kekasih paling setia. Dia tidak pergi ke mana-mana, kecuali ke desa dekat pantai untuk melihat anak-anak kecil. Pagi hari ia duduk-duduk di teras sebuah sekolah dan tersenyum seorang diri, sementara anak-anak belajar dalam kelas dengan suara yang teramat nyaring: alphabet, berhitung, pelajaran moral, dan lain-lain. Maria hanya akan membayangkan anak-anak itu menjadi miliknya. Tentu saja, tanpa perlu membaur, atau sekadar jadi perhatian seisi sekolah, apalagi menculik mereka.
Maria tidak sekejam itu.

Desa itu sederhana, sehingga guru-gurunya santun. Saya tahu itu. Dulu saya pernah tinggal di situ, bahkan saya pernah hampir menikah dengan anak kepala desanya. Oleh karena suatu hal, pernikahan itu batal, tetapi saya tidak pergi ke mana-mana. Beberapa guru saya kenal. Rata-rata tidak ada yang seusil warga biasa; betapa saya ingat mereka sempat mengata-ngatai saya makhluk tidak tahu diuntung dan pantas mati lalu dikutuk menjadi batu. Tidak seperti warga yang senang berpura-pura, guru-guru santun di lidah, santun di hati. Mereka tak pernah mengganggu Maria, pun sebaliknya. Di sisi lain, warga desa menganggap Maria tanda kesialan atau pembawa kutukan.
Siang hari Maria pergi ke pantai dan berjalan sendirian; dari sisi yang satu ke sisi yang lain, berputar-putar, demikian sampai sore. Saya sering menangis bila melihatnya begitu. Ia seperti orang gila, meski tentu saja tidak gila. Saya bicara apa adanya bukan karena saya mencintainya dan kami berpacaran sampai hari ini. Maria memang waras, tapi ia sangat menginginkan anak.
Selama itu ia akan mencari kerang sementara kapal-kapal di dermaga utama datang dan pergi. Sesekali anak-anak ada yang mencari kerang bersama Maria, walau mereka tampak tidak menggubris si perempuan dewasa di situ, yang juga asyik dengan aktivitas serupa.
Saya tahu Maria sedih, tetapi kepadanya saya bilang melalui suara hati, bahwa anak-anak itu hatinya putih; mereka tahu kamu menyayanginya, meski tidak harus menunjukkan sikap. Maria tidak paham maksud saya, tetapi setelah saya jelaskan soal kondisi mereka yang peka terhadap hal-hal suci dan kotor, juga kondisi kami sendiri yang sering dicerca dan dianggap pembawa sial, Maria mengerti.
Saat hari rebah di barat, barulah Maria kemari, mengunjungi saya yang mati dan bisu. Ia akan berdiri di sisi saya sepanjang senja, lalu malam, hingga azan subuh lamat- lamat terdengar. Pada saat itu, Maria akan pergi sebentar ke rumahnya, sebelum nanti persis jam tujuh pagi, kembali ke teras sekolah.
Maria selalu rindu pada saya, walau ketemu setiap hari. Dan saya selalu kangen padanya, walau tahu segala yang ia kerjakan setiap hari. Saya tak bosan menunggunya datang menikmati senja. Maria juga tak bosan bercerita soal anak-anak.
"Kubayangkan aku hamil dan melahirkan mereka. Sepuluh, seratus, bahkan seribu bayi dalam pengasihanku. Kepadaku mereka bergantung dan kepada mereka pula aku bertahan hidup."
Maria tidak pernah sebahagia itu sejak semasa saya masih di tubuh lelaki gagah. Ia bahagia memikirkan anak-anak dan saya. Sebagai kekasihnya, biarpun mati dan bisu, saya tahu dia tidak akan berkhianat dan terus saja mengkhayalkan; seandainya begini, seandainya begitu, dan seterusnya.
Seandainya aku punya anak, katanya, kamu harus jadi bapaknya. Bahkan meski anak itu lahir dari hasil anugerah Tuhan, bukan persetubuhan, sebagaimana akhirnya Isa lahir melalui Maria yang perawan suci.
Saya diam tapi menyanggupi. Apalah yang tidak buatmu, Sayang, kata saya dalam hati, karena saya bisu. Merekalah, para warga celaka dan banyak protes itu, yang tidak pernah setuju. Apa pun tentangmu, saya selalu setuju asal kamu bahagia. Buktinya hari ini kita di sini.
Maria memeluk saya dan menggelosor. Angin membelai wajah dan rambutnya. Setengah terpejam, tapi tak tidur, ia bernyanyi dan nyanyian itu mengunci pintu setiap rumah di desa. Para warga tak berani mengusik keberadaan kami sejak hari pertama saya mati dan bisu. Dan kami, membiarkan cinta bercerita seperti apa adanya; bercinta tanpa restu dan bersetubuh tanpa peluh.

2/
Kepada Maria, saya pernah berjanji. Tapi janji itu batal karena kepala desa telanjur berjanji juga pada putrinya.
Di suatu pagi paling keparat saya diundang ke ruangannya. Saya diajak merokok, lalu ngopi, lalu bicara soal tetek bengek urusan sekolah yang di tangan saya itu berjalan. Ya, ketika itu sayalah kepala sekolah.
"Anda tahu putri saya?" Akhirnya kepala desa sampai pada umpannya.
"Tahu. Kenapa, Pak?"
"Begini. Saya suka dengan kepribadian Anda, juga cara Anda menangani masalah- masalah sekolah maupun luar sekolah. Tahulah, warga sini terlalu kolot dan suka main sihir. Pikiran mereka terbelakang, tetapi berkat kehadiran Anda, sedikit demi sedikit wawasan kami terbuka."
"Putri bapak tadi...?"
"Nah, itu dia yang ingin saya omongkan. Utami terkagum-kagum pada Anda. Saya sebagai bapak, tentu saja, tidak bisa melarang."
Kepala desa ingin saya menikah dengan Utami yang buruk rupa dan buruk tingkah laku. Saya tahu ucapan basa-basi tidak ada benarnya. Saya pernah melihat Utami main sihir; memperdaya lelaki yang pernah menolaknya sehingga si lelaki itu menjadi lemah dan tak mungkin bisa mempunyai anak. Barangkali, lelaki itu begitu karena ia menolak dengan cara kasar. Hari-hari berikutnya, setelah Kepala Desa membawa saya bertemu Utami, saya mencari cara menolak yang membuatnya tidak tersinggung.
"Bilang saja kita mau nikah. Kamu sudah janji padaku!"
Maria marah dan pergi ke pantai, menghilang di balik batu-batuan karang di sekitar pondasi mercusuar yang entah sejak kapan tumbang dan diabaikan. Saya menyusul dan mencarinya sampai malam. Di sana saya melihat ia telanjang dan berkata, "Buat aku melahirkan anak-anakmu."
Tentu saja, malam berlalu dengan tenang. Angin pantai membikin tubuh kami kian merapat.
Seorang nelayan hendak ke perahu dan menunda ke samudera demi melihat secarik selendang. Kain itu panjang dan berjuntai melukis sungai merah muda di batuan karang. Di satu titik, peralatan pancing di tangannya jatuh. Ia balik ke desa dan membawa seribu manusia ke sana, ke suatu tempat di mana kepala sekolah merasuki muridnya sendiri.
Saya dan Maria disidang. Utami, dengan mata merah membara, menuding kami dan merapal kata-kata yang tidak jelas saya dengar. Di sisi lain, para warga siap sedia membakar kami, tak peduli Maria anak kandung salah satu tokoh penting kepercayaan kepala desa.
Pada detik itu, langit bergemuruh. Saya dan Maria saling berpandangan. Suatu janji terucap dalam hati kami; apakah Tuhan menyatukan hati kedua manusia nekat, saya tak tahu. Intinya, janji itu serasa bergaung dalam kepala saya dan suara Maria turut tercampur di sana. Janji yang tak akan ternoda kematian. Janji yang kami bawa bahkan sampai ke neraka.

3/
"Kubayangkan aku hamil dan melahirkan mereka. Sepuluh, seratus, bahkan seribu bayi dalam pengasihanku. Kepadaku mereka bergantung dan kepada mereka pula aku bertahan hidup."
Boleh saja kamu punya anak, lalu kita bangun sekolah di sini, di puncak bukit ini, sehingga kamu tidak perlu ke sekolah yang ada di desa itu setiap pagi. Siangnya kamu ajak mereka jalan-jalan di hutan di belakang sana; bukit ini cukup terpencil dan jauh dari jangkauan warga desa yang usil. Mulut mereka pasti jauh lebih kotor seandainya tahu anak-anakmu lahir dari benihku.
Maria diam dan bernyanyi sekali lagi.
Tentu saja ia tidak mendengar kata-kata saya; saya tidak kecewa oleh itu. Saya justru bangga melihat Maria tetap utuh walau jelas-jelas saya lihat, hari itu, ia dibakar ramai-ramai oleh mereka yang memuja kepala desa habis-habisan. Ia dibakar dan tubuh molek itu direbus dan dilahap ramai-ramai sebagai hukuman karena telah mengkhianati keinginan Utami.
Si buruk rupa itu, seperti yang saya duga, datang setiap hari kepada saya, setelah kutukan seisi desa meraupi tubuh saya. Kali itu kapal-kapal banyak yang karam karena sihir Utami atas pantai yang penuh tonjolan karang terganggu. Ia menangis setiap hari dan kapal-kapal yang tadinya melihat tabir cahaya oleh sihirnya, tidak tahu di depan mereka berdiri karang berduri yang kokoh.
Karena kondisi ini merugikan desa yang ekonominya bergantung pada hasil laut dan perdagangan antar penjelajah samudera, sedang Utami mulai malas membuat tabir cahaya karena saya tidak pernah meresponnya, suatu keputusan diambil. Kutukan itu dilabur ke tubuh saya sehingga saya mati dan bisu. Tubuh saya bukan lagi tubuh gagah kepala sekolah, melainkan tubuh gagah mercusuar. Utami semakin menyesal meski saya tidak mati sampai beberapa ribu tahun, kecuali hanya hidup sebagai mercusuar yang tentunya tetap mati di mata manusia biasa. Ia setiap hari mendatangi saya, sementara hantu Maria bergentayangan di pantai sepanjang malam.
Setelah Utami mati, Maria mulai datang dan kami bergumul seperti dulu. Berkat kehadiran Utami yang menangis dan menyebut-nyebut saya setiap hari di sini, di tubuh mercusuar ini, Maria tahu bahwa ternyata kekasihnya tidak mati. Ia bilang, "Pantesan, kucari-cari di neraka, tidak ada. Kamu di sini rupanya?"
Sejak itu kami bersama. Dan tak ada seorang pun warga berani mengganggu, karena cerita kami telah diturunkan ke generasi-generasi sesudah kami, tanpa berkurang suatu apa pun.
Jika mungkin suatu malam, di segala musim, di puncak bukit yang ada mercusuar tidak jauh dari pelabuhan besar, Anda melihat siluet perempuan duduk menggelosor di tanah bersandar menara cahaya, pada saat itulah Anda melihat kami: Maria dan kekasihnya yang dikutuk. [ ]
Gempol, 6 Desember 2015
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Juara 2 kategori bahasa Indonesia di ASEAN Young Writer Award 2014 dan 4 besar Siwa Nataraja Award 2015 kategori cerpen.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri